“Kang Mas Wirajaya....!” Tangis Diajeng Sekar Laras pecah. Ia hendak memeluk tubuh suaminya, tapi Adipati Wirajaya menggapai-gapaikan tangannya untuk mencegahnya. “Se-selamatkan dirimu dan putra kita Diajeeeng....,” ucap Adipati Wirajaya dengan nafas terengah-engah. “Tidak Kang Mas...! Kita harus mati bersamaa...!” teriak Diajeng Sekar Laras dengan perasaan perih yang teramat sangat dalam hatinya saat melihat laki-laki yang sangat dicintainya sedang menjemput aja. Ia bersikeras hendak datang memeluk suaminya. Tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar menariknya ke belakang dan melindunginya dengan tubuhnya dan Raden Anom. Ia adalah Sais Enda. “Ayo Tuan Putri, kita harus segera pergi dari sini. Tuan Putri dan Den Anom harus selamat!”
Lihat lebih banyakMALAM itu bulan purnama menerangi jagat malam. Langit demikian bersih, sehingga bintang-gemintang tampak bertaburan bak jutaan berlian.
Di sebuah jalan raya yang membelah lembah yang bernama Padang Kara, terlihat rombongan tiga pedati berbentuk rumah kecil yang masing-masing ditarik oleh dua elor lembu putih yang besar-besar dan kuat. Ketiga pedati itu dikawal oleh puluhan pengawal berkuda yang berjalan mendahului di depan dan sebagian mengikuti dari belakang. Bisa dipastikan, bahwa para pengawal berkuda itu merupakan para pendekar pilihan. Rata-rata di punggung mereka menyandang sepasang sepadang. Suatu isyarat, bahwa orang-orang yang ada dalam gerobak merupakan orang-orang yang tak sembarangan. Jika bukan keluarga juragan kaya raya, tentulah keluarga kalangan wong agung.
Pedati yang belakang berisi perbekalan, sedangkan pedati yang bagian depan berisi peti-peti dengan tutup yang berbentuk melengkung. Peti-peti itu berisi harta yang berharga milik sang adipati, berupa uang emas dan perak serta permata yang sangat mahal harganya. Yang ditumpangi manusia yang dikawal adalah pedati yang tengah. Yang ada dalam pedati itu ada tiga orang, suami istri, pasangan yang masih relatif muda, mungkin berusia yang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, sedangnya istrinya mungkin baru menginjak kepala tiga. Di antara keduanya ada seorang anak laki-laki, putra mereka, yang berusia sekitar tujuh tahun. Mereka adalah Adipati Raden Wirajaya dan garwanya, Diajeng Sekar Laras, serta putra mereka yang bernama Raden Anom. Ketiganya dalam keadaan terlelap dalam tidurnya. Mereka sama sekali tak terusik oleh goncangan demi goncangan dari pedati yang ditumpanginya akibat melewati jalan yang tak selalu mulus. Mungkin perjalanan yang cukup panjang menjadikan tubuh mereka sangat penat.
Tak ada suara apa pun dalam perjalanan itu selain suara ladam-ladam kuda yang berantukan dengan batu-batu jalanan serta bunyi berdenyit ketiga pedati akibat goncangan. Sebuah perjalanan malam yang begitu tenang.
Akan tetapi, baru saja mereka melewati sebuah kecil yang tak terlalu luas namun penuh dengan pohon-pohon yang besar, tiba-tiba mereka mendapat serangan puluhan anak panah yang tak jelas arah datangnya.
Siuutt...!!!
Siuutt...!!!
Siuutt...!!!
“Semua waspadaa...!! Kita sedang diseraang...!!” teriak kepala pengawal yang menunggang kuda paling depan, sembari menghentikan jalan kudanya secara mendadak. Dia bernama Senapati Yuda Wijaya. Kepanikan pun langsung terjadi. Kuda-kuda meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya. Dan beberapa ekor di antaranya langsung rubuh dan melempar penunggangnya akibat terkena anak panah.
“Aaaakhh...!!”
“Aaaakhh...!!”
Dua jeritan menjemput ajal terdengar menyayat malam. Mereka adalah dua pengawal yang berada di barisan belakang. Adipati Wirajaya dan Diajeng Sekar Laras sontak terbangun. “Ada apa, Kangmas?”tanya Diajeng Sekar Laras kepada suaminya.
Namun Adipati Wirajaya justru bertanya kepada sais pedatinya, “Apa yang terjadi, Sais Enda..?!”
“Rombongan kita sedang diserang, Tuan Adipati. Dua jeritan barusan berasal dari dua pengawal yang di belakang,”lapor Sais Enda dengan tubuh merunduk dengan wajah sangat panik.
“Kurang ajar!” geram Adipadi Wirajaya. “Mana Senapati Yuda Wijaya...!”
“Ada di depan, Tuan Adipati. Dia sedang menghalau serangan anak panah yang terus-menerus datang dari segala arah.”
“Hmm, naga-naganya manusia-manusia iblis itu sedang menyasar para pengawal terlebih dahulu!”Adipadi Wirajaya menggeretakkan giginya. “Baiklah, aku akan turun...!”
Namun niatnya tertahan oleh suara jeritan kematian dari salah seorang pengawal di depan yang disusul oleh bunyi gedebug tubuhnya yang jatuh dari punggung kuda tunggangannya.
“Jangan ke mana-mana, Kang Mas...! Diajeng Sekar Laras melarang dengan suara bergetar ketakutan sembari menarik ujung baju suaminya dari belakang. Wajah wanita yang tetap memelihara kecantikan dari masa mudanya itu terlihat sangat panik.
“Jangan khawatir....”
Belum sempat Adipati Wirajaya menyelesaikan ucapannya, mendadak sebuah anak panas menembus dinding pedatinya yang terbuat dari kulit hewan.
Wiitt...!!
“Awas Diajeng...!!”
Adipadi Wirajaya secara spontan menarik punggung istrinya. Anak panah langsung lewat di atas punggung istrinya lalu menembus dinding pedati yang sebelah. Dan...
“Aaaaakh...!!”
Satu jeritan kematian terdengar di sebelah pedati justru mengagetkan mereka. Rupanya anak panah beracun barusan justru menancap tepat di leher salah seorang pengawal yang berada di samping pedati.
Setelah itu terdengar teriakan orang-orang yang keluar dari segala penjuru. Rupanya sebagian dari para begundal itu telah datang melakukan penyerangan langsung. Serbuan mendadak dari segala arah itu membuat pengawal Adipadi Wirajaya hanya mampu memberikan pertahanan dan serangan balasan yang sama sekali tak beraturan. Sehingga dalam waktu yang singkat terdengar jeritan-jeritan kematian dari para pengawal.
“Sais Enda, kamu jaga Tuan Putri dan Tuan Mudamu! Diajeng, lindungi putra kita, dan tetaplah menunduk seperti itu! Aku akan segera kembali! Para bedebah itu harus dilenyapkan!”
Sehabis berkata demikian, Adipati Wirajaya langsung meraih pedangnya yang ada di dekat tubuhnya dan langsung berkelebat turun. “Pada begundal jahannaaam...!” teriaknya penuh amarah.
Pertempuran yang tak seimbang pun berlangsung malam itu. Cahaya bulan purnama yang sangat tenrang membantu para Adipati dan pengawalnya untuk mengenal lawan-lawannya, karena sebagian besar mereka telah turun dari punggung kudanya masing-masing.
Karena Adipati Wirajaya juga adalah seorang yang berilmu tinggi dan sakti mandraguna, langsung melakukan serangan gencar dan amat cepat. Beberapa anggota begundal langsung berjatuhan meregang nyawa dengan leher menganga akibat sabetan-sabetan pedangnya. Daun-daun di sekitar areal pertempuran beguguran oleh kerahan tenaga dalam dari para petarung.
Tetapi kesaktian sang Adipati tidaklah menyurutkan nyali para penyerangnya. Dengan jumlah mereka yang lebih banyak serta pasukan panah yang terus membidik dari segala arah dari tempat-tempat yang tersembunyi, membuat para pengawal terus berguguran, baik yang masih berada di atas punggung kuda mereka maupun yang sudah bertempur saling berhadapan di bawah dengan musuh yang sama sekali tak tahu mereka tahu itu.
Lama-kelamaan pasukan pengawal Adipati Wirajaya pun habis berjatuhan. Yang tertinggal dari mereka hanyalah pimpinannya, yaitu Senapati Yuda Wijaya. Walau seluruh anggotanya sudah berguguran, namun adipati yang memiliki ilmu kesaktian yang cukup tinggi dengan pengalaman tarungnya yang sudah banyak, tak sedikit pun surut untuk memberikan perklawanan. Ia begitu gigih menghalau serangan bertubi-tubi dilancarkan oleh musuh-musuhnya. Lalu pada kesempatan yang tepat ia pun melancarkan balas melakukan serangan-serangan yang sangat cepat dan berbahaya, mendampingi tuannya, Adipati Wirajaya. Entah sudah berapa orang begundal yang berhasil ia tewaskan.
Akan tetapi....
Siittt....!!!
Siittt...!!!
Siittt....!!!
Tiga anak panah tiba-tiba meluncur dengan amat cepat dari arah belakang dan langsung menancap di punggung sang adipati. Laki-laki itu menjerit setinggi langit merasakan kesakitan yang amat sangat. Tubuhnya langsung oleng dan pandangannya berkunang-kunang.
“Senapati Yuda Wijaya...!!” teriak Adipati Wirajaya dan bergerak cepat untuk menahan tubuh Senapatinya.
Akan tetapi, lagi-lagi...
Siittt...!!
Siittt...!!!
Siittt...!!!
Siittt...!!!
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen