Seiring berjalannya waktu, suasana hati dan pikiran yang dirasakan oleh Diajeng Sekar Laras sudah semakin stabil dan normal kembali. Berkat bimbingan spiritual dari Ki Jagadita, ia pun telah mampu menerima peristiwa yang dialami oleh keluarganya sebagai sebuah takdir dan garis nasib yang sudah ditetapkan oleh Sang Hyang Maha Agung.
“Setiap manusia membawa garis nasib di tangannya masing-masing, Nimas,”nasihat Ki Jagadita suatu hari. “Seseorang menjadi pemimpin dan kawula itu juga sudah ada sebelum ketiadaan. Kita hidup dalam keadaan bagaimana, dan menjadi apa, entah menjadi pedagang, petani, nelayan, serta di mana kita akan hidup dan mati, bahkan siapa jodoh kita, itu sudah ditetapkan semuanya. Manusia yang baik adalah, mereka yang mampu menerima setiap ketentuan dan garis nasib itu dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan. Rasa kecewa dan duka itu, adalah hal yang sangat manusiawi. Saya juga pernah merasakan itu. Tapi jangan sampai larut di dalamnya. Sebab rasa kecewa dan kedukaan yang berlebihan dapat memakan raga dan jiwa kita sendiri.”
“Iya, Ki, terima kasih atas segala nasihat-nasihatnya,”ucap Diajeng Sekar Laras. Wajahnya lebih banyak menunduk.
“Sang Hyang Maha Agung menurunkan suatu peristiwa kepada setiap mahluk, tentu pasti ada tujuannya. Dan dari peristiwa itu perjalanan nasib dan hidup kita akan terarahkan dan ditentukan. Lihatlah putramu itu, dia dengan cepat menyerap semua jurus-jurus yang diajarkan oleh kedua saudara angkatnya. Saya melihat sifat kepemimpinan yang besar pada wajah dan sorot matanya,”ucap Ki Jagadita sambil mengamati ketiga murid kecilnya yang tengah berlatih dengan keras di halaman padepokan.
“Dia sangat disayangi oleh mendiang romonya,”ucap Diajeng Sekar Laras dengan suara setengah bergumam, yang juga sedang memperhatikan buah hatinya sedang berlatih bersama kedua saudara angkatnya itu. “Saking sayangnya mendiang kepada Anom, sampai-sampai ia tak ingin menambah momongan lagi. Biar kasih sayangnya bisa tercurahkan sepenuhnya kepada buah hatinya itu, katanya.”
“Hm..,” gumam Ki Jagadita, “Saya sangat bahagia jika kelak bisa melihat mereka menjadi para pendekar besar yang membela kebenaran dari setiap tindak zolim manusia-manusia yang berwatak jahat dan serakah.”
“Semoga, Ki...”
“Sebaiknya Nimas pun belajar ilmu beladiri dan olah kanuragan, mengingat usia Nimas juga masih muda. Kelak ilmu-ilmu itu pasti akan bisa berguna bagi kehidupan Nimas maupun bagi orang-orang sekitar Nimas.”
“Begitukah, Ki Jagad...?”
“Menurut saya, begitu!”
“Apakah Ki Jagad tidak keberatan untuk mendidik saya?”
“Tentu saja tidak,” sahut Ki Jagadita. “Karena saya pun tetap berlatih agar ilmu yang saya miliki tetap terasa terbarukan dan tak pernah usang.”
Setelah dipertimbangkan anjuran Ki Jagat, Diajeng Sekar Laras pun memutuskan untuk mengikutinya. Ada banyak kebaikan dengan ia memiliki ilmu-ilmu itu. Sebab dan ilmu-ilmu itu mengolah berbagai hal yang bersifat fisik dan batinnya. Akan menjadikan manusia akan kuat lahir dan batinnya, serta membentuk watak seseorang menjadi lebih bijak.
Lalu hampir setiap sore dan pagi ia dibimbing langsung dan khusus oleh Ki Jagadita dalam hal jurus-jurus dasar sebuah ilmu beladiri. Terutama teknik kuda-kuda, mengatur langkah-langkah kaki, teknik pukulan dan segala variasinya, teknik tendangan serta segala variasinya, termasuk teknik menangis setiap serangan lawan dengan tangan kosong maupun menggunakan senjata.
Diajeng Sekar Laras yang memang berasal dari kalangan bangsawan tinggi yang terdidik, tentu mampu menyerap setiap gerakan yang diajarkan oleh sang gurunya, Ki Jagadita., dengan sangat mudah. Selanjutnya, ia bersama putranya, Raden Anom, Diandra, dan Gayatri melakukan latihan bersama dengan pengawasan, arahan, dan teguran dari Ki jagadita.
Ki Jagadita tersenyum dan manggut-manggut melihat perkembangan gerakan-gerakan jurus yang diperagakan oleh Diajeng Sekar Laras. Wanita itu makin luwes dan lincah. Bahkan nyaris menyamai keluwesan dan kelincahan dari ketiga murid kecilnya. Memang, ilmu yang diberikan kepada seseorang yang telah berusia dewasa jauh lebih cepat dipahami dan dikuasai ketimbang seorang bocah.
“Baiklah, kalian lanjutkan berlatih, aku mau bersemedi dulu sebentar,”ucap Ki Jagadita sambil berjalan di dekat keempat muridnya.
Tempat yang biasa digunakan untuk bersemedi Ki Jagadita adalah di dalam sebuah goa yang berada di lereng gunung yang berada di sebelah barat padepokan. Tempatnya cukup jauh dan tersembunyi, namun dengan kekuatan ilmu saipi anginnya Ki Jagadita dapat mencapai tempat itu dalam waktu hanya sekejap saja.
Goa di tebing batu cadas itu pintunya dari lempengan batu yang tebal itu adalah tempat yang diwariskan oleh gurunya dari bangsa jin yang bernama Ki Baureksa Jagad. Pintu goa itu akan terbuka dan tertutup dengan bergeser. Yang bisa membuka pintu goa itu hanyalah Ki Jagadita karena hanya dia manusia yang mengetahui rapalan pembuka dan penutupnya. Dan hanya dia dan gurunya yang dapat melihat goa itu, baik oleh kalangan manusia maupun kalangan bangsa jin. Tempat itu telah dilindungi oleh Ki Baureksa Jagat dengan ilmu halimunan tingkat tertinggi.
Dalam goa itu bukan hanya tempat bersemedi dan mengolah rasa dan batin, ilmu kanuragan, namun juga tempat menyimpan sebuah kitab waris yang bernama Kitab Dewa Galap. Dewa Galap yang artinya Dewa Halilintar, merupakan sebuah kitab wasiat yang berisi berbagai ilmu kesaktian tingkat tinggi. Dan kitab itu hanya boleh dipelajari setelah melakukan puasa dan semedi. Setiap ilmu yang ada dalam kitab harus dipelajari satu-satu, dan waktu untuk menguasai setiap ilmu butuh waktu yang tidak singkat, dan untuk menguasai setiap ilmunya pun hanya bisa dilatih melalui olah sukma dan olah batin, karena memang merupakan ilmu gaib atau kebatinan. Konon, siapa pun yang mampu menguasai isi kitab tersebut, maka ia akan menjadi seorang yang sangat sakti mandraguna tanpa tandingannya.
Kitab Dewa Galap sejatinya adalah kitab wasiat yang berasal dari alam jin, karena diturunkan oleh seorang baureksa sakti di kalangan bangsa jin yang bernama Ki Baureksa Galap Ngampar kepada muridnya yang bernama Pendekar Galap Ngampar. Pendekar Galap Ngampar mewariskan kitab tersebut kepada muridnya yang berjuluk Pendekar Galap Ngampar. Selanjutnya Pendekar Galap Ngampar merupakan kitab tersebut kepada muridnya yang bergelar Dewa Cambuk Halilintar, yang tak lain adalah Ki Jagadita. Ki Baureksa Galap Ngampar adalah putra dari Ki Baureksa Jagat. Kepada muridnya Ki Baureksa Jagat menurunkan sebuah cambuk sakti yang bernama Cambuk Halilintar. Artinya, kedua benda wasit itu memiliki keterikatan satu sama lain, dan berasal dari sumber yang sama, yaitu ayah dari Ki Baureksa Galap Ngampar yang bernama Ki Baureksa Halilintar Jagat, yang merupakan kakek dari Ki Baureksa jaga
“Horeee....!” Diandra, Gayatri, dan Raden langsung berseru kegirangan sambil berjoget-joget ketika puluhan laki-laki jahat itu lari kocar-kacir oleh mereka. Ki Jagadita dan Diajeng Sekar Laras hanya tertawa dan menggeleng-geleng melihat perilaku ketiganya. Ki Jagadita bangkit dari tempat duduknya dan berkata kepada Diajeng Sekar Laras, “Berlatihlah Nimas bersama anak-anak...” “Ki Jagad mau ke mana?” “Saya mau lihat ladang. Sudah beberapa hari saya tak ke sana.” “Saya ikut, Ki!” &ld
Tak terasa, dua tahun Diajeng Sekar Laras dan putranya, Raden Anom, tinggal bersama Ki Jagadita. Sepanjang waktu itu, keduanya digembleng oleh sang pendekar besar super sakti itu siang dan malam, bersama Diandra dan Gayatri. Untuk ukuran dan pandangan awam, ilmu dan kesaktian mereka sudahlah sangat tinggi. Namun bagi pandangan seorang pendekar besar seperti Ki Jagadita, para muridnya itu baru berada pada taraf menengah untuk ukuran seorang pendekar besar seperti dirinya, walaupun keempat muridnya itu telah menguasai jurus-jurus tingkat rendah, menengah, hingga jurus-jurus pamungkas darinya. Sebab, keempatnya baru menguasai ilmu benteng luar saja, jurus-jurus ilmu kanuragan, tetapi belum digembleng dengan ilmu benteng dalam berupa jurus-jurus ilmu tenaga dalam dan kelinuwihan.
Saat keduanya memasuki ruangan goa yang luas itu, mereka disambut oleh cahaya kerlap-kerlip dari sejenis batu-baru kristal yang menempel di dinding-dinding goa. Cahaya dari batu-batu itu menjadi alat penerang alami bagi ruangan luas yang seharusnya gelap pekat itu. Diajeng Sekar Laras sangat takjub melihat pemandangan dalam gua itu. Sehingga saat masuk dalam ruangan alam itu tak membuat perasaan Diajeng Sekar Laras merasa was-was. Bahkan ia seolah-olah sedang berada di sebuah taman khayalan yang indah. “Mari, Nimas, kita ke ruangan goa yang dalam lagi,”ucap Ki Jagadita langsung melangkah ke ujung ruangan pertama goa lalu melewati sebuah jalan berupa pintu masuk. Diajeng Sekar Laras langat kaget, karena ternyata dalam ruangan kedua itu lebih luas lagi dan sang
Dalam waktu sekejap keduanya pun telah sampai di belakang padepokan. Saat itu Diandra, Gayatri, dan Raden Anom sedang menyiapkan makan malam untuk mereka. Berbagai ikan air tawar bakar dan berkuah terhidangkan di atas tikar pandan sebagai lauknya. Aroma makanan yang disiapkan oleh para juru masak cilik itu langsung membuat perut Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita terasa lapar. “Kalian bertiga benar-benar anak-anak yang pintar,” puji Diajeng Sekar Laras sembari mengambil tempat duduk di atas tikar makan. “Berarti kalian bertiga menangkap ikan di sungai ya tadi?” “Iya, Biung,” jawab Gayatri. “Dan semua ikan-ikan ini hasil tangkapan Dik Anom. Dia sudah selihat kamu untuk mengejar ikan-ikan di dasar lubuk.” “Bag
Ternyata di atas batu besar itu ada empat orang yang sedang duduk dan tiduran sambil ngombrol. “Siapa mereka, Kang Mas..?” desis Diajeng Sekar Laras. “Untuk memastikannya, kita dekati saja mereka untuk mendengarkan perbincangan mereka,” Ki Jagadita melangkah mendekati batu besar itu sambil memegang tangan istrinya. Karena orang-orang itu tak bisa melihat mereka karena wilayah sekitar itu hingga padepokannya sudah dilindungi dengan ilmu Halimun Jagat. “Apakah kauyakin yang membawa lari istri dan anak dari mendiang Adipati Wirajaya itu adalah sosok manusia? Jika dia manusia, lantas di mana ia membawa pergi wanita dan anaknya itu...?” bertanya salah seorang dari keempat laki-laki itu entah kepa
Hanya sepeminum kopi Diajeng Sekar Laras telah memasuki kota raja. Ibu kota Kerajaan Palingga merupakan sebuah kota yang yang sangat ramai dan luas. Denyut kehidupan masyarakat kotanya berlangsung di hampir setiap sudut kota. Sebelum melanjutkan perjalanannya menuju istana raja, Diajeng Sekar Laras akan beristirahat dulu barang sesaat sembari membasahi tenggorokannya dengan minuman yang segar dan mengisi perutnya dengan makanan. Tadi di padepokan ia sampai lupa untuk mengisi perutnya dulu, sebagai imbas dari keresahan hatinya akibat memikirkan kakaknya, Ratu Ageng Sekar Arum, yang sedang sakit keras. Tetapi saat ini, ia benar-benar merasakan sangat haus dan lapar. Maka ia harus menemukan sebuah warung makan dulu. Tetapi sebelum itu ia tak lupa merubah sedikit penampilannya dengan Ilmu Malih Rupo. Tampilan wajah dan perawakannya l
Sesampai di depan pintu gerbang utama Istana Kerajaan Palingga, Diajeng Sekar Laras langsung dihadang oleh prajurit pengawal istana dengan saling menyilangkan tombak satu sama lain di tangan mereka secara berlapis. “Nisanak mau ke mana...!”bertanya salah seorang prajurit pengawal. Lebih tepatnya sebagai sebuah bentakan. “Saya seorang tabib dari negeri seberang, hendak mencoba mengobati sakitnya Sang Permaisuri. Ijinkah saya untuk masuk,” sahut Diajeng Sekar Laras. Sekarang suaranya sudah berubah menjadi suara seorang wanita berusia baya. “Apakah Nisanak bisa memberi kami jaminan mampu menyembuhkan Sang Permaisuri...!?”bertanya prajurit pengawal lain dengan wajah tak kalah tak ramahnya.