ログインMeyra Valencia menikah dengan Evan Anderson karena keterpaksaan. Namun dia mencintainya dengan tulus, walau sikap Evan selalu dingin bahkan tidak pernah menyentuhnya. Meyra kesepian dan tetap membutuhkan nafkah batin. Hingga akhirnya dia mendapat kepuasan dari mainan dewasa. Meyra tak sadar semua itu diamati oleh Ayah Mertuanya, Glen Anderson, yang ternyata selalu berfantasi liar tentangnya. Dan ketika Meyra mengetahui perselingkuhan Evan, hatinya semakin hancur. Di saat terpuruk, Glen hadir menjadi tempatnya bersandar. Kini Meyra terperangkap dalam hubungan terlarang dengan Ayah Mertuanya. Dan sulit terlepas dari hasrat yang tidak seharusnya ada.
もっと見る"Aku bakal pulang telat malam ini."
Evan merapikan dasinya di depan cermin. Ucapannya datar tanpa menatap Istrinya.
Meyra tengah merapikan tempat tidur. Menghentikan kegiatannya sejenak. Lalu menoleh.
“Telat lagi?” suaranya pelan tapi sarat kecewa. “Padahal malam ini Papa kamu ngajak makan malam di luar.”
"Kalian aja yang pergi. Aku ada urusan di kantor," balas Evan.
Suaranya terdengar dingin. Membuat udara kamar seperti menegang.
Meyra menatap punggungnya. Dalam hati selalu muncul kecurigaan setiap kali Evan pulang terlambat dengan alasan yang sama.
“Urusan di kantor atau… sama Clara?”
Nada Meyra pelan, hampir seperti gumaman. Tapi cukup membuat Evan menoleh tajam.
“Ini masih pagi, Meyra. Aku nggak mau ribut.”
Evan menghela napas kasar. Tapi Meyra melanjutkan dengan hati-hati, hanya mencoba menjelaskan.
“Aku nggak ngajak ribut. Aku tau kamu sibuk. Cuma, kalau bisa, jangan terlalu deket sama Clara. Orang-orang di kantor bisa salah paham. Aku takut kamu yang nanti disalahin.”
Evan menatap dengan raut jengkel. Rahangnya mengeras. Dia semakin kesal dengan perkataan Meyra yang berbelit-belit.
“Cukup, Meyra!”
Suara Evan meninggi. Detik berikutnya—
Prang!
Meyra terkejut, matanya refleks terpejam. Suara napasnya tercekat di tenggorokan.
Tinju Evan menghantam cermin di sampingnya hingga pecah. Suara nyaring itu sengaja ia lakukan untuk melampiaskan amarah. Sekaligus memberi Meyra peringatan.
"Clara cuma sekretaris aku. Nggak usah berlebihan!" bentaknya.
Meyra menggigit bawah bibirnya. Lalu mendongak, menatap dengan matanya yang sedikit berkaca-kaca.
"Bukannya kamu udah janji sama Ayah bakal jagain aku? Kenapa makin hari kamu makin kasar?" katanya dengan suara lirih.
Bukannya luluh atau merasa bersalah, Evan hanya mengusap kasar wajahnya.
"Jadi kamu mau ancam aku sekarang?" geramnya.
Meyra menggeleng cepat. “Bukan gitu, aku cuma—”
“Denger, Meyra,” desisnya. “Aku nurutin kemauan Ayah kamu, karena nggak mau reputasi keluargaku tercoreng. Jadi jangan ngungkit hal itu lagi. Paham?!”
Perkataannya menampar lebih keras dari suara kaca pecah.
Meyra diam mematung. Pandangannya jatuh ke lantai. Napasnya bergetar.
Evan mengambil tas kerjanya dan pergi tanpa menoleh.
Brak!
Pintu tertutup keras. Menyisakan keheningan yang menyesakkan.
Hanya ada bayangan pecah di cermin. Dan hati Meyra yang ikut retak bersamanya.
"Walau aku tahu kamu terpaksa nikahin aku. Setidaknya aku cuma pengen kamu lebih perhatiin aku," gumamnya lirih.
Sudah dua tahun sejak mereka menikah. Dan selama itu pula Evan masih bersikap dingin padanya.
Pernikahan mereka bukan berawal dari cinta. Melainkan dari tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa Aditya, Ayah Meyra.
Evan kala itu menabrak mobil Aditya tanpa sengaja. Dan bersedia menikahi Meyra sebagai bentuk tanggung jawab.
Tak ada dendam di hati Meyra. Ia tahu itu kecelakaan. Dan menerima Evan dengan lapang dada.
Sebagai istri, Meyra hanya ingin menjalankan tugasnya dengan baik.
Selama tinggal bersama di rumah orang tuanya ini, perlahan Meyra merasakan benih-benih cinta pada Evan.
Sayangnya, rasa itu seperti menumbuh di tanah tandus. Evan tak pernah sekalipun menyentuhnya. Atau menatapnya dengan kehangatan seorang Suami.
Yang ada hanya ada jarak, dan kesepian yang kian menekan.
Namun Meyra tetap bertahan. Karena dia sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Sambil berharap ada keajaiban yang menggerakkan hati Evan.
Pandangan Meyra kini beralih pada cermin yang pecah di dekatnya.
Sambil menghela nafas panjang, Meyra berjongkok. Lalu mengumpulkan pecahan kaca.
Di tengah kegiatannya. Tak lama muncul suara ketukan di pintu kamarnya.
Tok! Tok!
“Meyra.”
Suara berat seorang pria terdengar dari luar.
Dia adalah Glen Anderson—Ayah Mertua Meyra.
Meyra terkesiap. Dengan cepat dia bangkit. Dan membuang pecahan kaca di tangannya.
Namun karena kondisi kamar yang berantakkan, Meyra tak ingin menunjukkannya pada Glen.
“I-iya, Pah?” sahutnya dari balik pintu.
“Papa denger kayak ada suara benda pecah,” ujar Glen penasaran.
Meyra menoleh sekilas pada kekacauan di kamarnya. Memutar otak untuk mencari alasan yang masuk akal untuk mengelabui Glen.
“Em. Itu, botol parfum aku jatuh, Pah. Nggak sengaja kesenggol. Maaf ya bikin ribut.”
Sedikit kebohongan mungkin tidak masalah.
“Beneran? Tadi Evan pergi buru-buru. Mukanya kayak kesel. Apa kalian abis berantem?”
Lagi Glen bertanya.
Dan itu membuat Meyra terdiam sejenak. Tarikan nafasnya terasa berat.
Tak ingin dicurigai, akhirnya Meyra membuka pintu sedikit. Hanya cukup memperlihatkan dirinya saja.
Glen berdiri di depan pintu kamarnya.
Pria paruh baya itu terlihat rapi dengan setelan jas biru. Namun masih terlihat tampan dan berkarisma.
“Nggak, kok. Mas Evan cuma buru-buru ke kantor. Ada kerjaan mendesak,” jelas Meyra beralasan.
Glen mengangguk pelan.
“Oh, kirain. Soalnya kebiasaan Evan, kalau marah suka banting pintu atau mukul sesuatu.”
Meyra hanya tersenyum dan kepala menunduk sopan.
“Nggak, Pah.”
Kemudian melangkah keluar.
“Aku buat sarapan dulu,” lanjutnya.
Seolah ingin mengalihkan pembicaraan. Meyra menutup pintu kamarnya dengan cepat. Melangkah lebih dulu ke arah dapur.
Meyra malu jika memperlihatkan rumah tangganya yang tidak harmonis.
“Papa tadi liat nggak, ya?” gumam Meyra gelisah.Dalam kamarnya, Meyra menatap paket itu. Seketika Meyra tersenyum ketika membaca label di atasnya.“Untung aja nama barangnya disensor.”Meyra segera menyembunyikan paket itu di laci meja kerjanya. Kemudian melangkah keluar kamar. Dan mencoba bersikap senormal mungkin.Meyra melewati sarapan seperti biasa. Tanpa menyadari tatapan Glen yang sedikit berbeda. Tak berkata apa pun meski dalam kepalanya penuh dengan pertanyaan.Mereka melanjutkan kegiatannya masing-masing.Sebagai penulis, jam kerja Meyra cukup fleksibel. Walau terkadang dia lelah saat dikejar deadline.Baru saja hendak duduk di kursi kerja, tiba-tiba ponselnya di atas meja berdering.Nama Siska terpampang di layar. Dia adalah Editornya di salah satu platform novel online.“Halo, Kak Siska?” sapanya.“Mey, naskah kamu yang baru, aku tolak ya,” ucap Siska langsung tanpa basa-basi.Meyra mengernyit. “Loh? Kenapa, Kak?”“Hm, masih banyak kekurangannya. Entah kenapa, tulisan kamu
“Ahh!”Meyra mendesah pelan. Dia menggeliat resah di atas kasur.Tatapannya masih tertuju pada video panas di layar laptop. Sambil mengikuti gerakan si pemeran wanita.Sesekali, Meyra memandangi foto pernikahannya dengan Evan di dinding sebagai objek fantasi liarnya. Gairah yang tertahan selama ini akhirnya lepas kendali.Meyra mengambil mainan sex yang sudah dia ambil. Dan tidak lama kembali mendesah. Kali ini, lebih kencang.“Hemm, Evan ....”Meyra menaikkan tempo mainan itu sambil menyebutkan nama suaminya. Dia berkhayal Evan ada di sampingnya.Meyra lupa menutup rapat pintu kamarnya. Dia tidak menyadari, sepasang mata memperhatikan kegiatannya dari celah pintu yang sedikit terbukaGlen Anderson, Ayah mertuanya.Glen baru saja tiba setelah lembur kerja. Tapi dia malah mendengar suara desahan dari kamar menantunya.Tidak menduga, ternyata Meyra sedang memuaskan diri menggunakan mainan sex.Glen tak habis pikir. ‘Dasar, Evan! Kok bisa dia biarin Istrinya main sendirian begini?’Glen
"Tapi ada buku aku yang laris kok, Mas. Sampai dicetak beberapa kali."Meyra mencoba menahan nada suaranya tetap tenang. Ia tak ingin membuat keributan karena hal ini."Nggak bakal dijadiin film juga. Rugi gelar Sarjana ekonomi kamu kalau ujung-ujungnya nganggur di rumah," balas Evan dingin.Meyra menunduk menggigit bawah bibirnya. Menahan rasa sesak di dada.Sejak awal Evan tak terlalu suka ataupun mendukung profesi Meyra. Padahal itu adalah hobinya. Dan banyak perjuangan yang dia lakukan."Iya Mas. Maaf. Mungkin bakat aku di situ," ucap Meyra seadanya.Evan memutar bola matanya malas."Terserah," katanya tak peduli.Meyra menarik nafas. Memaksakan senyuman. Dia selesai melipat pakaian terkahir dan memasukkannya ke dalam tas.Kemudian berjalan menghampiri Suaminya."Ini bajunya, Mas. Nggak makan malam dulu?"Meyra mencoba tak memikirkan perkataan Evan. Hal itu sudah biasa. Walau tetap terasa menyakitkan.“Nggak usah,” jawabnya singkat.Evan hendak melangkah pergi.Namun tangan Meyra
"Ya udah. Ayo aku temenin."Suara Evan terdengar datar.Tapi cukup untuk membuat wajah Meyra berubah. Ekspresi datarnya kembali tersenyum cerah."Beneran? Kamu mau ikut? Emang nggak ganggu kerjaan kamu?" tanyanya dengan mata berbinar.Evan menghela napas panjang. Memalingkan wajahnya sejenak."Nggak kalau cuma sebentar."Lalu menoleh pada Sekretarisnya dan memerintah. "Kamu ke kantor duluan, Clara."Clara mengangguk pelan.“Iya, Pak,” jawabnya.Kemudian berbalik dan pergi tanpa banyak bicara.Melihat hal itu, entah kenapa Meyra senang Clara pergi. Dan Evan berpihak padanya.Meyra mulai sedikit percaya dengan perkataan Evan tadi mungkin benar. Mereka kemari hanya masalah pekerjaan,"Tapi aku mau ambil buket dulu di taksi ya, Mas," ujar Meyra.Evan mengayunkan sedikit dagunya."Ya udah sana."Dengan langkah ringan, Meyra bergegas pergi.Sementara Evan masih berdiri di tempatnya. Ketika Meyra menjauh, ekspresinya berubah datar.‘Ck. Merepotkan,’ gerutunya dalam hati.Mendengus samar penu
"Lis, kenapa beli itu siang-siang gini, sih? Kenapa nggak beli online aja," bisik Meyra setengah menahan malu.Kepalanya menunduk. Sedikit menutupi wajah dengan rambut panjangnya.Lisa hanya menoleh santai."Ya kalau malem, mall tutup. Aku udah beli online, tapi lama nyampe."Lalu melangkah santai menyusuri deretan rak yang dipenuhi berbagai benda berwarna mencolok. Meyra hanya menggelengkan kepala.Perusahaan keluarga Anderson sedikit unik. Bisnis mereka bergerak di bidang fesyen khusus dewasa, dan memproduksi mainan sex. Toko Arson di mall ini adalah salah satu cabangnya.“Mey, lihat deh. Ini lumayan bagus,” panggil Lisa.Sambil mengangkat sebuah mainan sex berwarna hitam dengan ukuran yang cukup besar.“Kamu mau nggak? Katanya ini paling laku.”Meyra langsung melotot.“Nggak, ah! Kamu aja,” tolaknya.Lisa terkekeh kecil.“Duh, bener juga. Kamu kan udah punya suami.”Meyra pura-pura tak mendengar. Sambil memalingkan wajah.Namun, kata-kata Lisa sedikit menusuk hatinya. Meski memilik
Meyra sibuk memasak. Dibantu seorang pelayan yang terkadang datang untuk melakukan pekerjaan rumah.Di rumah keluarga Anderson yang sebesar itu, Meyra kesulitan melakukan semuanya sendiri. Walau pelayan itu hanya datang saat pagi sampai siang saja."Di sofa, itu buket punya siapa, Meyra?" celetuk seorang pria dari belakang.Meyra menoleh. Ternyata itu Ayah Mertuanya.Glen duduk di kursi ruang makan yang bersebelahan dengan area dapur."Oh, iya. Itu buket yang aku pesen kemaren. Buat ke makam, sekarang hari peringatan kematian Ayah," jawabnya.Alis Glen sedikit terangkat. Bibirnya menampilkan senyuman tipis."Gitu ya. Maaf Papa lupa. Dan kayakanya nggak bisa ikut," sesalnya.Mey membalas senyuman. Lalu berjalan ke ruang makan sambil mmbawa nampan berisi makanan."Nggak apa-apa, kok. Papa pasti sibuk. Aku cuma lagi kangen Ayah aja," katanya pelan sambil menaruh makanan di hadapan Glen.Meyra lalu duduk di kursi seberang. Mulai menyuap sarapannya sedikit menunduk.Glen memperhatikannya s






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント