"Mas!" Aku memanggil Mas Bayu yang berdiri tak jauh dariku. Keringat mulai membasahi kening. "Mas! Takut!" Kembali aku mengoncangkan tubuh Mas Bayu yang dari tadi tak merespon.Aku panik, celingukan kesana-kemari. Mas Bayu memegang tanganku erat. Ia mungkin tahu jika aku terkena serangan panik.Dengan panik aku melihat Panji naik ke podium dan langsung menuju kearah Arumi dan Alif. Mataku tak lepas darinya. Bayangan jika Panji akan melukai adiknya ataupun Alif terngiang.Tak lama mereka berpelukan. Menangis haru Panji dan memeluk erat Arumi. Sejenak aku tertegun. Apa ini semua hanya setingan?"Mas, ayo pergi dari sini! Pasti Panji merencanakan balas dendam pada kita!" cicitku.Aku sedikit menarik tangan Mas Bayu. Tapi dia menahan."Jangan panik, Fit. Panji tak mungkin melakukan itu. Ada polisi yang mengawal!" ujar Mas Bayu tak membuat rasa panikku hilang. Aku tetap gelisah walau mata ini fokus melihat kearah Panji dan Arumi.Mereka seperti tengah saling melepas rindu. Juga meluapkan
[Mba, apa uang yang Mbak pinjam tiga bulan yang lalu sudah ada?] Kukirim pesan WA pada saudara iparku. Dia kakak dari suamiku Mas Bayu.Masih centang dua. Padahal aku sudah kirim dari semalam. Rasanya sedikit jengkel. Padahal aku lihat dia beberapa kali online.Aku masih berusaha sabar, walau sebenarnya uang itu sudah sangat aku butuhkan."Mas, apa sebaiknya kamu minta aja kerumah Mbak Desi. Di WA dia ngga baca," ujarku pada Mas Bayu yang tengah bersiap untuk berangkat kerja (ojol)"Ngga mau lah, Fit. Sungkan." Selalu jawaban itu yang aku terima. Mas Bayu memang begitu. Selalu punya rasa tak enak pada saudaranya. Sama saat Mbak Desi meminjam uang. Mas Bayu yang memang tak sedang memegang uang, menyuruhku untuk mencarikan. Tak mau berterus terang jika kami memang tak memiliki uang.Hasilnya, aku minjam sama majikanku. Aku yang bekerja membantu Mas Bayu mencari uang dengan takut meminjam uang dengan nominal yang bagiku cukup besar. Satu juta. Sedangkan gajianku hanya sembilan ratus ribu
Sebelum di blokir ternyata Mbak Desi terlebih dahulu mengirimkan chat. Makian demi makian ia lontarkan layaknya anak panah yang langsung menusuk jantung.[Kamu adik ipar ngga berakhlak! Nagih di grup WA. Dasar perempuan yang tak pernah makan bangku sekolah ya begitu!][Hutang tak seberapa saja kamu tagih di depan semua saudara, sudah merasa kaya ya?! Asal kamu tahu, sekarang aku bisa saja beli tuh mulutmu juga!][Pokoknya, aku ngga mau tau! Kamu harus klarifikasi tentang semua itu. Baru aku masukkan grup lagi! Bilang kalau tadi cuma salah paham dan aku tak punya sangkutan sama kamu. Begitu. Mengerti!]Setelah chat di atas itu, kemudian Mbak Desi memblokir nomorku. Dia mungkin belum tahu siapa Fitri! Apa dia pikir aku takut sekali dengannya.Kucing-cingkan lengan. Mengambil langkah seribu untuk menuju rumah Mbak Desi yang berjarak dua kilo meter. Kalau biasanya aku akan naik ojol. Kali ini biar aku jalan kaki saja. Meleburkan lemak didalam perut."Ma, mau kemana?" tanya Ilham anakku sa
Kepalaku sudah mendidih. Ingin segera menghilang dan langsung muncul di hadapan Mas Bayu. Si*l! Dia kurang di hajar. Tega benar dia memberikan uang pada kakaknya dengan uang yang akhirnya aku yang bayar. Kita hitung-hitungan empat kali empat! Sempat tidak sempat harus di jawab! Ehhhh.Pusing! Ah. Ngomong apa tadi?Aku segera langsung meluncur pulang. Rasanya mataku sudah berembun. Dengan di antar Sari menggunakan sepeda motornya. Aku diam tanpa kata."Sabar ya, Fit. Ambil hikmahnya saja!" Sari yang tengah mengemudi berucap. Aku masih diam. Ada rasa sesak didalam hati ini."Mungkin memang salah suami kamu. Dia harusnya ngga bilang begitu, sedangkan dia tahu kalau kehidupan keluarganya saja masih Senen Kemis." cicit Sari lagi."Senen Kemis?" tanyaku tak mengerti maksud ucapan Sari. Kaya puasa sunah saja?"Maksudnya kembang kempis, Fit. Kadang ngambang kadang ngempis! Hahahaha .... " Sari terbahak di akhir kalimat. Pasti dia sedang berhalu hal yang tabu.Aku mengerucutkan bibir. Aku tahu
Licik!Dia memvideo diriku saat dia mengatakan jika Mas Bayu memberikan uang itu, bukan hutang. Ya ... Memang saat itu, expresiku begitu shok. Kaget setengah mati dan hampir menangis.Dia memberikan tag pada video singkat itu.(Sudah saya bilang ngga punya hutang sama dia. Sekarang dia nyesel dan minta maaf. Tentu Desi maafkan kok. Bagaimana pun kamu tetap adik iparku.) Dengan di akhiri emoticon peluk dan cium.Ciuuhh!Mana hati tak panas. Semua dia buat drama. Benar-benar sangat membuat sebal. Lihat saja, akan aku lanjutkan perseteruan di grup keluarga.Niat hati mengajak Sari untuk memvideokan bagaimana aku menagih hutang pada Mbak Desi yang galak seperti singa. Kenapa malah jadi video aku yang dia viralkan?Aku masih melihat, dari sisi mana dia mengambil gambarku dan berfikir siapa yang mengambil itu. Pasti ini ulah anaknya Natasya! Aku menduga, karena siapa lagi? Suami Mbak Desi tak mungkin mau tapi ... Ngga tahu juga, bukankah sekarang sudah jadi horang kaya.Aku berfikir, dari m
Ternyata grup telah di bisukan. Diatur hingga hanya admin yang bisa mengirim chat. Sedangkan admin disana hanya dua orang. Mbak Desi dan Mas Rian. Ini pasti ulah Mbak Desi. Dia kepokoh malu hingga harus melakukan itu. Tentu untuk mengeluarkan Mas Bayu, mereka sedikit berfikir. Mas Bayu memang terkenal pendiam, tidak terlalu banyak bicara namun kalau sudah tidak di hargai, dia tak akan lagi mau untuk kembali bergabung."Fit, kamu ngapain?" Tanya Mas Bayu yang baru selesai salat dan meletakan kopyahnya. Aku bahkan sempat kaget karena masih terus merutuk."Biasa, Mas. Mbahas hutang Mbak Desi di grup," jawabku enteng."Apa? Kamu buat masalah lagi?" Mas Bayu seperti kaget."Habis Mbak Desi duluan. Dia kebanyakan drama dan lebih banyak cari pencitraan. Bukannya bayar hutang malah seolah cari nama!" gerutuku."Fit-fit, sudahlah. Jangan terlalu begitu. Jadi nggak baik kan hubungan keluarga kita? Sabarlah sedikit. Ingatkan sekali dua kali, setelah itu pasrahkan pada Allah, agar dibukakan pint
Aku sejenak berfikir. Mencerna tentang maksud yang di utarakan Mas Rian dengan memberi pinjman."Bagaimana, Fit?" Mas Bayu kembali membuka suara. Mungkin ia heran dengan expresiku yang tak menunjukan rona bahagia. Padahal sudah menemukan jalan pintas."Boleh, Mas." Kataku antusias yang di imbangi oleh senyum merekah Mas Bayu. "Asalkan ... Bilang sama Mas Rian jika nagihnya jangan sama kita. Tapi, sama Mbak Desi!"Seketika wajah Mas Bayu murung. Kalau begitu, artinya dia yakin jika Mbak Desi belum tentu mau membayar hutangnya."Bagaimana, Mas?" tanyaku sekarang.Dia mengaruk rambutnya, kemudian mengusap tengkuk. Aku memilih pergi meninggalkannya yang masih bingung. Biar saja! Toh aku geram pada Mas Bayu. Jadi laki kok lembek dan tak mau tegas pada kakaknya.Aku memotong buncis, untuk aku masak. Rasanya hati dan pikiranku sudah kacau balau. Entah harus bagaimana menyikapi ibu pemilik kontrakan. Rasanya dia bicara tak main-main.Setelah mengiseng buncis, mengoreng tempe, aku memanggil Il
"Eeh, Bayu." Pak Handoyo menoleh pada Mas Bayu. "Ada apa, Pak. Kenapa mau pegang-pegang istri saya?" tanya Mas Bayu langsung. Ada nada cemburu disana."Eee ... Enggak kok. Tadi aku hanya ingin menyampaikan bantuan. Tentang penunggakan uang kontrakan. Kasian kan kalau harus di usir. Secara selama ini kalian tak pernah telat. Hanya baru kali ini, tentunya ada alasannya." Pak Handoyo berkata panjang lebar."Iya betul, Pak. Semua karena uang saya untuk bayar kontrakan di pinjam dan belum di kembalikan. Sedihnya sekarang aku menagih malah di bilang ngga pernah punya utang!" Cerocosku."Fit!" Mas Bayu memanggilku. Menatap tajam padaku.Aku bangkit berdiri. Melewati Pak Handoyo dan berdiri tepat didepan Mas Bayu."Dan yang membuat saya kesal. Suami saya yang menghutangkan uang itu tak mau menagih! Miris sekali!" Aku segera masuk kedalam."Fit! Fit!" Mas Bayu mengikuti aku masuk. Aku berhenti saat tiba didepan pintu kamar."Kamu itu keterlaluan. Kenapa harus cerita pada Pak Handoyo. Kamu sed