Seorang pria menyesap rokonya sambil memainkan beberapa uang lalu kembali melemparnya ke dalam koper, di mana banyak sekali uang lainnya di dalam sana. Dia tersenyum puas sambil mengadahkan kepalanya ke atas menatap langit-langit.
Pria tua itu melonggarkan dasi dan menyandarkan tubuhnya di kursi, dia kembali menyesap rokoknya dengan penuh kemenangan. Tanpa pria itu sadari, pintu ruangannya terbuka. Seorang pria yang lebih muda darinya masuk dengan mata menatap tajam pria yang sedang terpejam menikmati hidupnya.
Suara langkah kaki Edmund yang semakin mendekat menyadarkan pria itu dari dunianya, pria itu tersentak kaget saat melihat Edmund masuk keruangannya. Tubuhnya kaku. Tangannya membuang asal rokok yang sedang dia pegang, dadanya naik turun melihat sorot mata Edmund. Matanya mengingatkan Marxel pada seseorang yang telah dia singkirkan dahulu.
Marxel tidak tahu bagaimana Edmund tahu dirinya masih berada disini, di Los Angeles. Mata Edmund penuh amarah, rahangn
Sudah seminggu sejak kepulangan Sophia dari rumah sakit, kini Sophia lebih banyak melamun dari sebelumnya. Pikirannya terus menyeret alam sadarnya untuk mengingat kembali masa masa dimana dia berdarah. Sophia tidak bisa ditinggalkan sendiri, dia sering kali tiba-tiba berteriak dan memeluk perutnya erat.Beberapa orang kepercayaan Rose selalu menemani Sophia di apartemen, tentu saja mereka adalah seorang terapis. Sophia selalu saja menolak jika dia mengajaknya tinggal di mansion Rose, tidak ada pilihan lain kecuali menyuruh orang-orang terbaik menemani Sophia.Pekerjaan Edmund sedang berada di puncaknya, dia tidak bisa meninggalkannya meskipun dia menginginkannya. Perusahaan Edmund bahkan kini bekerja sama dengan militer, yang memaksanya harus berunding dengan salah satu jendral untuk membangun rumah sakit umum khusu tentara yang sedang bertugas menjaga keamanan Negara. Rumah sakit yang tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh anggota tentara saja, tentu saja satu har
“Lalu ini, saat aku berusia 17 tahun.” Tangan Sophia menunjuk layar ponselnya pada Edmund. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Dia mengusap kening istrinya di mana bekas luka sayatan itu sudah hamper tidak terlihat lagi.“Baiklah, sekarang giliran kita berfoto bersama,” ucap Sophia mengaarahkan kamera depan itu pada wajahnya dan Edmund, dia memeluk istrinya dari belakang tanpa tersenyum saat kamera memotretnya.“Kenapa kau tidak tersenyum?”“Kelemahan pria adalah tersenyum.”Sophia tertawa tidak percaya. “Kau ini,” ucapnya dengan malas. Sophia kembali memakan biji kacang mete saat Edmund meminjam dan memainkan ponselnya.Getaran ponsel Edmund mengalihkan perhantiannya, dia mengambil ponselnya dan membaca pesan dari seseorang. “Kurasa aku harus pergi, Sophie.”“Di minggu sore?” Sophia menegakan tubuhnya supaya Edmund bisa berdiri.“Ya
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."