"Satu juta per sesi." "Baiklah, tapi siapa yang akan saya susui?" "Saya." * Hanya gara-gara mengasuh bayi yang diambil dari tong sampah, Jihan diceraikan oleh suaminya karena alasan bayinya mengidap penyakit kelainan jantung. Sejak berpisah, Jihan pun banting tulang demi menghidupi bayi itu, hingga nekat menjual ASI-nya terhadap Reynand—CEO perusahaan bergengsi. * Masalah semakin rumit saat Reynand tahu bahwa bayi yang selama ini ia cari ternyata masih hidup, dan tinggal bersama asistennya sendiri.
View More"Satu juta per sesi."
Glek! Jihan Andari menelan ludah mendengar ucapan pria itu. Berdiri di sisi ranjang, tubuhnya tiba-tiba terasa kebas. Ia menatap pria yang duduk bersandar itu dengan rasa takut. Pasalnya Reynand Davidson bukanlah pria biasa, melainkan CEO dari perusahaan start up bergengsi lagi terkemuka. Bukan tanpa alasan mengapa Jihan berada di sana, semua tidak terlepas dari tuntutan hidup serta tanggung jawab sebagai orangtua. Sebenarnya, Jihan sudah menikah dan memiliki seorang buah hati, nahasnya Tuhan lebih menyayangi putranya dengan mengambil kembali tepat di usia tiga bulan. Saat itu, Jihan sangat terpuruk, syukurnya tidak berlangsung lama setelah dia menemukan bayi lain, terlantar dalam tong sampah, nyaris tak bernapas, juga kedinginan. Naluri seorang ibu membuatnya mengambil dan mengasuh bayi tersebut, walau dengan harus mengorbankan pernikahan. Jihan diceraikan karena suaminya tak menyukai keberadaan bayi, yang divonis mengidap penyakit kelainan jantung tersebut. Itulah alasan Jihan banting tulang, meski harus dengan mengorbankan harga dirinya. "Bagaimana?" "Y-ya?" Jihan mengerjap-ngerjapkan mata, tersadar dari lamunan nasib malangnya. "Satu juta per sesi, deal?" ulang Reynand, walau sebenarnya mengulang kalimat yang sama bukan dirinya sekali. "Sa-satu juta ... untuk sekali menyusui?" Seperti orang linglung, Jihan masih saja bertanya. Padahal, sebelum melamar ia sudah tahu bahwa pekerjaan ini memang harus menyusui. "Kenapa? Kurang?" "Tidak." Jihan menggeleng cepat, "Tidak, Pak. Bu-bukan kurang, tapi ... i-itu lebih dari cukup. Bapak serius akan menggaji saya per sesi? Bukan per bulan?" TAK! Reynand menutup tablet di atas paha, kemudian melirik Jihan yang menekuk wajah. "Saya tidak suka mengulang ucapan saya. Apalagi, itu sudah jelas tertera di brosur lowongan. Seharusnya kamu sudah tahu itu sebelum datang ke sini," cecarnya panjang lebar. Jihan tergemap, berusaha menahan diri agar tidak menjawab secara lancang. Dingin dan judes, itulah kesan pertama yang ia simpulkan dari sosok Reynand. "Dengar baik-baik," Reynand mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, "Saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Jika kamu tidak sanggup atau berubah pikiran, pintu keluar ada di belakang. Tapi kalau memilih tetap di sini, artinya kamu setuju dengan syarat-syarat saya tanpa drama tambahan." Satu sampai dua menit berlalu, Jihan masih membeku. Kata-kata Reynand sangat tajam dan menusuk hati, padahal Jihan tidak bermaksud seperti yang dituduhkan. Justru dia terharu sekaligus bahagia, karena Reynand tidak berbohong terkait pekerjaan dan bayaran tinggi seperti yang tertera di brosur. "Jadi? Kamu pilih bekerja atau keluar dari ruangan ini?" "Bekerja, Pak," jawabnya cepat, "Jelas pilih bekerja karena saya butuh. Maaf kalau tadi saya terkesan lancang, saya tidak bermaksud seperti yang Bapak pikirkan, kok. Serius," imbuh Jihan menekankan. Reynand terlihat manggut-manggut, sebelum akhirnya menyodorkan seberkas dokumen dengan sampul putih elegan ke arah Jihan. “Ini kontraknya. Baca dan tanda tangani kalau kamu benar-benar siap.” Perlahan, Jihan ambil dan mulai membaca isi dokumen itu dengan telapak tangan gemetar. Halaman pertama berisi rincian tugas, jadwal menyusui, serta nominal gaji satu juta per sesi, total tiga sesi per hari. Ada pula klausul kerahasiaan dan pernyataan bahwa dia tidak bisa membatalkan kerja sepihak sebelum kontrak habis. Jika melakukan pembatalan, maka penerima kerja wajib membayar penalti senilai lima ratus juta. "Li-lima ratus juta?" celetuk Jihan terkejut melihat nominal penalti yang tertera. "Ya." "Se-sebesar itu?" “Kamu bisa memilih, uang atau komitmen. Tapi begitu tanda tangan, jangan merengek untuk mundur. Saya tidak suka pekerja plin-plan," tegas Reynand menekan setiap kata, nadanya seperti palu yang menghantam logam dingin. Jihan menelan ludah. Ia menunduk, menatap dokumen di genggaman. Suara detak jantungnya menggema keras di telinga sendiri, seperti genderang perang. Kalau bukan karena rasa sayang dan tanggung jawab, jelas ia akan menolak pekerjaan tersebut. Mata Jihan berkaca-kaca, tapi cepat-cepat ia mengedipkan air itu agar tak jatuh. 'Bismillah, semoga niat baik ini menjadi ladang amal untukku. Aku merawat bayi malang, lalu menghidupinya dengan cara menjual ASI kepada bayi lain yang juga membutuhkan asupan sehat. Manusia memang ditakdirkan untuk menolong satu sama lain, mungkin inilah caraku menolong mereka.' Setelah berpikir panjang serta menimbang-nimbang keraguan, akhirnya Jihan membuat keputusan final. Perlahan, tangannya meraih pulpen di atas meja. Dengan tangan gemetar dan napas berat, ia membubuhkan tanda tangan di kolom kanan bawah pada lembar terakhir. Tanda tangannya mengukuhkan satu hal, sejak hari itu, tubuhnya bukan sepenuhnya milik sendiri lagi. "Sudah, Pak," ucap Jihan menyodorkan kembali dokumen ke depan Reynand. Reynand menerimanya, membuka lembaran terakhir untuk memastikan tanda tangan kontrak kerja sama selama setahun tersebut. "Bagus, dengan tanda tangan ini saya tidak perlu menjelaskan ulang job desk-mu, 'kan?" "Iya, Pak. Saya sudah baca dan memahami semuanya. Hanya saja masih ada beberapa yang mau saya tanyakan." "Apa itu?" "Untuk bayi yang saya susui, apakah dia lebih suka menyusu secara langsung atau menggunakan dot khusus?" Kembali Reynand melirik Jihan, menatap datar tanpa ekspresi, membuat wanita itu serasa ingin menghilang daripada bertemu pandang dengannya. Selain terhadap cacing, sepertinya ditatap atau menatap Reynand akan menjadi phobia baru Jihan. "Secara langsung." Jihan menelan ludah kasar, ragu-ragu ia mengangguk, "O-oh, baik, Pak. Lalu, kapan saya bisa mulai bekerja?" "Hari ini." Rasa lega merayap di dada Jihan, akhirnya setelah penderitaan beruntun kemarin, sekarang ada secercah harapan yang dapat menolong hidupnya bersama sang bayi. Dengan gaji satu juta per sesi, kali tiga dalam sehari, maka tiga juta sudah jelas ia kantongi. Uang sebanyak itu pasti cukup untuk membayar sewa kontrakan, membeli makanan, pemeriksaan sang bayi, juga kehidupan yang lebih baik bagi bayinya. Dengan senyum tipis penuh rasa syukur, Jihan membungkukkan tubuh. "Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah menerima saya. Oh ya, di mana bayi yang akan saya beri ASI?" "Di depanmu," jawab Reynand, mata tajamnya tak beranjak dari wajah Jihan. Sementara itu, kening Jihan tampak mengerut, pikirannya berputar cepat. Kepalanya bergerak menoleh sekeliling ruang kamar, mencari keberadaan box, tempat tidur bayi, atau seorang pengasuh yang mungkin membawa si kecil. Akan tetapi, yang ia temukan hanyalah kesunyian dan tatapan Reynand yang menusuk. "Huh?" Jihan tertawa kecil, meski nada suaranya terdengar lebih seperti kepanikan. "M-maksud Bapak gimana? S-saya tanya di mana bayinya?" Sebelah alis tebal Reynand terangkat tinggi, seolah heran melihat kebingungan Jihan. "Kamu masih belum paham juga?" Mendadak udara di ruang itu terasa lebih dingin, sedingin kutub utara. Begitu banyak keanehan yang Jihan rasakan, sesuatu yang membuat tengkuknya meremang tanpa alasan. Merasa ada yang tidak beres dengan Reynand, namun lidahnya terasa kelu untuk bertanya lebih banyak. "Bukan belum paham, tapi ...." Jihan mengangkat tangan, mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu. "Sebenarnya siapa yang akan saya beri ASI?" "Saya."Jihan terdiam. Suara di seberang tidak segera menjawab, tapi Reynand tidak bisa lagi menahan desakan dalam dadanya. Kalimat itu mengalir begitu saja—tanpa rencana, tanpa konsep, namun penuh dengan keyakinan yang telah tumbuh dari kegelisahan dan cinta yang tak lagi bisa ia sembunyikan."Menikah... minggu depan?" ulang Jihan lirih, seolah kalimat itu terlalu asing untuk dicerna dalam sekejap."Ya," ujar Reynand mantap, suaranya rendah namun tak bergetar. “Kita sudah terlalu lama menangguhkan kebahagiaan. Aku tidak ingin menunda lagi, Jihan. Bukan karena ingin terlihat sempurna di mata orang. Bukan karena tekanan dari siapa pun. Tapi karena aku tahu... kamu adalah rumahku. Dan aku ingin Rangga merasa aman berada dalam rumah itu.”Di seberang, Jihan mulai terisak lagi. Tapi tangis itu berbeda. Tangis kali ini seperti air yang menetes perlahan dari gelas yang terlalu penuh—bukan karena luka, tapi karena keharuan. Karena perasaan tidak percaya bahwa setelah semua badai, seseorang bisa masi
Telepon itu berdering begitu pelan, namun di tengah malam yang sunyi, suara itu terdengar seperti denting lonceng dari kejauhan yang menggema ke relung dada Reynand. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, lalu berdegup kencang, hampir tak tertahankan. Dengan sigap, ia meraih ponsel dari meja kecil di sisi ranjang, menekan tombol hijau, dan segera menempelkannya ke telinga.“Assalamu’alaikum...” Suara Jihan terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang retak oleh tangis yang tak jadi pecah.“Wa’alaikumussalam, Jihan...” jawab Reynand, suaranya serak, seolah ia baru saja menelan pil yang terlalu besar—pahit dan menyumbat tenggorokannya.Hening.Sejenak hanya suara napas yang terdengar dari dua sisi. Tidak berat, tidak pula tenang—gelisah dan canggung. Reynand menahan desakan untuk langsung bertanya banyak hal. Ia tahu, satu kata kasar saja akan membuat perempuan itu kembali menutup diri.“Terima kasih sudah menghubungiku,” ucap Reynand lembut, mencoba menjembatani
Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti
Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be
Jihan terdiam. Suara tawa yang sejak tadi memenuhi ruangan kini menguap, digantikan senyap yang mencekam dan aneh. Pertanyaan polos itu, yang terucap ringan dari bibir mungil Rangga, menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun."Bunda beneran Bunda Rangga?"Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Tidak ada nada tuduh, tidak ada makna tersembunyi. Tapi di telinga Jihan, itu terdengar seperti dunia yang menanyakan hakikat dirinya. Menanyakan keberadaannya. Menanyakan apakah cinta yang ia berikan selama ini sah?Ia menunduk, memandang wajah polos Rangga yang penuh harap menanti jawaban. Jihan ingin menjawab “ya,” ingin memeluk anak itu dan meyakinkan bahwa dirinya adalah tempat paling aman di dunia ini. Tapi suara itu tak sanggup keluar. Tenggorokannya tercekat. Jiwanya gamang.Air matanya tak tumpah, tapi dadanya basah oleh duka yang tak memiliki bentuk."Rangga masih kecil, dia tidak tahu," batinnya mencoba menenangkan diri. Tapi justru karena Rangga masih kecil, karena ia belu
Riko membuka map di tangannya—memperlihatkan beberapa lembar bukti cetak dan dokumen digital yang ia lampirkan. Ia menarik napas sebelum menjelaskan."Berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan yang saya lakukan bersama tim, kami menemukan beberapa hal yang mencurigakan terkait penyebaran isu plagiarisme terhadap Ibu Jihan."Reynand mengangguk pelan, menyimak dengan saksama."Awalnya, kami kira penyebar isu ini hanyalah akun-akun anonim biasa. Namun setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata terdapat pola konsisten pada waktu unggahan, gaya bahasa, serta kemiripan struktur konten yang disebarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak bekerja sendiri, melainkan terorganisir."Ia menyodorkan satu lembar grafik pada Reynand, "Dari penelusuran alamat IP serta riwayat perangkat, ditemukan bahwa sebagian besar aktivitas berasal dari satu kelompok jaringan yang saling berkaitan. Bahkan, kami mendapati salah satu akun tersebut memiliki koneksi transaksi digital dengan nama yang tidak asing
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments