Share

Bab 4 Pria Jahat dan Wanita Yang Tergantung

Kana menatap Suga dengan ragu, ia menelan ludahnya sebelum suara seraknya mulai mengalun bercerita.

....

"Dasar jalang!" teriak seorang pria paruh baya sambil melayangkan sebuah botol kaca.

Seorang wanita yang duduk berlutut di lantai memekik ketakutan, tapi pria itu justru semakin menjadi. Tangan kekarnya menjambak rambut si wanita, hingga terlihat helaian rambutnya rontok di tangan pria yang mabuk dan sedang mengamuk itu.

"Mana uang ku, brengsek!" teriak pria itu dengan penuh makian sambil menghantamkan botol kata itu dinding di belakangnya.

Prang!

Serpihan kaca berserakan di lantai, belum cukup dengan menjambak kini pria itu menendang tubuh wanita itu hingga menabrak dinding. Tangisan kesakitan dan juga takut terdengar begitu pilu, wanita itu meringkuk di lantai menahan sakit. Seisi rumah sudah tak berbentuk, pecahan kaca dari vas dan gelas berhamburan di lantai. Perabotan rumah seperti kursi sofa dan meja pun tak luput dari amukan pria itu.

Mereka berdua adalah sepasang suami istri, kekerasan yang dilakukan oleh pria itu bukan hanya baru kali ini. Pria itu juga bukan tak mengenal jeruji besi, sudah berulang kali ia masuk. Salah satunya karena kasus kekerasan dalam rumah tangga. Belum lama ini ia keluar dari rumah sakit, setelah tetangganya melaporkannya ke pihak berwajib karena kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tapi satu minggu kemudian, ia kembali bebas setelah sang istri menangis dan menyerahkan surat pencabutan tuntutan.

Dan kini pria itu kembali memukuli istrinya dengan kejam.

Brak!

Suara dari pintu yang di banting terdengar begitu nyaring, setelah memukuli dan melampiaskan amarahnya ia pun pergi.

Kini tinggallah wanita itu yang menangis tersedu-sedu, sambil merangkak menghampiri seorang gadis remaja yang juga menangis sambil membekap mulut itu saat sang ayah akhirnya pergi.

Gadis yang masih remaja itu berlari menuju ke arah ibunya, dan memeluknya dengan erat.

"Tidak apa," ujar Ibunya dengan suara serak dan lemah.

Namun, tak lama setelah itu. tepat pukul 12 malam lewat 5 menit.

Kana melihat sesosok perempuan paruh baya yang tak lain adalah ibunya sendiri, meregang nyawa dan menggantung pada seutas tambang di langit-langit rumahnya. Lalu tak berselang lama, seorang pria yang tak lain adalah ayahnya pulang. Masih dalam kondisi mabuk dan sepertinya lebih parah sehabis bermain judi. Entah karena terlalu shock pada kenyataan ibunya yang bunuh diri, Kana hanya meringkuk saat tubuhnya di pukul dan juga ditendang oleh ayahnya.

"Brengsek, karena jalang itu mati. Sekarang giliran mu untuk menggantikannya!" teriak sang ayah yang murka, setelah lagi dan lagi ia kalah judi.

Setelah puas meluapkan emosinya dengan memukuli putrinya sendiri, pria itu berbaring di sofa dan tertidur lelap. Sedangkan Kana perlahan mulai merangkak ke arah mayat sang ibu yang masih tergantung, gadis remaja itu memeluk kaki ibunya yang sudah mulai mendingin dengan erat.

"Ibu. Kata ibu, kita harus bertahan. Bahkan saat kakak mengajak kita untuk kabur, ibu menolaknya. Tapi kenapa sekarang ibu pergi sendirian tanpa mengajak aku dan kakak," ucap Kana dengan suara serak yang nyaris hilang.

....

Seorang remaja yang berjalan menerobos hujan pada dini hari, masih dengan seragam sekolahnya yang lusuh ia seakan tak peduli dengan air hujan yang sudah mengguyur tubuhnya. Setalah seharian kemarin ia tidak pulang, dan bekerja lembur di tempat kerja sambilannya hingga pagi hari ini ia akhirnya pulang. Senyum merekah di bibirnya yang sedikit pucat, entah apa yang membuatnya seakan mendapat setengah dari dunia di bawah kakinya itu.

Dengan semangat remaja itu membuka pintu rumahnya. "Ibu! Kana! Kakak pulang," seru remaja itu.

Namun, suasana rumah begitu sunyi dan juga gelap. Remaja itu berjalan meraba-raba dinding dan mulai menyalakan lampu, seketika bola matanya yang berbinar cerah itu redup dan bergetar. Kana yang menyadari dengan kehadiran kakaknya menoleh, dan dengan wajah sembab berurai air mata ia memohon dengan suara serak menahan tangis.

"Kakak, tolong ibu," ucap seorang gadis remaja itu yang menatap ke arah remaja laki-laki itu dengan putus asa.

"Kak Theo, aku tidak bisa menurunkan ibu," ucap Kana sambil memeluk kaki ibunya yang menggantung.

Theo menatap tak percaya ke arah tubuh ibunya yang sudah kaku menggantung di langit-langit rumahnya, lalu beralih pada adiknya yang juga dalam kondisi yang memprihatinkan. Wajah yang bengkak dan bahkan darah yang sudah mulai mengering di pelipis dan hidungnya.

Dengan dada yang sesak dan pandangan mata yang memburam Theo memeluk adiknya dengan erat. Sebuah bungkusan yang sedari tadi Theo genggam dengan riang gembira, seketika jatuh dan terabaikan. Membuat isi dari bungkusan itu berceceran di lantai, dan menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi mengenaskan.

Theo tak menyangka sedikit pun bahwa di hari ulang tahun adik kembarnya, Kana mendapatkan kado paling menyakitkan dari sang ibu. Butuh lebih banyak waktu saat Theo akhirnya berhasil menurunkan jasad ibunya, dengan hati yang pedih ia berlari keluar untuk meminta bantuan.

Hari itu juga Theo berserta adiknya melakukan upacara pemakaman untuk mendiang sang ibu, meski hanya seadanya mereka ingin melakukan hal yang berarti untuk jasad ibu mereka. Sepanjang acara pemakaman sosok sang ayah tak terlihat sedikit pun, membuat para pelayat bergosip di belakang tentang betapa malangnya nasib ke dua remaja itu.

"Astaga, kasihan sekali," ujar seorang nenek yang tinggal di samping rumah.

"Harusnya Mary mendengarkan saran untuk tidak mencabut tuntunan hukum pada suaminya itu, kasihan sekali. Haish sungguh malang."

Theo mengusap pundak Kana dan menepuknya perlahan, mencoba saling menguatkan dan memberi semangat satu sama lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status