Share

part 5 sikap sebenarnya dia itu yang mana?

Pagi hari...

Kicau burung pipit terlantun indah dalam dinginnya suasana pagi. Tirai putih berkibar membangunkan seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang.

"An! An!"

Perlahan Vivian membuka mata, ketika matanya memicing, terlihat samar beberapa wajah yang tengah mengerumuninya. Dengan pelan dia menarik badan lalu membenarkan posisinya.

"Akh..." rintih Vivian merasakan denyutan di kepala.

"Tidurlah, jangan bergerak, nanti kamu pusing lagi,...haish...kamu ini bagaimana di hari pertama sudah sakit begini," ucap Evelyn sambil memberikan perhatian.

Vivian menyandarkan kepala sambil memejamkan mata untuk beberapa detik.

Bagai pelangi yang datang setelah badai, Vivian menghembuskan nafas lega setelah melihat sang ibunda yang tengah mengkhawatirkan dirinya. Entah ke mana hilangnya rasa takut yang kian menghantui setiap kali melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu, sekarang tak ada yang perlu Vivian takuti lagi, semua penderitaan ini sudah selesai sampai di sini.

Air mata Vivian mengalir dari ujung mata disertai tangisan pelan.

"Hey sayang kenapa? Sakit lagi?" tanya Evelyn khawatir.

Dia menggeleng kecil sambil berusaha menahan derai air mata bahagia.

"Ma... Aku ingin pulang..." adu Vivian seraya menggenggam kedua tangan sang ibu.

Evelyn yang melihat putri tercintanya terlihat menderita, hanya membalas dengan pelukan hangat.

"Jangan menangis ya, kalau kangen mama, kamu bisa pulang," ucap Evelyn menguatkan.

"Enggak Ma... Aku ingin pulang..." ucap Vivian dengan isakan tangis yang semakin kencang.

Wanita paruh memandang putrinya dengan pandangan teduh, seakan mengasihani namun tak bisa melakukan apa-apa.

"Mama... Tolong aku..., aku hampir dibunuh oleh manusia itu," adu Vivian.

"Mama... Aku ingin pulang..." Vivian mengencangkan tangisnya.

Evelyn masih setia mendengarkan tanpa membalas, disertai pandangan mengasihani.

"Mama tidak percaya padaku?"

Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, bukan sebagai balasan kepercayaan, namun seakan menyuruh Vivian untuk berhenti berbicara hal yang tak masuk akal.

"Lihat tanganku, aku digantung olehnya..." adu Vivian menyingsingkan lengan bajunya.

"Sudah... Kamu hanya bermimpi, An," ucap Evelyn sembari memegang kedua tangan Vivian.

"Bagaimana Mama bisa tidak percaya padaku?"

Evelyn mengeratkan genggamannya seraya memandang Vivian khawatir hingga wanita itu perlahan melihat pergelangan tangannya sendiri.

"Bagaimana bisa?" batin Vivian tak percaya.

"Di tanganmu tak ada luka, sayang, kamu hanya bermimpi," ucap Evelyn menyadarkan.

Set!

Vivian menarik tangan, melihat dengan teliti letak bekas luka di pergelangan tangan yang tiba-tiba menghilang.

"Bagaimana bisa, aku..." Vivian masih belum percaya dengan apa yang dia lihat. Kejadian malam itu jelas dia rasakan dengan begitu nyata. Setiap menit, bahkan setiap detik ketegangan ketika melihat suaminya tidak pernah bisa terlepas dari pikiran Vivian. Bagaimana hal itu bisa disebut hanya sebatas mimpi?

"Enggak... Ma... pokonya aku mau pulang, Mama, tolong aku..." ucap Vivian dengan derai air mata.

Cklek...

"Ma..."

"Oh, sudah bangun ya."

Seorang pria datang membawa secangkir susu hangat mendekat dengan wajah berseri. Sementara itu, Vivian menggenggam erat tangan sang ibu, dengan detak jantung yang tiba-tiba melaju cepat, hawa dingin seakan menerpa hingga mengalirkan keringat dingin sedikit demi sedikit.

"Mah..." ucap Vivian pelan dengan pandangan lurus ke bawah.

Max menyimpan pelan secangkir susu di atas laci.

"Mau minum dulu?" tawar Max, namun Vivian malah semakin mengencangkan genggaman kepada ibunya.

"An," ucap Max.

Vivian diam membeku tanpa sedikit pun tergerak. Kuku kecilnya terlihat keluar menggerogoti tangan sang ibu.

"Max, sepertinya kamu harus..." ucap Evelyn menggantung.

"Aku mengerti, maaf aku malah harus merepotkan Mama di situasi seperti ini," sela Max kemudian melangkah pergi menjauh.

Bak!

Pintu ditutup rapat. Evelyn kembali menatap Vivian serius. Pernikahan ini memang pernikahan mendadak, Evelyn juga mengetahui ketiadaan cinta dalam pernikahan singkat tersebut, namun penolakan Vivian dengan cara seperti ini sungguh keterlaluan, melihat raut Max yang tampak kesal menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Evelyn.

"An, kamu hanya bermimpi," ucap Evelyn.

"Enggak Ma! Aku mengingat semuanya, aku ingat tindakannya padaku!" timpal Vivian.

"Kamu lihat mata tulus suamimu tadi? Bagaimana dia marah namun tidak bisa mengatakannya di depanmu, kamu lihat kan tadi?"

"Mama, dia hanya pura-pura! Aku..." bela Vivian terpotong.

"Sudah, kamu hanya bermimpi. Mama melihat igauanmu semalam dari ponsel suamimu, kamu terus memakinya dengan kasar. Coba pikirkan bagaimana perasaan Max mendengar makianmu semalaman?"

"Pikirkan lagi, kamu hanya bermimpi, perlakukan suamimu dengan benar ya, ini demi kebaikanmu juga," ucap Evelyn menasihati.

Di sisi lain, Vivian tertunduk sambil mengeluh keras dalam hati.

"Bagaimana bisa aku memperlakukannya dengan baik, setiap kita bertemu saja, tak ada sedetik pun kesempatanku untuk bernafas dengan tenang," batin Vivian.

"Mama akan pulang malam ini, ingat apa yang Mama katakan, Mama sangat menyayangimu, An," ucap Evelyn mencium kening Vivian kemudian beranjak pergi.

Sesaat semua tetap berjalan sama, tak akan ada yang berubah sekalipun semua orang tahu tentang ceritanya. Vivian meremas selimut sambil menggerakkan gigi.

Cklek...

Pandangan Max tertuju pada wanita yang tengah duduk dengan pandangan lurus ke depan.

Seketika, Vivian berbalik menatap seseorang di awang pintu sana. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya masih mengeluarkan reaksi yang tetap sama, sekujur tubuh menegang disertai detak jantung yang kian berdenyut kencang.

"Masih takut?" tanya Max.

Vivian terdiam membeku di tempat dia berada.

"Minum dulu, kamu butuh nutrisi," pinta Max sembari memberikan segelas susu.

Vivian malah membalikkan wajah, enggan melihat wajah suaminya.

"Jangan takut, aku akan berlaku baik," ucap Max sembari mengelus pucuk kepala Vivian.

Set...

Ketika tangan pria itu hendak mengelus pucuk kepala istrinya, Vivian otomatis menghindar. Max menghela nafas, istrinya ini masih belum bisa menerimanya.

"Huh...sepertinya kamu perlu waktu sendiri, kamu bisa memanggilku jika butuh bantuan," ucap Max kemudian melangkah pergi.

Setelah Max benar-benar menghilang dari pandangan, di sisi lain, Vivian tengah tertunduk merenung dengan sikapnya sendiri.

"Sebenarnya, sikap dia yang benar itu yang mana?" batin Vivian bergelut dalam pikiran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status