"Begini, Fit. Entah kenapa orang yang sudah fix mau bayar tanah yang kutawarkan. Di telfon sudah deal, sudah lihat tanahnya juga mensurvei bahkan berjanji bawa uang dan bertemu di tempat yang di janjikan tapi saat bertemu langsung memilih mundur. Bahkan ada yang terang-terangan bilang jika aku penipu!" Mas Bayu berkata dengan nada sedih."Kok bisa, kamu nipu apa?" tanyaku penasaran."Nah itu, Fit. Aku ngga tahu. Mereka tiba-tiba seolah benci padaku. Padahal sebelumnya baik-baik saja.""Ya sudah, Mas. Sebaiknya kita berfikir positif. Mungkin memang belum rejeki. Sabar ya, Mas." Aku menenangkan Mas Bayu. Tentu takut jika dia akhirnya memilih jalan untuk berbuat syirik.Memang yang kami alami ini tak nalar di pikir. Tapi, kami masih punya Allah. Ada dia yang maha pemberi jalan segalanya."Iya, Fit. Ya sudah Ayuk kita tidur!" Ajak Mas Bayu. Aku memilih untuk melakukan salat sunah dahulu. Takutnya jika nanti kesiangan dan dapat melaksanakannya.***Sesuai instruksi yang sudah kami sepakati
Aku berfikir keras. Mengingat laki-laki yang foto bareng bersama Mas Rian. "Ah! Aku ingat. Bukankah dia ...?" Aku ingat sekali wajahnya. Dialah orang yang berdiri dengan pakaian aneh di depan warungku saat Ririn tengah belanja. Terus siapa dia? Bagaimana Mas Rian mengenalnya?Aku mengetuk-ngetuk kepala. Mencoba menerka hubungan mereka. Bagaimana?Duh! Kok kepalaku jadi pusing.[Muda, sukses dan juga dermawan. Adikku ... Sukses terus ya!] Aku membuka Status Mas Rian yang masih dengan laki-laki itu."Mas!" Panggilku pada Mas Bayu yang tengah memegang ponsel dan duduk sambil menikmati kopi."Kamu kenal sama dia, Mas?" tanyaku memastikan. Sambil menunjukan fotonya.Dia mengamati sebentar. Kemudian mengeleng."Enggak, Fit. Memangnya kenapa kok sama Mas Rian? Mungkin teman kerjanya kali." Mas Bayu menerka-nerka."Justru itu, Mas. Laki-laki itu adalah orang yang aku lihat dengan pakaian aneh kemudian menghilang!" cekatku.Mas Bayu langsung mengadah. Ia kembali melihat ponselku. Mungkin mema
"Panji, adik tiri?" Aku bergumam sendiri."Maksud, Mbak. Adik tirinya Mba Sarah?" tanyaku memastikan. Walau tadi dia bilang adik tiri kita. Tapi, kenapa aku tak percaya. Selama ini Mas Bayu tak pernah cerita punya adik tiri?"Ya Allah, kamu budeg. Adik tiri Aku juga Bayu!" Aku melongo, mendengar jawaban Mbak Desi. Adik tiri! Kata-kata itu terus terngiang di telingaku."Kok aku baru tahu kalau Mas Bayu punya adik tiri?" tanyaku lagi dengan menatap Mbak Desi."Ya mungkin Bayu lupa. Karena dulu saat Panji lahir itu Bayu masih balita. Apalagi setelah itu Papa dan Mama meninggal. Tentu akhirnya kami tak dapat mengetahui kondisi Panji. Baru kemarin-kemarin ia muncul dan mengakui semuanya bahwa dia juga saudara kami." Aku mengangguk. Mungkin apa yang dikatakan Mbak Desi benar. Mas Bayu tak tahu tentang ini. Tapi ... Apa selama itu hingga mereka tak pernah saling berkirim kabar."Papah tuh dulu menikah lagi. Mama tahu dan shok berat. Akhirnya saat hamil Ririn, Mama penyakitan dan meninggal s
"Siapa yang meninggal, Mar?" tanyaku setelah Mariana menutup telfon. Bahkan dia terlihat terbengong. Mungkin kaget atau shok."Mar?" Aku goyangkan tubuhnya. Baru ia tersadar."A-anu, Mbak. Yang meninggal itu ... Itu, Uli." ucapnya terbata.Mulutku menganga, tak menyangka dengan apa yang baru di sampaikan Mariana."Kamu jangan bercanda, Mar?" tanyaku berusaha meyakinkan diri. Walau aku tahu, Mariana juga tak mungkin bercanda."Bener apa yang kamu katakan, Mar? Bahkan tadi pagi kita juga ketemu kan. Saat mau berangkat. Dia mengeluh pekerjaannya di rumah bos baru yang membosankan?" Kali ini Sopi yang berkata. Mereka memang sering bersama walau rumahnya agak jauh. Katanya pekerjaan disini yang membuat mereka dekat satu sama lain."Be-bener, Mbak. Bener, Sop. Ini keluargaku yang mengabarkan. Mereka sedang takziah kesana.""Kamu mau langsung kesana?" tanyaku pada Mariana. Ia mengangguk. "Ya sudah, aku juga ikut. Mas!" Aku langsung memanggil Mas Bayu."Mas! Antar kerumah Uli!" ucapku pada M
PoV Bayu."Panji!" Itu nama yang di sebut Fitri sebagai adik tiriku. Tadinya aku tak ambil pusing. Toh, selama ini dia tak pernah mengangu keluargaku. Baik keluarga inti seperti Mas Rian dan yang lain ataupun keluargaku, keluarga kecil.Tapi, hari ini aku di kejutkan dengan penuturan Fitri dan juga pengakuan karyawanku. Bahwa semua masalah itu datang dari Panji.Jiwa lelakiku tentu berontak. Bagaimanapun aku geram dengan tingkahnya yang membuat usaha yang kurintis bangkrut. Tapi ... Aku penasaran atas motif apa yang membuat Panji begitu dendam padaku?Masih kuingat. Saat itu usiaku sekitar delapan atau sembilan tahun. Saat seorang perempuan datang kerumah. Dia mengungkapkan tentang acara seribu hari ayahku. Tapi, dengan tegas saat itu Mas Rian yang sudah dewasa menolak. Aku tak tahu pasti saat itu apa yang di permasalahkan.Wanita itu di usir keluar dari rumah kami. Rumah yang sekarang di tinggali Ririn. Rumah sederhana namun menyimpan banyak kenangan disana.Dulu, Ibu memiliki sawah
Gegas aku tak jadi tidur. Segera masuk kamar mandi membasuh wajah dan berganti baju. Aku ingin segera kerumah Mas Rian. Takut jika sampai Icha kenapa-kenapa. Sungguh menyedihkan jika dia harus menjadi korban Panji. Dua kali pernikahannya akan menjadi ujung maut baginya. Aku tak akan biarkan nasib keponakanku sama dengan Uli. Harus di cegah."Bu, aku pergi dulu!" Pamitku pada Ibu yang tentu membuatnya kaget."Kemana?" tanya Ibu saat aku mengenakan sandal."Kerumah Mas Rian ada masalah, Bu," ucapku yang langsung meluncur karena sudah ada ojol yang menunggu.Pikiranku tak tenang, terlebih sampai saat ini Mas Bayu belum juga mengabarkan apapun. Semoga aku tak terlambat. Aku ingin buktikan jika aku tak bersalah dan semua tentang fitnah padaku bohong belaka."Sedikit cepat ya, Bang!" ucapku."Iya, Mbak. Jangan terlalu buru-buru. Nanti kaya kemarin lupa bayar!" Seketika aku melihat spion. Ternyata dia orang yang sama saat itu. Duh ... Kan jadi malu."Kali ini enggak dong, Bang. Aku udah pak
"Kamu ngapain disitu?" tanyaku yang langsung ikut duduk disebelahnya. Dia salah tingkah. Mengeser sedikit tubuhnya menjauh dariku. Dengan tangan tetap mengusap sudut mata."Tadi apa yang terjadi dirumah Panji?" Langsung aku buka percakapan. Rasa penasaran tentu sangat membuncah."Ngga apa-apa. Cuma sedikit bersitegang," jawab Mas Bayu tanpa menoleh."Itu yang membuat sudut bibirmu lebam?" Aku menyentuh sudut bibirnya. Dia melonjak, seperti kesakitan."Aku kompres ya?" tanyaku memastikan jika dia mau."Ngga usah, nanti dirumah saja!" Jawab Mas Bayu membuat aku memundurkan badan. "Apa Panji tadinya tak mau memberikan air minum, hingga sampai kalian adu otot atau ... Ada masalah lain?" tanyaku memastikan kembali. Rasanya aku masih penasaran jika belum menemukan jawabannya. Bukan apa, tapi kenapa hanya meminta air saja harus adu kekuatan atau ... Mas Bayu yang lebih dulu mulai karena merasa tak terima keluarganya jadi teror olehnya."Sudahlah, aku lagi pusing! Jangan tanya-tanya dulu!" M
"Ka-kamu ngga papa kan?" tanyaku dengan bergetar. Aku memeluk Ilham erat. Takut sesuatu yang buruk terjadi."Maaf." Hanya kata pendek yang terlontar dari mulutnya. Aku saja heran. Baru kali ini melihat Mas Bayu begini."Maaf atas kejadian tadi. A-aku ...." Mas Bayu mengantung ucapannya.Aku menghela nafas lega. Aku kira dia akan melakukan tindakan apa. Melihat tadi betapa dia dengan mudah mengeluarkan kata-kata yang membuat telinga ini panas."Iya, ngga papa," jawabku. Tapi raut Mas Bayu tak ada sedikitpun senyuman. Dia mulai kembali menjalankan mobilnya hingga sampai rumah dan tak mengatakan apapun.Sampai rumah, aku langsung mengambil air wudu dan salat malam. Mas Bayu langsung menuju tempat ternyaman dan terlelap.Karena sudah hampir subuh, aku memilih tak tidur. Tentu karena nanti akan kesiangan untuk kepasar. Beranjak kedapur untuk membuat secangkir kopi penunjuang mata tetap melek."Fit, kamu sudah pulang? Apa Bayu sudah ditemukan?" tanya Ibu yang baru saja keluar. Beliau juga s