Udara terasa samakin dingin. Kabut yang menyelimuti daerah pegunungan Semeru masih terlihat begitu tebal, Lastri harus berjalan merayap melewati tikungan yang setiap sisinya adalah tebing-tebing yang curam. Hampir semalaman wanita itu tidak tidur, kantung matanya terlihat jelas bergelayut menghitam di bawah netra yang terus berfokus menatap jalan.
Adzan subuh telah berkumandang, mobil berwarna merah itu baru saja memasuki halaman rumah minimalis miliknya. Suasa rumah Lastri masih begitu sepi, pasti Indah dan Prapto masih tertidur pulas. Benar saja, keluarga Lastri memang jarang sekali melaksanakan sholat.
Tak! Tak! Tak!
Suara hentakan kaki Lastri ketika wanita itu sedang manaiki anak tangga rumahnya. Dilihatnya kamar yang berada di sudut ruangan lantai itu pintunya sedang terbuka. Lastri mengeryitkan dahi, wanita itu kemudian berjalan mendekati kamar kosong yang berada di sudut ruangan. Lastri melongok ke dalam kamar
Indah masih duduk di kursi meja makan dengan wajah yang terlihat pucat pasi. Wanita itu telah mengeluarkan seluruh isi perutnya sedari tadi. Aroma amis yang bercampur dengan bunga tujuh rupa membuat wanita itu tak mampu menahan perutnya yang terasa seperti sedang di aduk-aduk."Minum, Indah!" perintah Lastri yang meletakan segelas wedang jahe di hadapan Indah."Kok bisa-bisanya air itu berubah menjadi darah ya, Bu?" tanya indah tercengang. Wanita itu menyesap dalam wedang jahe yang berada di atas meja. Membuat terasa hangat hingga ke dalaman perutnya yang sudah kosong."Sudah, kamu tidak perlu tau. Yang pasti, ini adalah ilmu hitam yang tidak perlu kamu ceritakan pada suamimu!" ancam Lastri. Wanita yang kini sedang mengunyah sebuah apel yang berada di genggamannya.Kebetulan memang hari ini Prapto sedang tidak pulang ke rumah Lastri. Lelaki itu memilih untuk menengok rumahnya di kampung sebelah. Mungkin ka
Setelah mengurus administrasi Tejo segera menuju ke dalam mobil miliknya. Kariawan yang membersamainya sudah menunggu di dalam mobil bersama Bambang yang masih tak sadarkan diri."Bos! Bambang badannya panas sekali loh!" ucap kuli yang sedari tadi memangku wajah Bambang dengan panik. Berkali-kali ia menempelkan telapak tangannya pada kening hitam Bambang."Biarkan saja! Tadi aku sudah menelpon kekuarganya. Sebentar lagi dia juga akan di jemput oleh keluarganya!" sahut Tejo dengan nada santai lalu melajukan kemudi.Karyawan itu mengangguk, dia tidak habis pikir jika nasib Bambang akan seperti ini. Masih diingatnya semalam Bambang yang lari terbirit-birit membangunkannya dengan wajahnya terlihat begitu ketakutan."Kus! Kus! Bangun Kus!" ucapnya malam itu, tangannya mengucang hebat tubuh Kusumo yang masih tertidur pulas. Hingga membuat lelaki hampir setengah abad itu mengerjap terbangun.
"Itu Bos, itu!" Lelaki setengah abad itu menunjuk-nunjuk ke arah luar pintu rumah dengan wajah takut.Tejo yang masih geram dengan pertanyaan Damar segera berjalan keluar dari pintu rumah. Kusumo masih terus mengekori Tejo yang memberinya aba-aba untuk menuju depan pintu gerbang rumah."Kamu yang namanya Tejo?" ucap lelaki bertubuh kerdil yang menjatuhkan tatapan tajam kepada Tejo."Iya, Kenapa?" sahut Tejo menahan amarahnya. Giginya terus bergemelutuk saling mengadu. Terlihat dari rahang lelaki berkumis tebal itu yang kian mengeras.Bough!Sebuah tinjauan mengayun cepat mengenai pipi Tejo, hingga lelaki itu jatuh tersungkur di lantai."Kurang ajar!" Tejo mengusap lembut sudut bibirnya yang terluka. Netranya melirik tajam ke arah pria kerdil yang hendak menjatuhkan bogem ke dua."Jangan Pak, jangan!" cegah Kusumo. Lelaki itu menarik pergelangan tangan pria
Prapto masih menumpu wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus mengawasi gerak-gerik Indah yang sedang menyiapkan makanan untuknya. Wanita berkulit hitam manis itu berjalan mondar mandir di hadapannya."Mas!" Teriak Indah membuat Prapto tergeragap. Pria dengan wajah ditekuk itu terus mengerucutkan bibirnya."Ada apa sih Mas kok manyun kaya gitu?" tanya wanita yang rambutnya masih basah sisa permainan semalam. Indah masih terus mengoyangkan spatulanya di atas wajan, sesekali melirik Prapto."Dek, semalem adek hadis ngapain?" tanya Proto menyelidik. Pria itu seolah tidak percaya dengan diri Indah yang kini berada di hadapannya. Indah yang semalam itu lebih menggodanya. Dadanya yang besar serta kulitnya yang putih bagaikan pualam. Membuat Prapto mengumulinya hingga adzan subuh berkumandang."Habis apa gimana sih, Mas?" sahut Indah menghentikan gerakannya. Kemudian menatap serius ke arah Prapt
Huek ... Huek ... Huek ...Indah berkali-kali keluar masuk ke kamar mandi. Sedari pagi perutnya terasa mual sekali. Hingga siang hampir menjelang, perutnya sama sekali tidak dapat diisi oleh makanan."Dek, kita berobat yuk!" ucap Prapto yang khawatir melihat keadaan istrinya dengan wajah pucat pasi."Ngak usah Mas, paling aku cuma masuk angin," ucap wanita berkulit sawo matang itu membalikan tubuhnya menunggungi Prapto yang sedang menyadarkan tubuhnya pada dipan ranjang."Adek yakin?"Prapto mengeryitkan dahi."He'um," sahut Indah lemah."Yo wes, Mas mau lihat rumah kita sebentar ya. Sudah lama rumah itu nggak Mas tengokin," pamit Prapto megusap lembut pundak Indah yang tak bergeming.____"Masa sih? Kamu dapat kabar darimana kalau si Tejo itu ngambil pesugihan," tanya seorang kuli yang sedang sibuk melepar kelapa ke atas truk kepada temann
Pria berkumis tebal itu terlih gusar. Aktivitas yang biasanya ramai di gudangnya kini terlihat sepi. Banyak kariawan Tejo yang memutuskan berhenti bekerja setelah menyebar rumor kematian Bambang sebagai tumbal pesugihannya.Namun, bukan itu yang membuat pikiran pria yang masih duduk di kursi putar yang berada di gudang itu terlihat terus berfikir Keras. Terlebih karena tumbal tertolaknya itu berimbas pada usahanya yang hampir bangkrut.Dua bulan sudah berlalu. Tidak ada sedikitpun pun laba yang menguntungkan yang Tejo dapatkan. Yang ada setiap kali ia mengirim kelapa atau memasok kelapa hasilnya selalu bikin pusing kepala. Mulai dari kwalitas kelapanya yang kurang bagus, ukuran kelapanya yang terlalu kecil atau bahkan banyak kelapa yang cepat busuk karena kelamaan. Kurangnya kwalitas dan kwantitas yang Tejo berikan kepada pelanggan membuat para tengkulaknya berlari mencari pemasok kelapa dengan produk yang lebih baik lagi."B-bos!" ucap pria itu me
Wajah wanita yang sedang berdiri di ambang pintu itu terlihat sumringah. Manatap para pekerja yang tengah sibuk menaikan kelapa di atas truk truk yang berjajar di gudang. Tempat yang kini telah dirubah menjadi ukuran jumbo dan luas. Jatuh bangun usaha Lastri kali ini pasti tetap menghasilkan uang dan uang. Seiring dengan kandungan Indah yang mulai membesar."Bu, kok senyum-senyum sendiri, sih?" tanya Indah yang meletakkan secangkir teh hangat di atas meja yang berada di teras rumah."Ibu lagi seneng, berkah rejeki jabang bayimu usaha ibu makin maju," seloroh wanita yang mengenakan daster dengan motif bunga-bunga penuh semangat."Loh, kok jabang bayi Indah sih, Bu?""Ya iyalah, anak kan membawa rejeki," sahut Lastri yang kini menjatuhkan bokongnya di kursi teras rumah dengan asal."Dek, mas mau berangkat dulu ya!" suara Prapto yang baru keluar dari dalam rumah."Hati-hati y
Kabar kejayaan Lastri akhirinya sampai juga di telinga Tejo. Bahkan berita kehamilan Indah pun sudah Tejo katahui, itulah penyebab pundi pundi kekayaan Lastri yang semakin menggunung.Hati Tejo kian memanas ketika tau kini Lastri mampu mengibarkan sayapnya ke kancah internasional. Sementara usaha kelapanya sendiri kian hari semakin terpuruk. Bahkan hampir bangkrut, hanya gara-gara ia salah memberikan tumbal.Tejo masih terus memutar otaknya, Mencari cara untuk mengembalikan kembali kejayaannya. Namun, siapa lagi yang akan menjadi tumbal pesugihannya selanjutnya. Karena semua orang disekelilingnya sudah menjauhinya.Pria yang sedang duduk di sofa ruang televisi itu terus memperhatikan gerak gerik Damar, putra semata wayangnya. Pemuda tampan itu dengan telaten menyuapi Wini yang sedang duduk di kursi roda. Bahkan pemuda itu terlihat tertawa renyah menghibur Wini yang berusaha keras membuat lekukan di sudut bibirnya yang suda