Hehm... Ini bab pertama hari ini! TErima kasih sudah sangat bersabar menunggu kelanjutannya! Sayang kalian semuanya!
Melihat wanita itu datang dengan penuh amarah Zayden berusaha untuk tenang menghadapinya. Dia harus menahan diri untuk tidak bertindak sama, walaupun dia sejujurnya sudah kesal dengan keluarga tantenya ini.“Bicaralah dengan tenang Tante Vivian,” ucap Zayden dengan suara datar sambil beranjak dari kursi kerjanya.“Tenang kamu bilang?! Kamu sudah menghancurkan keluargaku Zayden!!! Kamu sudah membuat Austin dan Kevin harus berurusan dengan pihak berwajib secara nyaris bersamaan!” teriaknya makin kencang.Arsel masih berusaha untuk berjaga-jaga kalau sampai wanita ini bertindak nekat.Zayden perlahan berjalan mendekat.“Dengar Zayden! Hentikan semua yang kamu lakukan! Atau … aku akan berbuat lebih nekat!” ancamnya dengan menunjuk Zayden tepat di depan mukanya.Arsel terkejut dia berusaha mendekat, hanya saja Zayden memberikan isyarat untuk tidak perlu melakukan hal itu.“Kamu yang membuat perpecahan ini terjadi Zayden!” teriaknya lagi dengan lebih nyaring dari sebelumnya, seolah sedang m
Satu bulan berlalu. Waktu berjalan dengan segala drama yang melelahkan untuk Alisha. Banyak hal yang harus dihadapinya, satu per satu datang tanpa jeda. Di tengah semua itu, kondisi Nariza masih dalam pemantauan ketat. Keadaannya cukup stabil, meski belum menunjukkan perubahan berarti. Namun, Alisha tetap menggantungkan harapan pada sebuah keajaiban — sekecil apa pun itu.Di sisi lain, perlahan-lahan kasus di Grup W mulai terbongkar. Satu per satu kebenaran terungkap ke permukaan. Beberapa anggota keluarga inti yang terlibat tak lagi bisa berkelit. Tak ada pembelaan yang diberikan.Henry dan Helena, dengan tegas mengambil keputusan. Keduanya sepakat untuk bersikap adil. Mereka memutuskan menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran berharga bagi keluarga Wicaksana, tanpa pandang bulu siapa pun yang terlibat.“Tania sedang menggugat cerai suaminya, hari ini sidang terakhir,” lapor Arsel pada Zayden.Zayden hanya mengangguk pelan. Sejujurnya, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia tetap m
Alisha dan Zayden langsung menuju rumah sakit saat mendengar kabar yang mengejutkan dari pengawal pribadi yang bertugas di sana. Mereka mengatakan kalau menemukan Nariza pingsan di lantai di ruang keluarga.Perasaan khawatir, cemas dan takut terlihat jelas di wajah Alisha, beberapa kali terlihat dia menggigit kuku jempolnya dan kakinya tak berhenti bergerak naik turun. Entah kenapa perasaannya menjadi mendadak tidak tenang.“Apa ini ada kaitannya dengan pertemuannya dengan Kevin tadi?” tanya Alisha pada dirinya sendiri dengan cara bergumam.Walaupun mendengar gumaman istrinya, Zayden tidak ingin menanggapi, dia hanya diam menggenggam tangan Alisha agar dia bisa tetap tenang. Dia paham kalau saat ini Alisha hanya mengeluarkan kegelisahannya saja dan itu tidak perlu diberikan reaksi apapun.“Ay, apa Iza akan baik-baik saja?” Alisha berkata dengan suara bergetar.Bukan sekali atau dua kali dia sudah bertanya hal yang sama, dari sini bisa disimpulkan kalau Alisha benar-benar hanya ingin d
Setelah kejadian itu, Nariza tidak ikut untuk pergi bersama dengan Zayden dan Alisha. Dia kembali ke apartemen.“Iza, nanti kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi kakak saja, ya!” Alisha berkata pada Nariza yang saat itu terlihat sangat lemah sekali. Dia juga merasakan kalau sepertinya tubuh adiknya ini belakangan terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya.“Iya, Kak. Kakak pergi saja aku tidak apa-apa. Kak Zayden juga sudah menempatkan pengawal di sini. Jadi, kakak tidak perlu cemas.” Nariza berkata dengan senyuman di wajahnya.Alisha mendesah berat.“Sudah, tidak usah khawatir, Kakak pergi saja, toh dia juga mengatakan kalau dia ingin bertanggung jawab, kan? Kita lihat saja apa dia sungguh-sungguh mengatakan hal itu padaku.” Saat mengatakan hal itu, entah kenapa perasaan Nariza menjadi sedikit diremas–sakit. Nariza harus tetap meneruskan tuntutan ini, karena dia tidak ingin perjuangan Alisha menjadi sia-sia dan mengecewakan wanita yang selama ini menjadi sandaran hidupnya.Setelah b
Alisha dan Zayden saling pandang. Zayden langsung refleks berdiri di depan Alisha dan Nariza. Melindungi.“Ada apa kamu ke sini?” tanya Zayden, tajam. Dia tidak peduli kalau itu adalah sepupunya sendiri, karena pemuda yang ada di depannya ini sangat tidak bermoral dan merusak citra keluarga Wicaksana.Kevin melangkah pelan, matanya hanya tertuju pada Nariza. Ekspresinya rumit.“Aku … mau bicara. Berdua saja.” Dia berkata dengan suara lemah. Nariza menelan ludah, tubuhnya makin lemas. Sejujurnya dia masih tidak siap bagaimana cara bersikap seandainya dia bertemu lagi dengan Kevin.“Kak Zayden, aku ingin bicara dengannya.” Kalimat permohonan itu terdengar cukup menyayat, matanya terlihat putus asa dan tidak ada harapan sama sekali.Mata Zayden nampak berkilat. Sementara Alisha langsung berkata dengan ketus, “Nariza, kamu nggak perlu bicara dengannya.”“Kak aku mohon, aku ingin bicara dengan Nariza.” Kevin berkata pada Zayden dengan suara pilu, pemuda itu benar-benar terlihat kehilangan
Setelah kejadian itu, tidak berselang lama, kediaman Zayden menjadi sepi kembali. Tania sudah diantar pulang oleh Arsel dan juga sopir Zayden. Yumi dijemput oleh Alvin, sementara Nariza sudah istirahat di kamarnya.Kini tinggal Alisha dan Zayden. Tanpa banyak bicara, keduanya berjalan menuju kamar.Langkah mereka pelan. Berat. Masih ada sisa ketegangan di udara.Pintu kamar tertutup perlahan. Alisha duduk di tepi ranjang. Zayden melepas jasnya, meletakkannya di sandaran sofa. Dia berdiri mematung sejenak, menghela napas panjang.Sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar samar.“Hari yang panjang .…” Suara Zayden pelan, nyaris seperti bisikan.Alisha mengangguk. Tatapannya menatap lurus ke depan dengan menghela napas berat. “Aku tidak menyangka Tania akan sampai seperti itu.” Zayden berjalan pelan, lalu duduk di samping Alisha. “Maaf, Sha. Harusnya sejak lama aku memberikannya peringatan.”Mendengar hal itu dari suaminya Alisha langsung melihat ke arah Zayden dengan senyum singkat. “