Saat pintu sedikit terkuak, ia mengintip ke dalam. Ternyata ada dua orang wanita. Dua wanita yang ia lihat duduk di samping Lurah Lewi semalam di joglo depan. Kedua wanita itu tampak sedang tidur siang. Namun agar aksinya berjalan aman, ia pun perlu untuk membuat wanita itu tertidur lebih lelap lagi, ia pun merapalkan Ajian Sirep sembari ditiupkan ke dalam kamar melalui pintu yang sedikit terbuka. Setelah dirasakan aman, ia pun masuk.
Pada pojokan kamar di antara pundi-pundi ia melihat ada kantong-kantong dari kulit hewan yang disusun rapi. Dia mengambil dua kantong, lalu dengan gerak cepat ia mengisi kedua kantong itu dengan keping-keping emas dari tiap-tiap guci. Setelah dirasa perlu, ia pun keluar. Semuanya berjalan lancar.
Malam itu ia menginap di sebuah penginapan yang terletak di tengah kota Watu Galuh yang tak jauh dari kepatiha
Seperti yang sudah diduga, ternyata Gusti Patih memang membersihkan nama baik Rake Abiseka di hadapan segenap pejabat bawahannya. Rake Abiseka diumumkan terbukti tidak bersalah. Dia difitnah oleh dua orang temannya sendiri, sesama pejabat di lingkungan pura kepatihan. Dalam kesempatan itu pun, Gusti Patih mengumumkan bahwa ia menempatkan kembali Rake Abiseka pada kedudukannya semula, yaitu sebagai penghulu perbendaharaan di puri kepatihan. Mendengar kabar tersebut, Purwati dan Galih sangat gembira. “Benar kata Mas Anom, bahwa semua hal itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi sudah diatur oleh Sang Hyang Maha Kuasa. Pasti ada kebaikan di balik sebuah ujian dan musibah,” ucap Purwati. “Benar sekali, Nduk,” sahut Rake Abiseka. “Tapi
Si pemilik warung dan semua orang yang ada dalam warung langsung menoleh pada Raden Anom dengan tatapan keheranan. “Benarkah demikian, Cah Bagus?” “Tentu saja, Nyi. Nyi tenang saja,” sahut Raden Anom sambil tersenyum. “Hei, Anak Muda! Dengan cara apa Anak Muda mengatasi masalah di pasaran ini dari cengkeraman putri sang adipati itu? Anak Muda ini siapa?” Itu yang bertanya adalah laki-laki yang duduk di meja sebelah sampingnya. Raden Anom tersenyum dan menjawab, “Saya orang Palingga juga, Kisanak.” Saat rombongan putri sang adipati berada di depan warung
Begitu turun dari punggung kudanya, laki-laki berusia empat puluhan tahun yang disebut Adipati Tadakara itu langsung menyambup pelukan dari putrinya sembari bertanya, “Apa yang terjadi, Nduk?” Belum lagi putrinya menjawab, Raden Anom muncul di pintu warung makan dan bertanya, “Sampean yang bernama Adipati Tadakara?” Bukan saja sang adipati sendiri yang kaget mendapat pertanyaan yang terkesan tidak bertatakrama itu, namun semua orang pasar yang berkerumun langsung saling berpandangan satu sama lain. Bahkan seorang bintara yang memimpin pengawalan terhadap sang adipati merasa geram. “Heh, Anak Muda! Apakah kautidak tahu kausedang berhadapan dengan siapa!”ucap sang bintara bhayangkara itu dengan membentak.&
Sejak hari itu, hingga beberapa lama ke depan, Raden Anom tinggal di Pura Kadipaten. Ia ingin melakukan pembersihan besar-besar dalam tubuh pemerintahan Kadipaten Mojo Agung. Pejabat-pejabat yang terpapar oleh pengaruh Adipati Tadakara harus dibersihkan, hingga ke tingkat paling bawah. Untuk itu, Raden Anom mengumpulkan pejabat-pejabat tinggi di kadipaten. Ia ingin mendengarkan pendapat, masukan, dan sebagainya dari para pejabat-pejabat itu. “Jika sang adipati berhalangan, sakit, atau sedang ke luar kadipaten dalam waktu yang cukup lama, biasanya siapa yang melaksanakan pemerintahannya?” bertanya Raden Anom. “Hamba, Gusti Raden Anom,” sahut salah seorang pejabat yang duduk di deretan kursi sebelah kanan Raden
Setelah semua urusan di Kadipaten Mojo Agung, Raden Anom langsung melesat menuju kota raja. Di istana kerajaan ia disambut oleh segenap penghuni istana dengan rasa suka cita. Tentu yang paling senang melihat sang pendekar muda itu pulang adalah biungnya, Diajeng Sekar Laras, dan bopo sambung sekaligus gurunya, Ki Jagadita. “Mengembara ke mana saja kau, Ngger?” tanya bopo sambungnya. “Ananda hanya mengembara di kerajaan tetangga, Bopo,” sahut Raden Anom sembari menyalami dan menciumi tangan sang ayah sambung sekaligus gurunya itu. “Bopo dengar Angger mampir dulu di Kadipaten Mojo Agung? Bagaimana keadaan kadipaten itu sekarang?”
Raden Anom mengantarnya untuk duduk kembali ke kursinya semula. “Dik Purwati dan Galih adalah sahabat baik adinda di Kota Watu Galuh, Raka Prabu. Adinda menemaninya untuk menyelesaikan permasalahan mereka, lalu saya pergi begitu saja tanpa pamit terlebih dahulu,”cerita Raden Anom setelah duduk kembali ke kursinya. “Ampun Gusti Prabu, terlebih dahulu hamba menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Angger Anom. Selama ini hamba hanya berhadap bisa bertemu dengan beliau. Rupanya Dewata Agung mengabulkan permohonan hamba. Dan hamba sama sekali tak menduga justru bertemunya di pertemuan agung ini. Hamba benar-benar merasa amat tersanjung, karena ternyata pemuda yang pernah membantu kehidupan putri dan putra hamba serta membantu menyelesaikan permasalahan hamba adalah
Siang hari, saat Raden Anom sedang mengajar para muridnya di padepokan istana, seorang prajurit kerajaan datang menghadap, memberitahukan bahwa Gusti Prabu mengharapkannya untuk menghadap di Balai Paseban. “Baiklah, silakan duluan. Saya akan segera menyusul,” sahut Raden Anom. “Baik, Gusti Anom.” Prajurit kawal istana itu langsung kembali ke tempat tugasnya di depan pintu istana. Tetapi betapa kagetnya ia, ketika ia kembali berdiri di sisi pintu istana, ternyata Raden Anom sedang berbicara dengan Baginda Prabu di balai paseban. Namun ia tak berani berkata apa-apa kepada prajurit lain yang berdiri di samping kiri kanannya. Namun hatinya berkata, bahwa Raden Anom
Sesungguhnya, Raden Anom tidak bermaksud untuk memamerkan kedigdayaannya di hadapan sang raja dan sang mahapatihnya, tetapi biar apa yang akan mereka saksikan kelak menjadi bukti, bahwa Kerajaan Palingga memiliki pasukan yang sangat tangguh, dan tak boleh ada pemberontak atau pun kerajaan mana pun yang boleh mengganggu mereka. “Saya sangat setuju dengan semua usulan yang disampaikan oleh Panglima Muda Anom. Saya serahkan sepenuhnya kelanjutan kerajaan saya kepada Panglima Muda Anom dari serbuan para pemberontak itu,”sabda Raka Hastanta. “Terima kasih, Gusti Prabu,” sahut Raden Anom. “Karena itu, saya meminta kepada Ki Mahapatih agar menarik seluruh pasukan ke kota raja. Pastikan para pemberontak itu memasuki ladang kematian mereka, yaitu alun-alun kota.”