Dari ruang dalam istana Patih Wiratama muncul bersama bocah laki-laki. Ia adalah putra mahkota Pangeran Labdajaya. Usia dan wajahnya memiliki kemiripan dengan sepupunya Raden Anom.
“ Angger, sungkem dengan Penan dan Bopo Jagadmu,”perintah Permaisuri Sekar Arum kepada putranya Pangeran Labdajaya. Bocah laki-laki itu langsung menyalami dan menciumi tangan Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita.
“Angger Labdajaya sudah besar sekarang,”ucap Diajeng Sekar Laras sembari mengelus kepala keponakannya. “Waktu Penan datang dulu Angger di mana?”(Penan = bibi/bulik).
“Iya, kemarin Labda di padepokan, Penan. Bagaimana kabar Dimas Anom sekarang?”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keempat laki-laki itu segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke kota raja. Jarak dari tempat itu ke kota raja bagi Ki Jagadita dan Diajeng Sekar jagad tak seberapa jauh, namun bagi Ki Seranta, Ki Pokasi, Ki Sumpit, dan Bojot yang tak memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, apalagi Ilmu Saipi Angin Jagat, tentu sangatlah jauh. Saat ini matahari sudah berada di sepertiga bola langit di sebelah barat, kemungkinan besar mereka baru sampai di kota raja menjelang malam hari. Benar saja, ketika memasuki kota raja, tepat matahari sudah tenggelam di ufuk barat dan malam sedang menyongsong. Sebelum menuju ke istana kerajaan, keempatnya beristirahat dulu di bawah naungan pohon beringin besar di tengah-tengah alun-alun kota. “Apa kira-kira Baginda Prabu mau
Pada saat keempatnya menikmati kelegaan itu, tiba-tiba keempatnya terdiam. Telinga mereka mendengar suara tapak kuda yang banyak bersamaan dengan suara ringkikannya. Naga-naganya rombongan berkuda itu akan lewat di jalan yang tak jauh dari tempat mereka berada. Mereka tanggung untuk bersembunyi karena keberadaan mereka telah terlebih dahulu terlihat oleh para penunggang kuda itu. Yang mereka lakukan adalah berpura-pura berteriak dengan mengintai ke sana ke mari seolah-olah mereka sedang berburu binatang. Benar saja, ketika melihat mereka, rombongan berkuda yang berjumlah sepuluh kuda lebih itu langsung berhenti. Ternyata itu adalah rombongan di bawah pimpinan Ki Jantaka alias Gentala Seta dan para anak buahnya. Mungkin mereka hendak ke kota raja atau menuju ke tempat lain, karena penampilan mereka seperti para pejabat kerajaan. “Se
Tampaknya Prabu Nararyawardhana sudah mulai menyadari bahwa kepercayaan rakyat terhadap dirinya mulai terlihat menurut di mana-mana. Itu dapat ia rasa dan saksikan dalam setahun terakhir ini. Setiap kali ia melakukan kunjungan keliling ke pelosok negerinya, di mana ia hanya disambut oleh rakyatnya dengan sikap agak dingin, dan tak seperti sebelumnya ia disambut dengan sangat meriah dan dieluk-elukan di sepanjang jalan yang dilewatinya. Ia merasa, bahwa dirinya mulai tak dianggap lagi sebagai pemimpin oleh rakyatnya. Apa yang dilakukan dan diharapkan oleh persekongkolan Patih Adiwilaga dan KiJantaka alias Gentala Seta tampaknya sudah mulai menampakkan hasil. Dan hebatnya, ketika ia berkeliling ke setiap pelosok, Patih Adiwilaga dapat merasakan sambutan yang baik rakyat terhadapnya. Tak sedikit ia dielu-elukan oleh segenap rakyat yang dilewatinya. Sembari dalam
Keempat pendekar muda hanya mengangguk dan terdiam. “Dan malam ini,” lanjut Ki Jagadita, “aku masih menurunkan satu benda wasiat yang bernama Cambuk Halilintar. Karena cambuk ini hanya satu, maka kalian harus mendapatkannya dengan cara diuji. Cambuk ini memiliki ruh, dia akan memilih siapa yang akan menjadi pemiliknya. Ia akan tinggal di tubuh pemiliknya sebelum cambuk itu akan diwariskan kepada sang pelanjutnya. Pesan Bopo, kepada siapa pun akhirnya Cambuk Halilintar ini akan jatuh, maka yang lain tak boleh merasa sakit hati atau sejenis itu. Justru kalian harus saling mendukung. Karena pada dasarnya, ilmu yang kalian miliki sudah terlalu tinggi bagi lawan-lawan kalian.” “Baiklah, Bopo, siapa pun di antara kami yang dipilih oleh cambuk itu, kami akan ikhlas,” ucap Diandra.
Setelah menghadap Baginda Pradu di balai paseban, hal pertama yang dialukan oleh Patih Wiratama adalah mengirim warta panggilan kepada Patih Adiwilaga dan Lurah Sawo Jajar, Ki Jantaka. Dan hal berikut yang dilakukannya adalah membersihkan angkatan perang darat Kerajaan Palingga dengan menyingkirkan prajurit-prajurit yang direkrut sejak eempat tahun yang lalu, lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru dengan koordinasi ketat dari perwira-perwira yang dikenal sangat setia terhadap Baginda Prabu Nararyawardhana. Ternyata hal itu bukanlah sesuatu hal yang mudah bagi Patih Wiratama. Ada begitu banyak tantangan yang dihadapi. Demikian banyak perwira-perwira yang dulunya dikenal sangat loyal kepada Baginda Prabu Nararyawardhana, kini banyak terendus telah dicemari oleh pengaruhnya Patih Adiwilaga dan Lurah Ki Jantaka alias Gentala Seta. Mereka direcoki oleh sang patih durhaka dan lurah keblinger
Beberapa bulan kemudian, Baginda Prabu Nararyawardhana mengumumkan akan turun tahta dan akan digantikan oleh putra mahkotanya, yaitu Pangeran Labdajaya. Pengumuman itu ada begitu banyak tanggapan dari kalangan rakyat. Ada yang berpendapat, bahwa Baginda Prabu Nararyawardhana terlalu cepat turun tahta mengingat usianya masih terbilang muda, baru berusia lima puluh tahun. Pendapat kedua adalah memuji kebesaran jiwa Baginda Prabu Nararyawardhana yang merasa bahwa ia mungkin merasa sudah tak mampu lagi untuk membendung fitnah-fitnah yang ditebarkan oleh mantan patihnya, Patih Adiwilaga, dan komplotannya sehingga terjadi krisis kepercayaan rakyat yang berujung pada pemberontakan dan perang saudara. Namun sebenarnya untuk hal ini, setelah rakyat mengetahui persisi duduk permasalahnya, bahwa selama ini mereka telah termakan oleh hasutan
Namun saat di mana sang putra mahkota dinobatkan sebagai raja baru Kerajaan Palingga, beribu-ribu rakyat berdatangan dari seantero negeri, tumpah ruah di alun-alun kota raja. Penobatan putra mahkota, Pangeran Labdajaya, menjadi raja tidak hanya dihadiri oleh rakyat Palingga sendiri tetapi juga dihadiri oleh ribuan para utusan dari kerajaan-kerajaan sahabat. Penobatan itu berlangsung khikmat. Setelah Pangeran Labdajaya mengenakan mahkota Kerajaan Palingga, ia bergelar Sri Maharaja Prabu Labdajayawardhana. Dalam menyampaikan pidato pertamanya di hadapan segenap rakyat dan para tamu undangan dari kerajaan-keraan sahabat, ia berkata dengan dengan suaranya yang lantang namun teratur dan berwibawa: “Rakyatku sekalian yang aku cintai. Sejak saat ini aku telah dinobatkan sebagai raja baru kalian setelah secara resmi Ayahanda, Paduka Yan
Di suatu daerah yang masuk dalam wilayah Kerajaan Medang terdapat sebuah wilayah kelurahan yang bernama Uluwatu yang dipimpinan oleh Ki Lurah yang bernama Wilulang. Wilulang merupakan adik dari sang wiyasa yang memimpin wilayah watek (sejenis wilayah kecamatan sekarang), yang wilayahnya membawahi juga wilayah kelurahan yang dipimpin oleh Wilulang. Sangat banyak kebijakan Ki Lurah Wilulang menyimpang jauh dari kebijakan dari Sri Baginda yang sangat adil dan bijaksana. Lurah Wilulang tak ubahnya harimau berbulu domba, yang hanya tampak tenang dan berwibawa dan pandai menyembunyikan kuku-kuku yang tajam dan mematikan. Akibat kebijakannya yang lalim, rakyatnya mengalami penderitaan dan ketidakadilan. Kesengraan serta kemelaratan terjadi merata di mana-mana di desanya. Rakyatnya baginya tak ubah sebagai sapi perahan yang dapat seenaknya mereka peras dan rampas hartanya. Penarikan pajak pun ber