Malam hari, Raden Anom mengobrol berdua dengan Laksmi di halaman belakang rumah. Walau dinaungi oleh beberapa pohon sawo, namun sinar rembulan tetap mampu menerangi tempat itu. Keduanya membahas masalah lanjutan pertandingan esok hari.
“Apa ada yang Dik Laksmi pikirkan tentang pertandingan esok hari?” tanya Raden Anom.
“Tidak pada pertarungannya, Mas, tapi hanya pada siapa calon tarung pertama saya besok.”
“Hm. Tapi siapa pun yang lawan pertama atau selanjutnya Dik Laksmi besok, tidak perlu dirisaukan, karena Mas akan melindungi Dik Laskmi tanpa siapa pun yang tahu. Bahkan bila perlu, Dik Laksmi minta kepada juru acara agar Dik Laksmi agar bisa melawan dua orang sekaligus. Jika demikian, maka kemungkinan Dik Lasmi akan bertarung dengan Pendekar Naga Merah di pertarungan terakhir.”
Lagi-lagi Pendekar Banci kelana tertipu. Rupanya gerakan liciknya itu sudah diketahui oleh sang lawan. Saat ujung selendang mengandung maut itu satu depa lagi akan memotong urat lehernya, dengan cepat Pendekar Cambuk Iblis melentingkan tubuhkan ke belakang, yang kemudian dengan menggunakan siku kiri untuk menyangga tubuhnya, tangan kanannya dengan cepat dan kuat mengayunkan cemeti saktinya ke depan, dan... Crash..! Crash...! Dua kali ujung cambuk yang ada semacam pisau pendek namun sangat tajam itu mengenai perut lawannnya, Pendekar Banci Kelana dan mengoyaknya. “Ah...!” Semua penonton spontan menutup wajahnya atau memalingkannya ke arah samping karena tak sanggup melihat pemandangan yang mengerikan di hadapan mereka. Serta-merta Pendekar banci Kelana
Yang paling bernafsu untuk menyerang adalah Pendekar Kapak Kembar. Begitu Ki Surojoyo turun dari panggung pertarungan, laki-laki yang bertubuh kekar dan berwajah garang itu langsung menyerang ke depan dengan memutar kedua kapak kembarnya dengan sasaran yang berbeda pada tubuh lawannya, Pendekar Naga Merah. Pemuda yang bergelar Pendekar Naga Merah tentunya bukanlah pendekar berkepandaian rendah. Begitu mendapat serangan itu, ia justru menyambut serangan yang sangat berbahaya itu dengan menggunakan tangan kosong sembari menyambutnya dengan tendangan memutar yang sangat keras dan mengarah langsung pada bagian bawah dada lawannya. Saat Pendekar Kapak Kembar bergerak memutar untuk menghindari tendakan keras lawannya, justru saat itu sang lawannya mengirimkan tendangan kerasnya dengan menggunakan kakinya yang lain. Bughk...!! Bughk.
Suara penonton langsung gegap gempita untuk memberikan semangat kepada kedua bertarung. Tetapi nama Laksmi atau Pendekar Cantik terus-terusan dielu-elukan. Pendekar Cambuk Iblis terus saja menyabetkan cambuk bajanya ke arah tubuh Laksmi, tetapi sejauh ini tak satu pun yang mampu menembus pelindung tak kasat mata yang menyelimuti tubuh gadis cantik itu. Bahkan pukulan dan tendangannya hanya mengenai angin kosong karena dengan mudahnya lawannya itu menghidarinya dengan hanya menggerakkan tubuhnya sedikit. Ia benar-benar seperti sedang melawan sesosok bayangan semata. “Ayo pria tua, teruskan seranganmu. Apakah keperkasaanmu yang kau bangga-banggakan itu hanya segitu saja?” ejek Laksmi sembari terus menggerakkan tubuhnya mengelakkan setiap serangan cambuk, tangan, dan kaki lawannnya. Mendengar ejekan itu
Raden Anom bertindak cepat. Dengan gerakan cepat, ia membopong tubuh laki-laki itu dan dibawahnya ke dalam rumahnya dan meletakkannya ke atas lantai permadani. Saat itu Nimas Isyana muncul bersama Laksmi dan juga...Pendekar Naga Merah. Raden Anom sesaat terheran, namun segera dibuangnya dalam pikirannya. “Tolong ambilkan air minum...!” pinta Raden Anom tanpa ditujukan kepada siapa pun dalam ruangan itu. Nimas Isyana langsung bergerak ke ruang dalam, dan sesaat kemudian telah keluar kembali sambil membawa satu mok besar air minum. Mok perak itu diambil alih oleh Raden Anom dan diletakkan di depannya. Ia segera memusatkan pikirannya. Satu tapak tangannya diletakkan di atas mulut mok. Mulutnya terlihat komat-kamit. “Tolong diminum dulu air ini, sebanyak yang Ki Lurah mampu,” ucap La
Pada keesokan harinya, Raden Anom, Laksmi, Ki Prana, Nyi Ngatmi, juga Jiao Long diundang oleh Ki Lurah Srandak untuk datang ke rumahnya. Tak ada di antara mereka yang tahu mengapa Ki Lurah mengundang mereka. Ki Jalak Ireng pun yang diutus ke rumahnya Ki Prana tak tahu dalam rangka apa orang nomor satu di Desa Blimbingan itu mengundang mereka. Namun demikian, Raden Anom, Laksmi dan kedua orang tuanya, serta Jiao Long tentu tak menolak undangan itu. Mereka datang ke rumah orang yang lebih dikenal dengan Juragan Srandak itu pada malam harinya. Mereka dijamu oleh sang juragan alias Ki Lurah dengan perjamuan yang istimewa. Setelah perjamuan, Ki Lurah mengajak mereka untuk duduk di ruangan dalam rumah itu. Sebuah ruangan khusus keluarga yang luas dan mewah. Mereka duduk melingkar di atas sebuah permadani berwarna merah.
“Baiklah,” ucap Ki Lurah Srandak, “untuk urusan pertama kita tinggalkan dulu, dan aku ingin menyampaikan hal berikut yang tak kalah pentingnya.” Semua terdiam dan menunggu kelanjutan ucapan Ki Lurah. “Sebelumnya, aku ingin bertanya dulu kepada Nok Laksmi, apa benar punya rencana untuk mencalonkan diri sebagai lurah?” Mendengar pertanyaan yang di luar dugaan itu, membuat Laksmi, Raden Anon, Ki Prana, dan Nyi Ngatmi kaget dan mengangkat wajah mereka. Mereka tak mengira jika Ki Lurah sudah mengetahui rencana itu.Apakah Ki Jalak Ireng yang memberitahunya? “Tak usah merasa tak enak hati atau kaget. Aku sudah mendengar selentingan dari kalangan rakyat soal itu. Jadi aku hanya ingin memastikan kebenaran kabar itu,” lanjut
Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.
Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan