Share

PART 06

       Seiring berjalannya waktu, suasana hati dan pikiran yang dirasakan oleh Diajeng Sekar Laras sudah semakin stabil dan normal kembali. Berkat bimbingan spiritual dari Ki Jagadita, ia pun telah mampu menerima peristiwa yang dialami oleh keluarganya sebagai sebuah takdir dan garis nasib yang sudah ditetapkan oleh Sang Hyang Maha Agung.

       “Setiap manusia membawa garis nasib di tangannya masing-masing, Nimas,”nasihat Ki Jagadita suatu hari. “Seseorang menjadi pemimpin dan kawula itu juga sudah ada sebelum ketiadaan. Kita hidup dalam keadaan bagaimana, dan menjadi apa, entah menjadi pedagang, petani, nelayan, serta di mana kita akan hidup dan mati, bahkan siapa jodoh kita, itu sudah ditetapkan semuanya. Manusia yang baik adalah, mereka yang mampu menerima setiap ketentuan dan garis nasib itu dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan. Rasa kecewa dan duka itu, adalah hal yang sangat manusiawi. Saya juga pernah merasakan itu. Tapi jangan sampai larut di dalamnya. Sebab rasa kecewa dan kedukaan yang berlebihan dapat memakan raga dan jiwa kita sendiri.”

      “Iya, Ki, terima kasih atas segala nasihat-nasihatnya,”ucap Diajeng Sekar Laras. Wajahnya lebih banyak menunduk.

       “Sang Hyang Maha Agung menurunkan suatu peristiwa kepada setiap mahluk, tentu pasti ada tujuannya. Dan dari peristiwa itu perjalanan nasib dan hidup kita akan terarahkan dan ditentukan. Lihatlah putramu itu, dia dengan cepat menyerap semua jurus-jurus yang diajarkan oleh kedua saudara angkatnya. Saya melihat sifat kepemimpinan yang besar pada wajah dan sorot matanya,”ucap Ki Jagadita sambil mengamati ketiga murid kecilnya yang tengah berlatih dengan keras di halaman padepokan.

      “Dia sangat disayangi oleh mendiang romonya,”ucap Diajeng Sekar Laras dengan suara setengah bergumam, yang juga sedang memperhatikan buah hatinya sedang berlatih bersama kedua saudara angkatnya itu. “Saking sayangnya mendiang kepada Anom, sampai-sampai ia tak ingin menambah momongan lagi. Biar kasih sayangnya bisa tercurahkan sepenuhnya kepada buah hatinya itu, katanya.”

      “Hm..,” gumam Ki Jagadita, “Saya sangat bahagia jika kelak bisa melihat mereka menjadi para pendekar besar yang membela kebenaran dari setiap tindak zolim manusia-manusia yang berwatak jahat dan serakah.”

      “Semoga, Ki...”

       “Sebaiknya Nimas pun belajar ilmu beladiri dan olah kanuragan, mengingat usia Nimas juga masih muda. Kelak ilmu-ilmu itu pasti akan bisa berguna bagi kehidupan Nimas maupun bagi orang-orang sekitar Nimas.”

       “Begitukah, Ki Jagad...?”

       “Menurut saya, begitu!”

       “Apakah Ki Jagad tidak keberatan untuk mendidik saya?”

      “Tentu saja tidak,” sahut Ki Jagadita. “Karena saya pun tetap berlatih agar ilmu yang saya miliki tetap terasa terbarukan dan tak pernah usang.”

        Setelah dipertimbangkan anjuran Ki Jagat, Diajeng Sekar Laras pun memutuskan untuk mengikutinya. Ada banyak kebaikan dengan ia memiliki ilmu-ilmu itu. Sebab dan ilmu-ilmu itu mengolah berbagai hal yang bersifat fisik dan batinnya. Akan menjadikan manusia akan kuat lahir dan batinnya, serta membentuk watak seseorang menjadi lebih bijak.

       Lalu hampir setiap sore dan pagi ia dibimbing langsung dan khusus oleh Ki Jagadita dalam hal jurus-jurus dasar sebuah ilmu beladiri. Terutama teknik kuda-kuda, mengatur langkah-langkah kaki, teknik pukulan dan segala variasinya, teknik tendangan serta segala variasinya, termasuk teknik menangis setiap serangan lawan dengan tangan kosong maupun menggunakan senjata.

       Diajeng Sekar Laras yang memang berasal dari kalangan bangsawan tinggi yang terdidik, tentu mampu menyerap setiap gerakan yang diajarkan oleh sang gurunya, Ki Jagadita., dengan sangat mudah. Selanjutnya, ia bersama putranya, Raden Anom, Diandra, dan Gayatri melakukan latihan bersama dengan pengawasan, arahan, dan teguran dari Ki jagadita.

      Ki Jagadita tersenyum dan manggut-manggut melihat perkembangan gerakan-gerakan jurus yang diperagakan oleh Diajeng Sekar Laras. Wanita itu makin luwes dan lincah. Bahkan nyaris menyamai keluwesan dan kelincahan dari ketiga murid kecilnya. Memang, ilmu yang diberikan kepada seseorang yang telah berusia dewasa jauh lebih cepat dipahami dan dikuasai ketimbang seorang bocah.

       “Baiklah, kalian lanjutkan berlatih, aku mau bersemedi dulu sebentar,”ucap Ki Jagadita sambil berjalan di dekat keempat muridnya.

       Tempat yang biasa digunakan untuk bersemedi Ki Jagadita adalah di dalam sebuah goa yang berada di lereng gunung yang berada di sebelah barat padepokan. Tempatnya cukup jauh dan tersembunyi, namun dengan kekuatan ilmu saipi anginnya Ki Jagadita dapat mencapai tempat itu dalam waktu hanya sekejap saja.

        Goa di tebing batu cadas itu pintunya dari lempengan batu yang tebal itu adalah tempat yang diwariskan oleh gurunya dari bangsa jin yang bernama Ki Baureksa Jagad. Pintu goa itu akan terbuka dan tertutup dengan bergeser. Yang bisa membuka pintu goa itu hanyalah Ki Jagadita karena hanya dia manusia yang mengetahui rapalan pembuka dan penutupnya. Dan hanya dia dan gurunya yang dapat melihat goa itu, baik oleh kalangan manusia maupun kalangan bangsa jin.  Tempat itu telah dilindungi oleh Ki Baureksa Jagat dengan ilmu halimunan tingkat tertinggi.

       Dalam goa itu bukan hanya tempat bersemedi dan mengolah rasa dan batin, ilmu kanuragan, namun juga tempat menyimpan sebuah kitab waris yang bernama Kitab Dewa Galap. Dewa Galap yang artinya Dewa Halilintar, merupakan sebuah kitab wasiat yang berisi berbagai ilmu kesaktian tingkat tinggi. Dan kitab itu hanya boleh dipelajari setelah melakukan puasa dan semedi. Setiap ilmu yang ada dalam kitab harus dipelajari satu-satu, dan waktu untuk menguasai setiap ilmu butuh waktu yang tidak singkat, dan untuk menguasai setiap ilmunya pun hanya bisa dilatih melalui olah sukma dan olah batin, karena memang merupakan ilmu gaib atau kebatinan. Konon, siapa pun yang mampu menguasai isi kitab tersebut, maka ia akan menjadi seorang yang sangat sakti mandraguna tanpa tandingannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status