Share

PART 07

        Kitab Dewa Galap sejatinya adalah kitab wasiat  yang berasal dari alam jin, karena diturunkan oleh seorang baureksa sakti di kalangan bangsa jin yang bernama Ki Baureksa Galap Ngampar kepada muridnya yang bernama Pendekar Galap Ngampar. Pendekar Galap Ngampar mewariskan kitab tersebut kepada muridnya yang berjuluk Pendekar Galap Ngampar. Selanjutnya Pendekar Galap Ngampar merupakan kitab tersebut kepada muridnya yang bergelar Dewa Cambuk Halilintar, yang tak lain adalah Ki Jagadita.

        Ki Baureksa Galap Ngampar adalah putra dari Ki Baureksa Jagat. Kepada muridnya Ki Baureksa Jagat menurunkan sebuah cambuk sakti yang bernama Cambuk Halilintar. Artinya, kedua benda wasit itu memiliki keterikatan satu sama lain, dan berasal dari sumber yang sama, yaitu ayah dari Ki Baureksa Galap Ngampar  yang bernama Ki Baureksa Halilintar Jagat, yang merupakan kakek dari Ki Baureksa jagat.

       Ada pun Cambuk Halilintar tidak tersimpan dalam gua itu, tetapi tersimpan dalam tubuh Ki Jagat sendiri. Dan cambuk sakti itu akan langsung berada di tangan sang pemilik atau pewarisnya pada saat akan dipergunakan untuk menghancurkan musuh.

        Karena Kitab Dewa Galap sudah berpindah ke pewarisnya dari bangsa manusia, maka selamanya kitab tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa pegang dan dipelajari oleh siapa pun manusia. Karena itu, keberadaan kitab tersebut sangat dirahasiakan dan disimpan ditempat yang paling rahasia. Karena bisa dibayangkan, jika kitab itu jatuh ke tangan yang berwatak jahat dan serakah, tentu akan menjadi bencana bagi kehidupan umat manusia lain.

       Ketika mengadakan semedi dalam gua tersebut, sukma dan batin Ki Jagat dapat menerima wisik gaib dari sahabat-sahabatnya dari kalangan bangsa jin yang memberitahunya akan terjadi sesuatu atau hal-hal yang harus segera ia lakukan. Seperti contohnya, ketika ia mendapat wisikan bahwa akan terjadi penghadangan yang dilakukan oleh  Kelompok Bekal Macan Ireng terhadap rombongan seorang pembesar,di mana saat itu ia sedang bersemadi dalam goa itu, sehingga dengan cepat ia langsung bergerak untuk memberikan pertolongan. Walau sayangnya, ia hanya mampu menolong istri dan putra dari sang adipati, yaitu Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom.

      

***

      Kita kembali ke istana Kerajaan Palingga. Suasana hati Ratu Ageng Sekar Arum masih dirundung perasaan duka terutama karena adik dan kemenakannya, Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom, belum juga ditemukan keberadaannya. Jangankan ditemukan, kabar tentang apa dia masih hidup atau telah mati pun belum bisa diketahui secara pasti.

      Lalu, atas usulan Ratu Ageng Sekar Arum, Baginda Nararyawardhana (Paduka Nara), telah mengadakan sayembara berhadiah. Siapa pun yang dapat memberitahukan atau mengetahui keberadaan Diajeng Sekar Laras dan Putranya Raden Anom, maka akan diberikan hadiah seribu kepeng emas. Namun belum juga ada laporan dari siapa pun yang telah menemukan keberadaan Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom.

       Sebenarnya, demikian banyak orang yang mengadu untung dengan mencari keberadaan sang garwa dari mendiang Adipati Wirajaya itu. Bukan saja dari kalangan rakyat biasa saja, pun para pendekar dari golongan hitan serta kelompok-kelompok penyamun mengambil bagian di dalamnya. Hadiah seribu kepeng emas bukanlah sebuah jumlah yang sedikit, tapi sangat besar. Di kalangan rakyat biasa kala itu, memiliki seribu kepeng emas hanya ada dalam angan saja.

      Dan salah satu yang tertarik dan ikut ambil bagian dalam sayembara itu adalah Lurah Desa Sawo Jajar, yaitu Ki Jantaka alias Gentala Seta (nama Gentala Seta hanya dikenal dalam kelompoknya saja, yaitu kelompok begal Macan Ireng). Lurah yang sangat licik dan pandai menyembunyikan kebusukannya ini sangat berambisi untuk mendapatkan hadiah besar itu.

     Lurah Jantaka alias Gentala Seta memerintahkan dua puluh orang kepercayaannya untuk mengikuti jejak orang yang telah menyelamatkan istri dan putra dari mendiang Adipati Wirajaya itu. “Aku yakin, tempat tinggal orang yang telah menyelamatkan perempuan itu dan anaknya tak jauh-jauh dari tempat penghadangan mereka dulu,” ucap Ki Jantaka kepada kedua puluh anak buahnya. “Kalian harus susuri setiap jengkal lembah dan gunung di sebelah selatan dari tempat penghadangan itu. Jangan lupa kalian cari seorang pelacak jejak yang sudah berpengalaman.”

     “Baiklah, Ketua! Kami mohon diri!”jawab Bajing Wulung, laki-laki yang oleh Ki Jantaka ditunjuk sebagai pimpinan rombongan utusannya itu.

       Sore itu, di kala Diajeng Sekar Karas, Raden Anom, Diandra, dan Gayatri sedang berlatih jurus-jurus baru di bawah arahan sang guru mereka, Ki Jagadita, tiba-tiba mereka menghentikan latihannya. Telinga mereka menangkap suara banyak orang, laki-laki, yang sedang bicara satu sama lainnya yang diselingi dengan tawa. Suara itu semakin lama semakin dekat, dan akan menuju ke arah mereka.

      Diajeng Sekar Laras segera menarik dan memeluk tubuh Raden Anom, Diandra dan Gayatri berdiri di dekat Ki Jagadita.

       “Kalian tak perlu takut, bangsa manusia tak akan bisa melihat tempat ini. Tempat ini sudah dilindungi dengan Ilmu Halimun Jagat,”berkata Ki Jagadita sembari menenangkan hati Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom. Diandra dan Gayatri hanya ikut-ikut kaget karena melihat kepanikan di wajah ibu angkat mereka saja. Ilmu Halimun Jagat adalah jenis ilmu halimun tingkat tinggi yang mampu menghilangkan suatu wilayah dari penglihatan manusia.

       Benar saja, laki-laki yang berjumlah dua puluh orang itu sama sekali tak melihat keberadaan mereka saat berjalan di dekat mereka. Bahkan bangunan padepokan pun tak mereka lihat.

       “Ke mana manusia siluman itu membawa pergi garwa dan putra dari Adipati Wirajaya itu...?” berkata salah seorang di antara rombongan laki-laki yang rata-rata bertampang kasar itu tanpa ditujukan secara khusus kepada siapa pun, sambil menghentikan langkahnya, tepat di depan Ki Jagadita dan keempat lainnya.

       “Iya, ketua, padahal tempat ini merupakan tempat yang paling terpencil dan jauh dari pemukiman terdekat. Atau bisa jadi manusia siluman itu membawanya ke arah lain,”menanggapi yang lainnya.

       “Tapi kita harus tetap mencarinya sampai dapat. Jangan sampai keduluan orang lain yang menemukan mereka, sehingga kita tidak mendapatkan hadiah seribu kepeng emas dari Paduka Nara,”ucap Bajing Wulung, ketua rombongan itu. Mereka adalah rombongan suruhannya Gentala Seta.

       Mendengar isi percakapan itu, membuat wajah Giajeng Sekar Laras dan Raden Anom kaget dan geram. “Rupanya mereka ini adalah para begundal yang pernah menyerang kami malam itu, Ki Jagad. Kita harus menghabisi mereka!”ucap Diajeng Sekar Laras dengan memperlihatkan wajah amarahnya. Ia bergerak hendak mencabut golok yang terselip di pinggang salah satu dari dua puluh orang itu mau digunakan untuk menyerang.

      Tapi dengan sigap Ki Jagadita menahan tubuhnya, “Jangan dulu, Nimas...! Ada waktunya mereka untuk membasmi.”

     “Huh...!”dengus Diajeng Sekar Laras penuh emosi dengan wajah geram, tanpa membuang sorot mata geramnya kepada para laki-laki yang sedang mencarinya itu.

       Namun tiba-tiba, Raden Anom memukul wajah Bajing Wulung dengan tongkat rotan yang sering dipakainya untuk berlatih.

      Plakk...!!

     “Hai, kenapa kau memukul aku...!” bentak Bajing Wulung kepada salah satu anak buahnya yang berdiri di sampingnya sembari memegang pelipisnya yang sakit.

       “Ah, tidak Ketua! Aku sama sekali tak tahu menahu...!” jawab laki-laki yang dituduh.

        Bajing Wulung tetap tak percaya, dan ia langsung mengangkat tangannya untuk memukul, tapi tau-tau...

       Plakk...!!

       Lehernya lagi yang terpukul. Ia hendak menuduh anak buahnya yang berdiri di belakangnya, tapi anak buahnya pun tiba-tiba mendapat serangan pula. Bahkan ia mendapat pukulan tongkat Raden Anom berkali-kali tanpa mampu ia tangis, selain dari langsung meloncat menjauhi.

       Ki Jagadita menarik tangan Diajeng Sekar Laras ke beranda Padepokan. Keduanya menonton saja yang akan dilakukan oleh Raden Anon, Diandra, dan Gayatri. Diandra dan Gayatri terpengaruh untuk melakuakn seperti yang dilakukan oleh Raden Anom. Dengan tongkat latihan ketiganya menyerang rombongan laki-laki bertampang kasar itu satu persatu dengan keras dengan tongkat mereka. Puluhan laki-laki  itu langsung kocar-kacir dan hiruk-pikuk.

       Karena serangan itu mereka kira merupakan serangan dari para hantu-hantu yang mendiami wilayah itu, seperti dikomando kedua puluh laki-laki itu mengambil langkah seribu, dan ada yang  seraya berteriak: “Kita diserang hantuuu....!!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status