Mag-log inAmara dibawa kembali ke rumah keluarga angkatnya setelah terpisah selama belasan tahun. Merasa asing, Amara mendapati semuanya sudah berubah, terutama sang adik yang kini telah menjadi sesosok pria matang dan menawan. Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Melainkan kenyataan bahwa Chandra adalah pria yang pernah terlibat hubungan cinta satu malam dengannya.
view moreEmbusan napas itu menyapu lembut telinga Amara diikuti kecupan di bahunya. Hangat, berat, dan terlalu dekat. Membuat kulit Amara meremang begitu saja, sementara tangan lelaki itu terus menyusuri punggung Amara.
Amara memejam, membiarkan dunia di sekitarnya mengabur. Sementara ranjang tempat mereka bergulat dengan keringat terus bergoyang.
Udara kamar dipenuhi aroma maskulin tubuh lelaki itu, bercampur minyak pijat beraroma terapi yang menambah gebu gairah mereka.
"Ohh." Suara parau itu membiusnya. “Kamu sangat... nikmat."
Amara menggigit bibir kala rasa nyeri tapi nikmat itu menyerangnya tampan ampun. Matanya terpejam rapat, menikmati hentakan demi hentakan lelaki itu di tubuhnya.
“Buka matamu.” Lelaki itu membelai wajah Amara yang memerah oleh gelombang orgasme yang terus berdatangan. “Tatap aku,” bisiknya seraya mengecup mata Amara yang terpejam.
Amara mengerjap perlahan dan mata mereka bertemu. Lelaki itu pun tersenyum dan bergerak lagi.
“Cantik,” bisiknya sambil mempercepat kembali ritme tubuhnya.
Semua terasa begitu nyata, hangat, dan hidup–
Sampai tiba-tiba rem mendadak itu membangunkan Amara dan membuatnya tergagap.
“Maaf mengganggu tidur Anda, Nona. Ada kucing yang lewat mendadak,” ujar sopir yang mengemudikan mobil.
Amara menghela napas pelan, lalu menatap ke luar jendela. Jantungnya masih berdegup kencang, seolah tubuhnya masih belum sadar sepenuhnya bahwa itu cuma mimpi.
“Memimpikan pria itu lagi?” batin Amara pada dirinya sendiri. “Di siang bolong begini? Memalukan sekali, Amara!”
Dirinya kini sedang dalam perjalanan ke kediaman keluarga Sanjaya, keluarga angkatnya, yang membuangnya saat dirinya berusia sepuluh tahun.
Tiba-tiba saja, beberapa waktu yang lalu, ada sekelompok orang yang mencarinya ke rumah, lalu melemparkan tuduhan bahwa Bik Harni, mantan asisten rumah tangga keluarga Sanjaya yang merawatnya sejak kecil, adalah penculik dan mengancam wanita paruh baya tersebut dengan penjara jika Amara tidak dikembalikan ke keluarga Sanjaya.
Padahal bukan seperti itu yang diingat Amara.
Namun, ia tetap harus setuju untuk pulang ke kediaman keluarga angkatnya.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Bik Harni muncul di layar.
“Halo, Bik?”
“Mara–Maaf, maksud saya… Nona Amara.”
“Ck. Bik…” Amara memutar bola matanya, “... tetap panggil aku Mara aja ya. Bersikap biasa saja.”
Bik Harni terdiam sejenak, sebelum getar suaranya kembali terdengar. “Sudah makan, Non–”
“Mara,” potong Amara cepat. “Panggil aku Mara. Ayo coba, ulangi?”
“Kamu … sudah makan, Mara?”
“Nah, gitu dong.” Amara tersenyum. “Sudah, Bik. Aku bahkan nambah dua kali…” sahutnya dengan nada ceria. ‘Tapi bohong!’ lanjut Amara dalam hatinya.
Bohong untuk membuat tenang pembantu yang sudah seperti ibunya sendiri itu nggak apa-apa, kan? Boro-boro bisa makan, Amara tadi sempat mabuk kendaraan dan kehilangan selera makan.
Tapi, Amara tak mau bikin Bik Harni khawatir.
“Bibik yang jangan lupa makan. Tapi ingat asam uratnya ya… stop ngemilin emping.”
Bik Harni justru menangis. “Mara … jujur saja. Bibik nggak yakin kenapa mereka memintamu kembali,” ujarnya, mengabaikan nasehat soal asam urat.
Amara terdiam. Dia juga tidak mengerti kenapa orangtuanya baru datang.
Jika mereka memang ingin menemukan Amara yang diculik seperti klaim mereka, bukankah tidak perlu menunggu sampai 18 tahun berlalu terlebih dahulu? Keluarga Sanjaya punya kuasa itu.
“Mara?”
Amara menghela napas. “Bik. Jangan khawatir. Aku kan sudah besar, bisa jaga diri."
“Tahu, Mara. Berjanjilah untuk selalu menjaga dirimu baik-baik. Pulang saja ke Bibik kalau kamu sakit. Pintu rumah Bibik selalu terbuka lebar untukmu, Mara.”
Air mata Amara merembes ke pipi. Ia menggigit bibirnya yang gemetar agar jangan sampai terisak dan membuat Bik Harni bertambah sedih.
“Aku paham, Bik,” ucap Amara menenangkan. “Bibik juga. Kalau butuh uang, minta saja padaku. Jangan ke rentenir lagi, oke? ”
“Iya, Mara. Bibik kapok berurusan sama mereka.”
Terdengar tangis Bik Harni di ujung sambungan. “Mara…. Bibik takut dipenjara karena sudah dianggap menculikmu.”
Amara menghela napas panjang. “Itu tidak akan terjadi, Bik.”
Amara menghabiskan beberapa menit untuk menenangkan Bik Harni. Karena memang, perempuan itu tidak pernah menculiknya. Justru beliau telah menyelamatkan nyawa Amara.
Di luar, pepohonan bergoyang diterpa angin siang yang kering. Mobil melaju perlahan melewati sebuah gerbang yang terbuka otomatis, menuju rumah besar yang sudah delapan belas tahun lamanya ia tinggalkan.
Mobil berhenti di halaman luas rumah bergaya modern itu, rumah yang hampir pudar dari ingatannya selama hampir dua dekade.
Ibunya, Nyonya Lydia, berdiri di ambang pintu, menyambutnya dengan senyum sedikit kaku.
“Selamat datang, Amara.” Suara itu terdengar datar.
Amara berusaha membalas senyum Nyonya Lydia, meski pipinya terasa kaku.
Nyonya Lydia menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, seperti menilai barang antik yang baru dipulangkan dari pemilik sebelumnya.
“Masuklah.”
Hati Amara seketika tergores.
Tak ada pelukan hangat. Hanya seuntai senyum yang terlalu kaku. Beginikah sikap seorang ibu yang telah kehilangan putrinya selama delapan belas tahun?
Amara mengikuti Nyonya Lydia yang membawanya ke lantai dua rumah ini.
Sepanjang jalan, ia memandang ke dinding … berusaha menangkap kenangan yang mungkin bisa membangunkan rasa akrabnya pada rumah ini. Tapi, semuanya tetap terlalu asing.
Tak ada satu pun foto masa kecilnya, seolah ia tak pernah menjadi bagian dari rumah ini.
Tiba-tiba dirinya terhenti di sebuah foto keluarga yang sudah diturunkan. Permukaannya tertutup kain putih.
“Kenapa berhenti–oh.” Nyonya Lydia menegur Amara yang berhenti berjalan untuk melihat potret di lantai. “Aku baru saja melepas semua foto lama. Nanti kita bikin foto keluarga yang baru.”
Mendengar itu, Amara hanya mengangguk.
Ia kemudian dibawa ke kamar yang dulu ia huni selama menjadi putri angkat keluarga Sanjaya.
Sesungguhnya, ia tidak ingat banyak. Namun, semua memori yang tinggal di kepalanya sebenarnya tidak terlalu baik.
Ia dibawa untuk “pancingan” keturunan, sehingga, saat mereka akhirnya dikaruniai seorang putra di usia Amara yang baru 2 tahun, perlakuan mereka pada Amara semakin dingin.
Amara mengatur napas sekali lagi, berusaha menerima kenyataan tersebut.
“Istirahatlah. Kita ketemu lagi saat makan malam,” ucap Nyonya Lydia. “Aku akan mengajari kamu tata krama mulai besok.”
“Tata krama?” Amara mengernyit.
Nyonya Lydia menatap dingin ke arahnya. “Kamu kembali ke sini sebagai bagian dari keluarga Sanjaya. Terlepas kamu tidak dididik dengan benar, kamu harus tampil dan bertingkah sewajarnya putri keluarga terhormat. Berpakaian elegan. Menjaga tutur kata. Dan yang paling penting, menjaga nama baik keluarga kita.”
Belum sempat Amara merespons, Nyonya Lydia sudah berbalik dan melangkah pergi.
Amara menatap kamarnya lalu menghela napas dalam-dalam.
“Rumah … ya?” katanya pahit.
***
“Chandra belum pulang?” tanya Amara saat ketiganya sudah duduk di sekeliling meja makan.
Suasana tetap terasa kaku, jauh dari kehangatan keluarga yang ia bayangkan. Ayahnya, Tuan Arman, bahkan tidak melontarkan satu pun pertanyaan basa-basi.
Astaga. Berhadapan dengan sosok ayah yang tampak lebih formal daripada presiden perusahaan, membuat Amara ingin kabur saja.
Karena itulah, ia mencari sang adik angkatnya.
Setidaknya, dalam ingatan Amara, Chandra adalah sosok yang hangat dan periang. Adik kecilnya itu juga cukup manja padanya. Chandra akan membantunya merasa diterima di sini.
Chandra adalah hal baik yang Amara ingat dari rumah dingin ini.
“Adikmu itu super sibuk, asal kamu tahu saja.” Nyonya Lydia menjawab sambil menyendok makanan ke piringnya. “Maklum … Papa sedang mempersiapkan dia sebagai CEO di perusahaan keluarga kita, buat gantiin Papa kelak.”
Nyonya Lydia memandang Amara sekilas. “Nggak usah ditungguin, paling dia pulangnya malam. Masih larut dengan urusan kantor atau masih meeting, mungkin.”
Amara menelan ludah, kecewa karena adik yang dirindukan tak bisa pulang cepat.
Namun, tiba-tiba–
“Maaf, aku terlambat.” Suara bariton itu memotong udara dingin di meja makan.
Semua kepala menoleh.
“Wah. Panjang umur kamu, Nak,“ sambut Nyonya Lydia, penuh senyum dan kehangatan. “Mama pikir kamu bakal lembur seperti biasa.”
Amara tersenyum ke arah sang adiknya yang sedang berjalan ke arah meja makan.
Namun, saat tatapan mereka bertemu, Amara langsung membeku.
Pria itu … adalah pria yang beberapa kali hadir dalam mimpinya.
Pria yang... pernah tidur dengannya beberapa bulan yang lalu!
Amara berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan masa depan bangsanya. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam yang kehilangan induk. “Gosok gigi… atau nggak ya?”Pilihan yang terdengar sepele bagi manusia normal, tapi bukan untuk Amara. Skip sikat gigi malam ini? Duh, joroknya. Nanti kalau sampai sakit gigi, gimana? Amara langsung merinding. Tidak. Ia kapok sakit gigi. Gara-gara giginya rusak berlubang, ia harus cabut gigi di puskesmas waktu itu. Berhadapan dengan dokter muda yang sama sekali tidak ramah dan suntikan tajam yang menusuk gusinya tanpa ampun, masih bikin trauma.Ia juga selalu ingat omelan Bik Harni yang tertanam dalam alam bawah sadarnya sejak kecil. “Ayo, Mara! Sikat gigi sebelum tidur, atau semua gigimu nanti bisa berlubang.” Begitu katanya, mirip seperti kutukan. Bayangkan! Satu gigi berlubang saja sakitnya setengah hidup, apalagi semuanya?Dan ancaman itu rupanya lebih efektif daripada film horor.Kebiasaan gosok gigi sebelu
Chandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya. Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun. Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra
PLAK!“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. “Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. “Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”Plak!Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang
Amara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya. “Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.Amara membalas tatapan Chandra.“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos. Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori y






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.