"Hei, Fit! Pinjam dari mana semua barang-barangmu itu?" tanya Mbak Desi. Ternyata dia bawa aku kesini hanya penasaran dengan apa yang telah aku gunakan. Ia bahkan melebarkan gamisku, kemudian juga melihat tanganku. Tentunya cincin dan gelang yang ia lihat dengan segsama."Maaf ya, Mbak. Aku ngga minjam. Beli sendiri!" Aku membalik badan berniat akan kembali masuk. Pasti Ilham tengah menunggu."Tunggu! Aku belum selesai!" Mbak Desi menahan tanganku. Ia justru membawa aku sedikit masuk kedalam kebun."Lepaskan, Mbak. Banyak nyamuk ah di sini!" gerutuku dengan meronta. Sebenarnya bukan itu alasannya. Tapi aku merasakan hawa dingin di kebun ini."Kamu jawab jujur! Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua itu?" tanya Mbak Desi mengimidasi."Alhamdulilah dapat rejeki dari Allah, Mbak." Aku menjawab santai dengan mengibaskan gamis. Karena sudah banyak nyamuk yang berterbangan di sekitarku."Kamu tak melakukan pesugihan kan?" tanyanya kemudian. Seketika aku menghentikan aktivitas mengus
"Apa maksud, Mbak Desi?" tanyaku langsung mendekat padanya.Dia membuang wajah. Seolah apa yang ia katakan tak ada berita ulang."Ngomong yang jelas, Mbak. Berani ngomong didepan muka orangnya! Jangan beraninya bilang sambil melegos!" Aku mulai terpancing emosi."Kenapa? Memang kamu pake pesugihan kan! Makanya jadi begini, Mbak Sarah jadi kena sialnya. Icha bunuh diri dan pernikahan batal. Mempelai laki-laki minta ganti rugi!" Mbak Desi berkata dengan lantang. Aku makin naik pitam."Kalau aku pakai pesugihan! Kamu sudah kujadikan ganjal di lereng gunung sana, Mbak!" Aku menunjuk gunung yang menjulang tinggi. Tak peduli berapa pasang mata yang memperhatikanku."Bukan Icha atau keluarga Mbak Sarah. Kamu! Karena hanya kamu yang hutang dan tak mau bayar. Itu udah syarat mutlak Buto ijo mau memakanmu karena kamu yang telah memakan uangku!" Emosi sudah tak terkendali. Aku makin di buat jengkel dengan kata-kata nyiyirnya. Beberapa tetangga yang ada disana saling bisik."Sudah, sudah, kalian
"Tadi Desi kesini ketakutan, mengadu semuanya tentang apa yang sudah ia perbuat. Katanya Udin meminta uang yang sudah di berikan pada Desi sekitar sepuluh juta. Kata Udin, dia memberi uang segitu sebagai kompensasi karena telah mempertemukan Udin dengan Icha, juga sebagai tanda pinangan." Mbak Sarah berkata dengan sendu. Kasian. Musibah yang di lalui begitu banyak dan nyatanya di lakukan oleh keluarganya sendiri. Hanya karena memandang harta, mereka tak berfikir sebab akibat. Pikiran mereka hanya tertuju jika kaya, hati bahagia. Miris!"Padahal uang itu sama sekali tak kami terima. Kata Desi pihak laki-laki tak mau acara lamaran dan langsung menikah saja. Entah kenapa saat itu kami menurut. Bahkan pertemuan dengan pihak laki-laki saat diskusi saja, Desi yang memimpin dan seolah dia yang memutuskan. Dengan tanggal yang ditentukan terlalu cepat. Hanya satu bulan saja!" Adunya lagi. Kalau sudah begini, siapa yang di salahkan? Harusnya Mbak Sarah tidak terlalu gegabah. Atau jangan-janga
"Eh maaf, Mas, lupa." Aku tersenyum malu. Abang ojol hanya melegos, seperti tampak kesal. Biar aja lah, memang aku salah.Segera aku menuju di mana beberapa orang tengah menonton pertunjukan didepan rumah Mbak Desi."Ada apa ini, Bu?" tanyaku pada Ibu-ibu yang tengah asik ngehibah."Itu loh si, Jali dan Desi. Lagi sedang ada yang nagih. Lebih serem dari rentenir!" ujar salah satu Ibu."Kalau menurutku sih bukan nagih, tapi meminta uang. Soalnya tadi saya dengar. Laki-laki yang datang berteriak jika meminta jali menyerahkan uangnya." Ibu yang berada disebelahnya kembali berujar.Aku hanya manggut-manggut. Namun, masih penasaran dengan apa yang terjadi. Ingin mendekat tapi sepertinya tak memungkinkan. Laki-laki paruh baya keluar dengan emosi. Memegang perhiasan Mbak Desi. Melihatnya dengan segsama namun, semenit kemudian melemparkannya tepat disaat Mbak Desi keluar.PranggSuara khas benda logam jatuh."Miris! Kalian mau menipu aku dengan memberikan perhiasan palsu?" Laki-laki itu emosi
"Kok malah nangis, Cha. Kenapa?" Aku mengepuk-epuk punggungnya. "Hikzz, gara-gara pernikahan aku yang batal, Tan. Sekarang Mama sama Bapa kesusahan. Dia punya banyak hutang, terlebih pihak laki-laki menuntut semuanya kembali termasuk uang yang telah Mbak Desi makan. Huuuhuuu ...." Icha makin keras menangis.Oh itu yang membuat Mbak Sarah dan Mas Rian akhirnya pergi kerumah Mbak Desi. Mungkin ingin menyelesaikan semuanya. Lagian Mbak Desi juga keterlaluan. Sama keponakan sendiri malah di cari untung."Jadi Mas Rian kerumah Mbak Desi untuk menyelesaikan masalah itu, Cha?" Mas Bayu membuka suara. Kali ini Icha mengeleng. Tentu membuat kami makin bingung."Lah terus?" Mas Bayu kembali bertanya."Sebenarnya ada masalah lain. Ini lebih memalukan, Om, Tante. Disisi lain aku bersyukur bisa membatalkan pernikahan ini. Karena ternyata Udin itu ...." Icha menggantung ucapannya."Udin itu ... Pacarnya Mbak Desi." Icha akhirnya menyelesaikan ucapannya."Pacar? Maksud kamu ... Pacar Mbak Desi dulu
"Eh, Mbak Melan. Sedang apa?" Mas Bayu juga mengenalinya. Aku menyempitkan mata, bahkan terdengar nada ramah pada Mas Bayu. Apa jangan-jangan ...."Oh, ini pengen makan bebek bakar aja. Apa aku boleh gabung?" tanya wanita yang di panggil Mas Bayu dengan sebutan Melan.Apa? Gabung. Yang benar saja. Bahkan sejak awal, dia tak melirikku sama sekali. Seolah aku dianggap hantu sama dia. Ganjen."Boleh, silahkan. Perkenalkan dia istriku Fitri dan itu anakku Ilham." Akhirnya wanita itu baru mau memandangku, tersenyum sedikit kemudian malah duduk disebelah Mas Bayu. Duh ... Kesal."Sama siapa? Ngga sama Engkong?" tanya Mas Bayu. Aku tak mengerti siapa yang di panggil engkong."Ngga, sendirian aja. Kalau sama engkong suka lama! Lama jalannya." Dia berbisik di akhir kata. Tapi aku tetap bisa mendengar. Siapa engkong dan siapa Melan. Ingin bertanya lebih jauh tapi sepertinya waktunya belum tepat.Melan bercerita pada Mas Bayu tanpa beban. Seolah sudah kenal Mas Bayu lama. Aku hanya menyimak d
"Hitung menghitung? Apa maksud kamu, Mbak?" tanyaku langsung yang baru keluar."Nah ini orangnya!" Mbak Desi langsung merebut kertas yang dipegang Mas Bayu."Baca ini! Semua ini biaya suamimu selama kami rawat dulu! Apa kamu mau membayarnya?" Aku mengambil kertas yang ia sodorkan. Berisi catatan panjang. Tentang biaya makan tiga kali kemudian dikalikan berapa ribu. Aku bahkan tak mudeng dengan yang di tuliskan."Ini apaan, Mbak?" tanyaku."Itu semua rinjian biaya Bayu dulu! Jumplah saja, siapa tahu kamu mau menggantinya. Kita tinggal itung-itung saja. Potong utangku yang sepuluh juta kemarin. Masih kembali banyak kan ke aku?"Aku melihat nominal dibawah sana yang mendekati di angka seratus juta."Itu pakai totalan dulu. Kalau nilai rupiah sekarang. Kamu tahu kan berapa kali lipat?""Ini maksudnya Mbak Desi mau minta bayaran atas apa yang Mbak berikan pada Mas Bayu dulu? Mbak ngga iklhas?" Aku mulai kesal. Dia seolah menggunakan kesempatan untuk memeras kami."Tidak! Sudah pantas aku
"Bagaimana bisa sampai aku tak tahu? Atau aku lupa?" Aku mengingat keras. Apa aku pelupa karena sibuk atau ....Aku berusaha membuka chat dari Mbak Saras. Takutnya aku ngga baca atau terlewat. Tak ada chat dari dia? Kemudian aku mencari kontak Mas Rian juga tapi nihil."Kenapa?" tanya Mas Bayu yang mulai naik keranjang. Mungkin heran melihatku bermain ponsel dengan gugup."Ini, Mas. Kamu udah lihat grup kan?" tanyaku penasaran.Dia mengangguk. "Tentang acara lamaran Icha?" tanya Mas Bayu kemudian."Iya, Mas. Kamu tahu, kok ngga ngabarin aku. Kan kita bisa datang. Kalau begini kita jadi ketinggalan. Ngga enak sama mereka," ujarku."Aku juga baru tahu saat lihat di grup. Mereka ngga ngabarin kita, artinya kehadiran kita tidak diharapkan bukan?" Mas Bayu menatapku intens.Benar juga. Kalau mereka tak mengabari tentang acara itu. Artinya mereka tak ingin kami hadir. Tiba-tiba ada rasa nyeri di ulu hati."Sudahlah. Tak perlu di pikirkan. Lagian, bukannya kemarin mereka juga tak datang saat