Wajah itu nampak tersenyum. Seperti sedang tertidur. Namun, takdir begitu kejam padanya. Sahabat dan adik yang dipercaya, justru menjadi musuh yang begitu menakutkan.
"Airmata buaya kamu tidak akan membuat Nindya kembali. Hapus airmata kamu. Setelah semua selesai, aku tunggu kamu di rumah!" bisik Pras yang menarik tangan adik sepupunya itu dengan kasar.Tangis Anggun dan Ghania pun mengiringi kepergian Nindya ke peristirahatan terakhirnya. Sebuah pemakaman mewah dipilih Anggun menjadi rumah terbaik bagi mantan madunya itu. Anggun berharap, saat dewasa nanti, Ghania nampak nyaman menjenguk wanita yang telah melahirkannya."Anggun, terimakasih, kamu sudah melakukan semua ini buat Nindya. Aku merasa malu karena ...." ucap Pras."Pras, yang lalu biarlah berlalu. Bagiku, Nindya orang baik. Dia sudah memberiku bidadari kecil ini. Harta yang paling berharga. Tugas kita sekarang menjaganya," jawab Anggun.Pras hanya mengLuthfi menghampiri Anggun dan Pras. Suami Anggun itu mencoba memberi semangat pada Pras yang kehilangan dua adik sepupunya di waktu yang berdekatan. Namun, entah mengapa Pras justru berbalik mencurigainya."Apa kamu dalang dibalik ini semua?" gertak Pras menarik krah kemeja berwarna coklat itu. Anggun mencoba merelai pertikaian dua pria itu."Kalian apa sih? Udah, berhenti!" bentak Anggun.Tidak lama, sebuah ambulance pun datang dan membawa tubuh Sara yang tertutup itu masuk ke dalam kantung berwarna orange itu dan memasukkannya ke dalam mobil. Mobil itupun meluncur pergi meninggalkan lokasi.Para warga pun mulai meninggalkan lokasi. Hanya ada Anggun bersama dua pria yang masih bersitegang tentang kematian Sara itu."Pras, kenapa kamu mencurigai Luthfi?" cecar Anggun.Anggun tidak ingin membela siapapun. Namun, ia juga tidak bisa percaya sepenuhnya pada pria yang sudah menikahinya itu. Trauma pengkhi
Anggun melihat kepanikan di wajah Luthfi. Kecurigaannya pun semakin bertambah saat Luthfi terbata menjawab pertanyaannya."A-aku tadi ada meeting di luar. Klien dari Jepang. Mr Tanaka. Kamu tahu kan?" dalih Luthfi mencoba menutupi kepanikannya."Mr Tanaka?" ucap Anggun. Luthfi pun hanya mengangguk.Anggun pun tidak memperpanjang masalah. Ia pun menyiapkan makanan untuk suaminya agar bisa segera beristirahat. Luthfi pun minta dibuatkan teh jahe hangat untuk menyegarkan tubuhnya."Aku tidur duluan ya sayang. Good night," ujar Anggun yang bergegas masuk ke dalam kamarnya. Luthfi pun menarik napas panjang merasa terbebas dari kecurigaan Anggun."Akhirnya ...." batin Anggun. Luthfi pun langsung menyusul istrinya itu ke dalam kamar setelah menghabiskan makanannya. Ketika Luthfi melihat sang istri yang sudah terlelap, ia pun mencium kening Anggun. Luthfi pun merebahkan tubuhny
Luthfi hanya bisa diam terpaku menatap kepergian Anggun dan yang lainnya. Pikirannya menjadi buntu. Entah apa yang harus dilakukannya besok ketika harus menghadapi Anggun, Pras juga Reno. Begitupun nasib Sara -- adik Nindya yang telah secara siri dinikahinya."Gawat! Apa yang harus kulakukan?" batin Luthfi. Pikiran pria itu akhirnya semakin kusut. Ia memutuskan pergi meninggalkan rumah kontrakan itu. Di tengah jalan, ia terus mencari akal agar masih bisa menyelamatkan wajahnya di depan Anggun. Terutama Pras dan Reno.-----Waktu semakin dekat pada waktu yang dijanjikan. Hari ini, ia harus menemui Anggun di kantornya. Bukan hanya sang istri yang menunggu penjelasannya, tetapi Pras dan Reno pasti ikut menghakiminya.Dengan langkah gontai, Luthfi akhirnya memasuki gedung pencakar langit itu. Perlahan tapi pasti ia memasuki ruangan sang direktur. Anggun Prameswari."Assalamualaikum." Luthfi pun mengucap salam. Wajah tegang Pras dan Reno mulai terlihat."Enggak usah basa-basi. Cepat mas
Anggun pun memutuskan pulang ke rumahnya ditemani oleh Pras dan Reno. Bersama Ghania, Anggun merasa mulai menemukan ketenangannya atas semua permasalahan rumah tangganya."Anggun, sebaiknya kamu istirahat aja. Ghania juga sepertinya udah ngantuk. Biar aku dan Reno malam ini jaga kamu. Aku takut, kalau nanti Luthfi dendam dan menyuruh orang untuk menyakiti kamu," ujar Pras dengan tenang. Reno pun setuju dengan keputusan sahabatnya itu.Paling tidak, malam ini ia tidak sendirian di rumah Anggun. Reno masih terlalu sungkan, karena Anggun adalah mantan istrinya."Ya sudah, aku ke kamar dulu ya. Kalau mau makan, kalian panggil mbak aja. Aku istirahat dulu," pamit Anggun. Ia pun langsung menaiki anak tangga menuju kamar Ghania yang terletak di lantai dua rumahnya.....Tengah malam, ketika semua penghuni rumah sudah tertidur, Anggun pun keluar dari kamarnya dan menuju ruang CCTV yang terletak di ruang kerjanya di lantai 2. Setelah menyalakan monitor, Anggun pun mulai menyimak apa yang ten
Panca pun menemani istri sahabatnya itu selama di rumah sakit. Serangkaian pemeriksaan dijalani hingga akhirnya pukul 09.00 pagi keesokan harinya jenazah Himawan dapat dibawa pulang untuk dimakamkan."Ca, biar aku yang urus semuanya ya. Kamu dan anak-anak sebaiknya pulang duluan aja. Nanti ada anak buahku yang urus segala keperluan di rumah," ucap Panca."Makasih ya, Mas. Aku nggak tahu lagi kalau nggak ada kamu, siapa yang akan membantuku," jawab Acha lirih."Enggak masalah, Ca. Mawan itu kan sahabat aku. Sudah seharusnya aku membantu kalian. Ya sudah, aku duluan ya. Assalamualaikum." Panca berpamitan, ia langsung menuju kamar jenazah dan mengurus semua keperluan untuk membawa jenazah sahabatnya itu.Acha sampai lebih dulu di rumahnya bersama ketiga anaknya. Betul saja, beberapa anak buah Panca telah menunggu di teras rumah. Setelah pintu utama terbuka, mereka pun bergegas menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan jenazah tuan rumah.Setelah hampir satu jam, semuanya pun
Suara tangisan itu kembali terdengar di sepanjang sudut rumah Himawan. Suara jerit ketiga anaknya hingga tangisan kepedihan keluarga Natasha dan Himawan. Sungguh, tidak pernah terbayangkan jika setelah ujian kehilangan seorang anak, kini ujian kembali datang saat sang menantu menjadi tertuduh atas kematian putra kesayangan."Panca, gimana ini?" tanya Bu Henny, ibu Himawan. Wajah seorang ibu berusia 55 tahun itu menggambarkan kelelahan .Bingung, cemas dan tidak tahu harus berbuat apa. Anak lelaki satu-satunya ditemukan meninggal dengan cara mengenaskan dan kini menantunya tertuduh sebagai pelaku pembunuhan itu."Bu, ibu istirahat saja ya. Biar ini Panca dan Sintia yang urus. Panca juga tidak yakin kalau Acha tega melakukan semua ini. Kita tetap harus berpikir positif," ujar Panca yang mencoba menenangkan hati ibu yang begitu terluka kehilangan seorang anak."Mas, aku sebaiknya di sini aja ya. Kasihan ibu dan anak-anak nggak ada yang menemani. Kamu sendiri ke kantor polisi nggak apa-ap
Tidak terbersit dibenak Acha untuk melenyapkan nyawa suami dan sahabatnya. Apalagi dengan cara yang tergolong sadis. Tapi rasa sakit hati dan dendamnya membuat Acha gelap mata. "Apa yang pertama kali anda lakukan?" tanya Rifat. "Saya meminta suami saya berhenti di jalan Ardipura. Tepat di depan taman Angkasa. Dan .... ""Selanjutnya?"Wajah Acha kembali tertunduk. Tubuh mungilnya bergetar, ada banyak luka yang masih ia coba sembunyikan. Beberapa saat ia pun kembali menangis. Terisak dan seketika ia tertawa. "Mbak Acha, kamu baik-baik saja?" tanya Rifat. Ia mulai khawatir dengan mental terduga pelaku kasus yang sedang ditanganinya itu."Mbak Acha, bisa kita lanjutkan?"Hening ....Pandangan mata itu kembali nanar. Diam dan akhirnya ia mulai bercerita kembali setiap detik waktu yang ia habiskan malam itu."Aku meminta Mas Mawan berhenti. Saat itu juga banyak pedagang berjualan di depan pintu masuk taman. Aku meminta suamiku membeli beberapa cemilan dan minuman. Saat dia pergi, aku l
Acara pemakaman Cindy pun sudah usai. Berita itu begitu cepat tersebar. Keluarga pun mendapatkan cibiran dari teman, tetangga dan semua yang mengenalnya. Tidak ada satupun kata dukungan, justru hinaan yang diterima keluarga Acha."Ini memalukan. Cindy telah merusak semuanya. Dasar perempuan terkutuk!" Caci maki itu akhirnya keluar dari adik beradik Cindy, termasuk ibu Acha.Namun, anak-anak Cindy yang mulai beranjak dewasa pun tidak terima mendengar hinaan dan sumpah serapah itu. Begitupun suami Cindy yang telah dikhianati, ia tetap pasang badan membela almarhumah istrinya."Mbak, cukuplah. Hentikan semua ini. Bagaimanapun Cindy itu adiknya mbak. Ini juga bukan sepenuhnya kesalahan Cindy. Himawan juga salah. Menantu mbak juga laki-laki terkutuk!" balas Harris, suami Cindy."Harris, Harris, kamu masih membela istri laknat begitu? Di mana harga diri kamu???" tutur ibu Acha sinis."Mbak, saya mungkin laki-laki bodoh. Tidak punya harga diri atau apalah terserah kalian. Tapi dia istri saya