Aku gemetar. Seolah tulangku lolos dari tempatnya."Kamu kenapa?" tanya Mas Bayu yang melihat aku memegangi perut. "Astaghfirullah!" Mas Bayu beristighfar ketika melihat kakiku yang sudah banyak darah. Aku terduduk karena tak kuat menahan sakit dibagian bawah perutku. Rasanya seperti dicabik-cabik.Lemas, letih dan mata berkunang-kunang. Mas Bayu terdengar ribut meminta bantuan. Tak lama Mas Jali dan Mas Bayu memapah aku menuju keluar. "Titip Arumi!" ucapku pada Alif yang masih tergeletak tak jauh dari tempatku. Ia hanya mengangguk. Tak kulihat Arumi. Mungkin sedang kedapur untuk mengambil sesuatu.Aku di bawa kerumah sakit dengan keadaan yang setengah sadar. Rasa sakit di perutku benar-benar sangat menyiksa hingga seolah aku merasakan mati rasa. Roda brankar terdengar nyaring melewati setiap jalan menuju IGD. Beberapa suster segera memberi pertolongan pertama. Aku pasrah saat selang infus di pasang. Setelah itu, aku tak dapat merasakan apapun.***Hawa dingin menusuk tulang. Aku b
Aku menarik paksa tangan Mas Bayu. Rasanya pengen pulang dan langsung pindah rumah."Kamu kenapa si?" Mas Bayu justru menarik tangannya hingga aku sedikit limbung."Ya kita pulang! Aku takut kalau Panji keluar dari penjara terus mencari kita. Dia itu manusia jahat dan tentu akan balas dendam pada kita semua. Iya kan, Rum?" Aku menatap Arumi yang dari tadi diam saja."Semoga saja tidak, Mbak. Aku sangat berharap Mas Panji keluar dari penjara dalam keadaan sadar." Arumi berkata tanpa menatapku."Mas Panji pongah dan sombong karena memiliki kekayaan. Uangnya berlimpah, dia jadi OKB yang benar-benar kaya, tapi ... Uang itu kini semua menjadi daun," ucapan Arumi membuat aku kembali terduduk. Tentu penasaran dengan apa yang baru saja di sampaikannya."Benarkah?" Kali ini aku dan Mas Bayu bersuara bersama."Sebenarnya ini yang ingin aku bicarakan pada kalian. Masalah Mas Panji dengan masalalunya. Tapi, melihat kondisi Mbak Fitri yang sepertinya panik berlebih, aku memilih diam." Arumi mulai
"Becanda, Fit! Mukanya jangan tegang gitu." Mbak Desi mencolekku. Aku terkekeh. Sebuah pengalaman tentu mampu membuat seseorang menilai. Tapi, jika benar Mbak Desi mau pinjam uang lagi, tentu tetap aku beri. Bukankah menolong sesama itu wajib, apalagi saudara. Jika tidak berniat mengembalikan, anggap saja sedekeh. Toh, kehidupanku sudah lebih baik dan alhamdulilah, aku sudah kelebihan secara materi."Iya, Mbak. Aku juga pura-pura kaget," jawabku, "Oh ya, kalian jangan pulang dulu sampai nanti malam. Hari ini aku kedatangan tamu yang akan melamar Hani."Semua mengangguk. Beruntung semua sudah kupersiapkan. Makanan kupesan catering dan jajanan juga sudah ada yang mengatur.Tapi ... Ngomong-ngomong kenapa aku sampai lupa untuk melihat wajah calon suami Hani?"Ah! Hani kemana si?" Aku mencoba mencari Hani kebelakang. Hanya ada beberapa karyawanku yang memang sudah kutugaskan di belakang. Toko aku tutup sementara. Aku melihat kekamar tak ada, aku langsung menuju kekamar Ibu. Ibu tengah s
"Mas!" Aku memanggil Mas Bayu yang berdiri tak jauh dariku. Keringat mulai membasahi kening. "Mas! Takut!" Kembali aku mengoncangkan tubuh Mas Bayu yang dari tadi tak merespon.Aku panik, celingukan kesana-kemari. Mas Bayu memegang tanganku erat. Ia mungkin tahu jika aku terkena serangan panik.Dengan panik aku melihat Panji naik ke podium dan langsung menuju kearah Arumi dan Alif. Mataku tak lepas darinya. Bayangan jika Panji akan melukai adiknya ataupun Alif terngiang.Tak lama mereka berpelukan. Menangis haru Panji dan memeluk erat Arumi. Sejenak aku tertegun. Apa ini semua hanya setingan?"Mas, ayo pergi dari sini! Pasti Panji merencanakan balas dendam pada kita!" cicitku.Aku sedikit menarik tangan Mas Bayu. Tapi dia menahan."Jangan panik, Fit. Panji tak mungkin melakukan itu. Ada polisi yang mengawal!" ujar Mas Bayu tak membuat rasa panikku hilang. Aku tetap gelisah walau mata ini fokus melihat kearah Panji dan Arumi.Mereka seperti tengah saling melepas rindu. Juga meluapkan
[Mba, apa uang yang Mbak pinjam tiga bulan yang lalu sudah ada?] Kukirim pesan WA pada saudara iparku. Dia kakak dari suamiku Mas Bayu.Masih centang dua. Padahal aku sudah kirim dari semalam. Rasanya sedikit jengkel. Padahal aku lihat dia beberapa kali online.Aku masih berusaha sabar, walau sebenarnya uang itu sudah sangat aku butuhkan."Mas, apa sebaiknya kamu minta aja kerumah Mbak Desi. Di WA dia ngga baca," ujarku pada Mas Bayu yang tengah bersiap untuk berangkat kerja (ojol)"Ngga mau lah, Fit. Sungkan." Selalu jawaban itu yang aku terima. Mas Bayu memang begitu. Selalu punya rasa tak enak pada saudaranya. Sama saat Mbak Desi meminjam uang. Mas Bayu yang memang tak sedang memegang uang, menyuruhku untuk mencarikan. Tak mau berterus terang jika kami memang tak memiliki uang.Hasilnya, aku minjam sama majikanku. Aku yang bekerja membantu Mas Bayu mencari uang dengan takut meminjam uang dengan nominal yang bagiku cukup besar. Satu juta. Sedangkan gajianku hanya sembilan ratus ribu
Sebelum di blokir ternyata Mbak Desi terlebih dahulu mengirimkan chat. Makian demi makian ia lontarkan layaknya anak panah yang langsung menusuk jantung.[Kamu adik ipar ngga berakhlak! Nagih di grup WA. Dasar perempuan yang tak pernah makan bangku sekolah ya begitu!][Hutang tak seberapa saja kamu tagih di depan semua saudara, sudah merasa kaya ya?! Asal kamu tahu, sekarang aku bisa saja beli tuh mulutmu juga!][Pokoknya, aku ngga mau tau! Kamu harus klarifikasi tentang semua itu. Baru aku masukkan grup lagi! Bilang kalau tadi cuma salah paham dan aku tak punya sangkutan sama kamu. Begitu. Mengerti!]Setelah chat di atas itu, kemudian Mbak Desi memblokir nomorku. Dia mungkin belum tahu siapa Fitri! Apa dia pikir aku takut sekali dengannya.Kucing-cingkan lengan. Mengambil langkah seribu untuk menuju rumah Mbak Desi yang berjarak dua kilo meter. Kalau biasanya aku akan naik ojol. Kali ini biar aku jalan kaki saja. Meleburkan lemak didalam perut."Ma, mau kemana?" tanya Ilham anakku sa
Kepalaku sudah mendidih. Ingin segera menghilang dan langsung muncul di hadapan Mas Bayu. Si*l! Dia kurang di hajar. Tega benar dia memberikan uang pada kakaknya dengan uang yang akhirnya aku yang bayar. Kita hitung-hitungan empat kali empat! Sempat tidak sempat harus di jawab! Ehhhh.Pusing! Ah. Ngomong apa tadi?Aku segera langsung meluncur pulang. Rasanya mataku sudah berembun. Dengan di antar Sari menggunakan sepeda motornya. Aku diam tanpa kata."Sabar ya, Fit. Ambil hikmahnya saja!" Sari yang tengah mengemudi berucap. Aku masih diam. Ada rasa sesak didalam hati ini."Mungkin memang salah suami kamu. Dia harusnya ngga bilang begitu, sedangkan dia tahu kalau kehidupan keluarganya saja masih Senen Kemis." cicit Sari lagi."Senen Kemis?" tanyaku tak mengerti maksud ucapan Sari. Kaya puasa sunah saja?"Maksudnya kembang kempis, Fit. Kadang ngambang kadang ngempis! Hahahaha .... " Sari terbahak di akhir kalimat. Pasti dia sedang berhalu hal yang tabu.Aku mengerucutkan bibir. Aku tahu
Licik!Dia memvideo diriku saat dia mengatakan jika Mas Bayu memberikan uang itu, bukan hutang. Ya ... Memang saat itu, expresiku begitu shok. Kaget setengah mati dan hampir menangis.Dia memberikan tag pada video singkat itu.(Sudah saya bilang ngga punya hutang sama dia. Sekarang dia nyesel dan minta maaf. Tentu Desi maafkan kok. Bagaimana pun kamu tetap adik iparku.) Dengan di akhiri emoticon peluk dan cium.Ciuuhh!Mana hati tak panas. Semua dia buat drama. Benar-benar sangat membuat sebal. Lihat saja, akan aku lanjutkan perseteruan di grup keluarga.Niat hati mengajak Sari untuk memvideokan bagaimana aku menagih hutang pada Mbak Desi yang galak seperti singa. Kenapa malah jadi video aku yang dia viralkan?Aku masih melihat, dari sisi mana dia mengambil gambarku dan berfikir siapa yang mengambil itu. Pasti ini ulah anaknya Natasya! Aku menduga, karena siapa lagi? Suami Mbak Desi tak mungkin mau tapi ... Ngga tahu juga, bukankah sekarang sudah jadi horang kaya.Aku berfikir, dari m