“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
MALAM itu bulan purnama menerangi jagat malam. Langit demikian bersih, sehingga bintang-gemintang tampak bertaburan bak jutaan berlian. Di sebuah jalan raya yang membelah lembah yang bernama Padang Kara, terlihat rombongan tiga pedati berbentuk rumah kecil yang masing-masing ditarik oleh dua elor lembu putih yang besar-besar dan kuat. Ketiga pedati itu dikawal oleh puluhan pengawal berkuda yang berjalan mendahului di depan dan sebagian mengikuti dari belakang. Bisa dipastikan, bahwa para pengawal berkuda itu merupakan para pendekar pilihan. Rata-rata di punggung mereka menyandang sepasang sepadang. Suatu isyarat, bahwa orang-orang yang ada dalam gerobak merupakan orang-orang yang tak sembarangan. Jika bukan keluarga juragan kaya raya, tentulah keluarga kalangan wong agung. &nb
Untung tak teraih namun malang tak bisa ditolak, tubuh sang adipati pun terkena hantaman empat anak panah beracun. Keempat anak panah itu menancap di belakang lehernya, di lengannya, serta di bagian dadanya dua anak panah. “Aaaah...! Para begal jahannaam...!!” teriak sang adipati baru Sendang Sewu itu. “Tuan Putri, Tu-tuan Adipati kena...!!” bisik Sais Enda kepada Diajeng Sekar Laras. Mendengar itu, wanita yang belum menginjak usia tiga puluh tahun itu langsung berteriak. Ia menarik tangan putranya, Raden Anom, untuk turun dari pedati. Sais Enda terlambat untuk menceganya. “Kang Mas Wirajaya....!” Tangis Diajeng Sekar Laras pecah. Ia hendak memeluk tubuh s
Di malam pertama itu Diajeng Sekar Laras disuguhi makan malam dengan lauk ikan bakar dan masak kuah. Dan yang menjadi juru masaknya adalah Ki Jagadita sendiri dan dibantu oleh Diandra dan Gayatri. Sebenarnya, Diajeng Sekar Laras Sama sekali tak merasakan lapar. Selera makannya hilang sama sekali, akibat kedukaannya yang mendalam atas kematian suaminya dengan cara yang mengenaskan. Bayangan wajah suaminya di saat-saat terakhir hidupnya, tergambar nyata dalam benaknya dan membuat air matanya terus menetes. “Menangis itu salah satu cara terbaik untuk mengurangi rasa sesak dan duka di hati,”nasihat Ki Jagadita, tanpa melihat ke wajah Diajeng Sekar Laras karena saat itu ia sedang menyeduk ikan masak kuah dalam periuk tanah.“Tetapi Nimas Sekar jangan me