Ruang makan Akash hari itu lebih ramai dari biasanya. Arjuna dan Sandy ikut menikmati makan siang bersama di ruangan itu. Kinasih dan Asha sudah menyiapkan makanan sederhana untuk menjamu mereka. Meski Asha sangat ingin membuat menu tambahan, tapi Kinasih meyakinkan kalau makanan yang mereka siapkan sudah cukup.
Nasi wangi, ayam goreng serundeng, sambal terasi, sambal goreng kentang, telur balado dan urap sayur terhidang diatas meja. Wanginya menguar dan membuat selera makan setiap orang nampaknya bertambah.
Mereka duduk melingkar di meja makan.
“Wah, makan besar nih,” ucap Cakra.
“Maaf ya Kek, hidangannya sederhana,” ucap Asha. Ia masih khawatir kalau makan siang kali ini kurang berkenan di hati keluarga suaminya.
“Kenalkan, namanya Nania. Dia putri dari Rangga Prambuni,” ucap Chakra pada seluruh keluarganya. “Dan Nania, ini adalah keluarga Kakek. Ini Shandy anak Kakek dan itu istrinya… namanya Amerta.” Nania megangguk padanya sambil mengulas senyum.“Mereka punya tiga anak, Arjuna, Maha dan Akash. Arjuna dan Akash sudah menikah, sementara Maha sedang mencari calon istri,” lanjut Chakra sambil menunjuk ketiga cucunya. Nania hanya mengangguk pelan.“Nah yang disana, itu namanya Rama. Dia sahabat Akash sekaligus rekan bisnis kami. Dia datang bersama Indira calon istrinya dan anaknya, Anna namanya.”“Ow, gadis kecil dengan kepang dua yang sedang bermain di depan itu namanya Anna?” tanya Nania semangat.“Iya, dia
Setelah luka ada bahagia, mungkin itu yang kini dirasakan Asha. Ia kembali pulih, begitupun dengan putranya, dia dapat kabar bahagia karena sahabatnya akan segera menikah dan bertambah bahagia setelah mengetahui kalau Sizy, kakak iparnya juga sedang mengandung.Sepertinya akan lengkap bahagianya kalau mendapat kabar kalau Maha, kakak iparnya menemukan tambatan hati. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat karena pria itu terlalu sibuk dengan urusan kantor.“Jadi kapan kamu mau menikah Maha?” Maha mendelik mendengar pertanyaan Amerta–ibunya. Rasanya belakangan ini dia sering sekali mendengar pertanyaan itu.“Kapan-kapan Ma,” balasnya singkat.Plak!Satu pukulan mendarat di p
Asha tidak tega melihat pria tua itu bersimpuh di teras rumahnya. Dia meminta pria itu berdiri dan duduk di dalam meskipun Akash sebenarnya tidak setuju. Cakra dan Shandy ikut bergabung ke ruang tamu, sementara yang lain menunggu di luar keluarga.“Ini sebenarnya ada apa?” tanya Asha pelan. Dia memang tidak tahu apa yang terjadi pada Adrian dan keluarganya.“Dia bukan orang baik sayang, harusnya kita gak perlu terima dia,” balas Akash.Asha mengerutkan keningnya, berusaha meminta penjelasan lain dengan tatapan kebingungan.“Seharusnya kamu gak perlu kesini Adrian, bukankah Ayah sudah bilang nanti dia akan ajak Akash bicara pelan-pelan?” pertanyaan itu membuat Adrian mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk.
Hari itu di rumah Akash dan Asha terasa lebih hidup dari biasanya. Cahaya matahari menembus tirai ruang keluarga, membawa kehangatan yang menyenangkan. Akash yang sudah lama sekali tidak ke kantor, hari itu terpaksa mengikuti perintah Cakra untuk kembali menyibukkan diri di kantor.Bagaimanapun, dia punya tanggung jawab yang tidak bisa diserahkan pada orang lain. Asha tentu melepasnya, karena dia juga tidak ingin menjadi penghambat jalannya perusahaan dengan menahan Akash berada lebih lama di rumah. Apalagi saat itu Kinasih dan Amerta juga tetap tinggal di rumahnya.Kinasih sibuk memasak di dapur bersama dengan Bi Marni, sementara Amerta menemani Asha, berbincang ringan sambil menidurkan bayinya.Saat sore menghampiri, Asha sedang keluar dari kamarnya, tapi saat kembali dia mendengar sedikit perdebatan dari dalam ka
Matahari sore menyusup lembut melalui jendela besar kamar bawah. Sejak keluar dari rumah sakit, Asha memutuskan untuk menempati kamar bawah bersama Akash dan bayinya nanti. Ia sedang duduk bersimpuh di sisi ranjang bayi yang baru saja ia pasang bersama Akash pagi tadi. Tangan lembutnya merapikan selimut kecil bermotif awan, memastikan tak ada satu lipatan pun yang mengganggu kenyamanan putranya nanti. Bayi kecil itu, besok pagi akan pulang ke rumah dan dan tawanya pasti akan menjadi magnet cerita untuk seisi rumah."Akhirnya, bisa mengurusmu di rumah dengan tangan Bunda," ucapnya sambil menatap kasur kecil itu, seolah sedang berbicara dengan bayinya.Suara langkah pelan terdengar dari balik pintu. Akash muncul dengan membawa sebotol air hangat dan senyum yang tak pernah berubah sejak hari pertama Asha membuka matanya dari masa kritis.
Waktu berlalu cukup lambat untuk Akash dan Asha, tapi mereka bersyukur dalam lambatnya waktu yang mereka lewati ada hal lain yang tumbuh–harapan yang semakin tinggi dan tidak pernah mati.Apalagi saat mendengar dokter mengatakan kondisi bayi Atha Raka semakin membaik. Pada akhirnya bayi itu diizinkan keluar dari ruang inkubator dan dipindahkan ke ruang rawat biasa. Hal pertama yang dilakukan Akash adalah mengadzani putranya, sesuatu yang ia tunda karena kondisi memang belum memungkinkan.Asha memangku bayi mungilnya, sementara itu Akash berlutut di sampingnya dan mendekatkan bibirnya ke telinga kecil Atha Raka. Dengan suara bergetar ia mengumandakan adzan, pelan, penuh haru dan penghayatan.Air matanya menetes, begitu juga dengan air mata di wajah Asha, tapi meski begitu, senyum hadir di wajahnya. Pemandangan ayah dan anak di hadapannya menghadirkan kehangatan dalam hati. “Selamat datang pejuang hebat, terima kasih sudah bertahan sejauh ini.” ucap Akash pada bayi kecilnya. “Bertahanl