MasukDi sebuah kampus yang kelihatannya biasa aja, delapan mahasiswa dengan karakter yang saling bertolak belakang nggak pernah nyangka kalau pertemuan mereka bakal jadi titik balik hidup masing-masing. Aurelya, cewek yang terkenal galak dan susah didekati, cuma kelihatan kuat di luar. Raksa, cowok pendiam yang kelihatannya dingin, diam-diam punya cara sendiri bikin orang terpanggil ke arahnya. Mereka selalu bentrok, tapi setiap benturan justru bikin mereka makin sulit menjauh. Di sekitar mereka, ada teman-teman lain yang perlahan masuk ke pusaran cerita: Nayara yang misterius tapi punya hati paling lembut. Satya yang tenang dan selalu bisa baca suasana. Arya yang populer tapi rapuh tanpa ada yang tahu. Shafira yang sederhana dan jadi perekat kelompok. Keira dan Dewa yang ribut tiap hari tapi kalau jauh justru saling nyari. Vanya dan Elvano yang deketnya dimulai dari obrolan receh dan saling goda. Awalnya semua cuma terasa sebagai pertemanan ringan: kelas, tugas, nongkrong, saling ngeledek, dan konflik kecil khas anak kampus. Tapi makin lama, batas antara teman dan “lebih dari teman” mulai kabur. Perasaan pelan-pelan tumbuh, diam-diam, tanpa ada yang berani ngaku duluan. Sampai akhirnya masa lalu masing-masing kebuka sedikit demi sedikit— luka keluarga, trauma yang mereka tutup rapat, kegagalan, kehilangan… Semua itu bikin kelompok ini nyaris pecah karena salah paham dan ego. Beberapa hubungan mulai bersemi, beberapa hampir kandas. Ada yang saling suka tapi gengsi. Ada yang saling sayang tapi saling menjauh. Ada yang saling butuh tapi belum berani mengaku. Dan saat krisis terbesar datang— kehilangan, gosip, hancurnya kepercayaan, hilangnya seseorang dari lingkaran— mereka sadar satu hal: Cinta dan persahabatan nggak pernah tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang mau tetap tinggal ketika semuanya runtuh. Perlahan… mereka belajar tumbuh. Buka luka yang selama ini ditutup. Belajar jatuh cinta dengan cara yang lebih dewasa. Dan berdamai dengan masa lalu masing-masing.
Lihat lebih banyakMatahari siang menyorot hangat di halaman kampus. Mahasiswa baru masih sibuk mondar-mandir mencari ruangan, ada yang gugup, ada yang sok cuek.
Aurelya Pramesthi berjalan cepat dengan wajah serius, blazer hitam tipis membalut kemeja putihnya. Dari jauh, orang bisa langsung menilai: galak. Tatapannya tajam, langkahnya tegas. Padahal dalam hati, ia masih bingung sama jadwal kelas yang baru ia terima. “Hey, hati-hati jalan, woy!” teriak seorang cowok tinggi yang hampir ketabrak Aurelya. Raksa Adityan. Dingin, misterius, dan entah kenapa, aura pelindungnya langsung bikin orang lain waspada. Aurelya mendengus. “Lu yang nggak lihat jalan.” Raksa hanya menaikkan sebelah alis, tidak menjawab. Diamnya justru bikin Aurelya makin kesal. Di sisi lain, Shafira Arunika sibuk melambaikan tangan ke dua temannya, Vanya Lakshita dan Nayara Anindhita. “Eh, sini! Gue udah dapet info lokasi kelas!” seru Shafira dengan senyum hangat. Vanya datang dengan langkah kalem, sambil menenteng diary kecil di tangannya. Wajahnya teduh, seperti gadis yang baru keluar dari film indie. Sedangkan Nayara, feminim dengan aura misterius, hanya tersenyum tipis, lalu menunduk sambil merapikan rambut panjangnya. Tak jauh dari mereka, Arya Dirgantara—cowok populer yang wajahnya sering jadi bahan gosip di grup mahasiswa baru—bercanda dengan Elvano Jatmika yang jenaka. Sementara itu, Dewa Pradipta terlihat duduk sendirian di bangku taman, wajahnya seperti menantang siapa pun yang berani mendekat. Satya Narendra, cowok kalem berkacamata, datang paling akhir. Tangannya membawa buku filsafat, langkahnya santai tapi pasti. Seolah semesta sengaja mempertemukan, nama mereka dipanggil di pengeras suara: “Mahasiswa baru, kelas Komunikasi A, harap berkumpul di Aula Utama.” Mata mereka saling bertemu, sekilas, lalu berpaling lagi. Tak ada yang tahu, dari pertemuan pertama yang biasa itu, akan lahir ratusan kisah penuh tawa, luka, dan rahasia. Dan hari itu, Bab pertama dimulai. Vanya melangkah pelan menuju aula, diary kecil masih digenggam erat di tangannya. Ia sempat berhenti sejenak di depan papan pengumuman, membaca jadwal yang tertempel rapi. Tiba-tiba ada suara ringan di sampingnya. “Lo juga bingung sama jadwal yang kayak candi prambanan ini?” Vanya menoleh, menemukan seorang cowok berambut sedikit berantakan dengan senyum lebar—Elvano Jatmika. Ia terkekeh kecil. “Candi prambanan?” “Iya,” Elvano mengangguk sok serius. “Rumit, penuh misteri, dan kalau salah baca bisa nyasar. Sama aja kayak gue pas nyari kelas barusan, nyampe-nyampe malah ke parkiran motor.” Vanya menahan tawa. “Berarti bukan jadwalnya yang ribet, tapi lo yang nggak bisa baca.” “Ouch, kena mental gue,” Elvano pura-pura meletakkan tangan di dadanya, ekspresi lebay. Vanya tersenyum tipis. Ia jarang berbicara banyak dengan orang baru, tapi entah kenapa Elvano punya cara bikin suasana ringan. “Lo… Vanya, kan?” “Tau dari mana?” “Shafira nyebut nama lo tadi. Gue Elvano. Lo bisa manggil gue Van juga… biar lebih hemat vokal.” Vanya terkekeh lagi, kali ini tulus. “Nama lo aja udah singkat, masih mau dihemat.” “Kan hidup mahasiswa baru harus hemat segalanya, termasuk huruf.” Elvano mengedip nakal. Mereka berjalan beriringan menuju aula. Vanya membuka diary kecilnya, menuliskan sesuatu singkat sambil berjalan. “Elah, masih sempet nulis diary? Jangan-jangan lo lagi catet jokes gue ya?” “Enggak,” jawab Vanya datar tapi matanya berkilat geli. “Kalau catet jokes lo, bukunya bisa penuh dalam sehari.” “Wih, berarti gue berbakat jadi stand-up comedy kampus nih.” “Lebih cocok jadi badut ospek.” Elvano tertawa keras, dan tanpa sadar suara tawanya bikin beberapa mahasiswa lain menoleh. Vanya sedikit salah tingkah, tapi diam-diam merasa… hangat. Pertemuan sederhana itu, tanpa mereka sadari, akan jadi awal dari ikatan yang jauh lebih dalam. Sesampainya di aula, ruangan sudah mulai dipenuhi mahasiswa baru. Bangku panjang berjejer rapi, sebagian besar sudah terisi. Vanya melangkah ragu, matanya mencari tempat kosong. “Eh, situ kosong tuh,” Elvano menunjuk deretan kursi di dekat jendela. Vanya hanya mengangguk, lalu berjalan mendahului. Ia duduk dengan hati-hati, meletakkan diary kecil di pangkuannya. Elvano ikut duduk di sampingnya, tanpa basa-basi. Beberapa menit mereka diam, sampai Elvano membuka suara lagi. “Lo suka nulis, ya?” Vanya menoleh singkat, agak kaget. “Hm? Kok tau?” “Diary itu kayaknya nggak pernah lepas dari tangan lo. Dari tadi lo pegang mulu, bahkan pas jalan. Pasti penting banget buat lo.” Vanya menunduk, jemarinya mengusap sampul diary berwarna cokelat muda. “Iya… cuma kebiasaan aja. Gue suka nyatet hal-hal kecil. Kadang cuma satu kalimat, kadang satu halaman.” Elvano mengangguk sambil bersandar di kursi. “Berarti lo tipe pengamat. Gue suka orang yang detail.” “Kenapa?” “Soalnya gue kebalikannya. Gue lebih sering asal. Nggak pernah terlalu mikirin detail, yang penting seru aja jalanin.” Vanya tersenyum samar. “Makanya lo nyasar ke parkiran.” Elvano tertawa pelan, menunduk. “Touché. Tapi ya gitu deh, kalau ada orang kayak lo, mungkin bisa bikin hidup gue lebih… tertata.” Kata-kata itu membuat Vanya sedikit salah tingkah. Ia menoleh ke jendela, menatap pepohonan yang bergoyang pelan diterpa angin. Dalam hati, ia merasa aneh—baru kenal, tapi cowok ini bicara seolah mereka sudah saling mengenal lama. Tak lama kemudian, Elvano menyikut pelan lengannya. “Eh, coba bayangin. Kalau gue stand-up di depan mahasiswa baru sekarang, kira-kira lo bakal catet punchline gue nggak?” “Kalau lucu, mungkin.” “Kalau garing?” “Gue tulis juga. Buat bukti ke anak cucu nanti kalau ada manusia yang gagal bikin orang ketawa.” Elvano terbahak, kepalanya menunduk sampai hampir menyentuh meja. Suaranya mengundang tawa kecil dari bangku sekitar, tapi Vanya tetap tenang, hanya menutup wajah dengan tangan seolah menahan malu. Di balik semua itu, ada satu hal yang sama-sama mereka rasakan yaitu kehadiran satu sama lain ternyata lebih menyenangkan daripada yang mereka duga. Hari itu mungkin terlihat biasa. Namun bagi mereka, justru di situlah awal dari sesuatu yang diam-diam tumbuh, perlahan tapi pasti. Acara perkenalan di aula berjalan cukup lama—sambutan, pengumuman, bahkan sesi perkenalan antar mahasiswa baru. Begitu selesai, para mahasiswa buru-buru keluar, sebagian mencari udara segar, sebagian lagi langsung menuju kantin kampus yang katanya baru direnovasi. Vanya masih duduk sebentar, menutup diary kecilnya, saat Elvano berdiri sambil meraih tas. “Laper nggak?” tanyanya tiba-tiba. Vanya menoleh, sedikit bingung. “Hm?” “Kantin. Gue denger katanya menunya variatif banget, ada mie ayam, nasi goreng, sampe tahu bulat yang digoreng dadakan.” Elvano meliriknya dengan ekspresi sok serius. “Gimana? Mau temenin gue survey kuliner kampus?” Vanya menahan senyum, pura-pura berpikir. “Survey kuliner?” “Iya. Penting buat kelangsungan hidup mahasiswa. Lo mau bertahan kuliah empat tahun, kan?” “Aku sih nggak niat mati kelaparan.” “Berarti ayo, sekalian kita riset,” kata Elvano sambil menunjuk pintu keluar. Mau tak mau, Vanya ikut berdiri. Mereka berjalan keluar aula, menyusuri koridor yang ramai dengan mahasiswa baru. Dalam perjalanan, obrolan kecil pun muncul. “Elvano,” ucap Vanya pelan, “lo emang suka bercanda gitu, ya?” “Kenapa?” “Kayak… semua hal bisa jadi bahan ketawa buat lo.” Elvano mengangkat bahu. “Ya biar hidup nggak kaku-kaku amat. Lagian, kalau orang lain bisa senyum gara-gara gue, rasanya lumayan lah. Anggep aja gue badut kampus versi limited edition.” Vanya menghela napas pendek, tapi bibirnya melengkung tipis. “Limited edition biasanya mahal.” “Nah, itu dia. Jadi lo beruntung bisa temenan sama gue lebih awal.” Vanya terkekeh kecil. Hatinya terasa hangat. Obrolan receh ini anehnya nyaman, tidak membuatnya lelah. Begitu sampai di kantin, aroma masakan langsung menyambut. Suara panci beradu, teriakan penjual menawarkan menu, dan mahasiswa yang antre menambah riuh suasana. Elvano langsung melirik ke kanan-kiri, matanya berbinar. “Gila, gue berasa lagi masuk festival kuliner. Lo mau makan apa?” Vanya membuka dompet, menimbang. “Kayaknya nasi goreng deh.” “Elah, standar banget. Gue kira lo bakal pilih menu yang aesthetic kayak salad buah.” "Aesthetic nggak bikin kenyang.” “Elah, pinter juga jawaban lo,” Elvano ngakak sambil menunjuk antrean mie ayam. “Oke, gue ke mie ayam. Kita ketemuan di meja tengah, ya.” Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk berhadapan, masing-masing dengan nampan. Vanya dengan nasi goreng sederhana, Elvano dengan mie ayam plus es teh jumbo. “Lo asal tau aja,” Elvano membuka obrolan sambil mengaduk mie ayamnya, “kalau suatu saat gue sukses jadi influencer makanan, lo harus jadi saksi pertama kali gue review mie ayam kampus.” Vanya mengunyah pelan, lalu menatapnya dengan mata tenang. “Kalau lo sukses, gue catet di diary.” “Elah, lo yakin? Jangan-jangan diary lo nanti isinya cuma daftar kegagalan gue.” “Bisa jadi,” Vanya tersenyum tipis. “Tapi mungkin itu yang bikin lucu.” Elvano terdiam sebentar, menatap Vanya yang masih kalem. Senyumnya bukan senyum lebar seperti biasanya, tapi ada ketulusan yang bikin suasana terasa beda. Makan siang sederhana itu, tanpa mereka sadari, jadi awal dari kebiasaan kecil yang nantinya sering terulang—obrolan santai, tawa ringan, dan rasa nyaman yang pelan-pelan tumbuh. Saat mereka keluar dari kantin, angin sore menerpa pelan, membawa aroma pohon kampus yang rimbun. Vanya merapatkan tasnya, sementara Elvano berjalan dengan langkah santai, tangannya dimasukkan ke saku celana. “Lo tau nggak,” ucap Elvano tiba-tiba, “gue nggak nyangka hari pertama kuliah bisa seseru ini.” Vanya meliriknya sekilas. “Seru gara-gara makanan?” Elvano tersenyum kecil, menoleh ke arah Vanya. “Nggak. Gara-gara ada yang nemenin.” Vanya terdiam sejenak, lalu menunduk, pura-pura memperhatikan diary di tangannya. Pipinya terasa hangat, meski ia berusaha terlihat biasa saja. Hari itu mungkin hanya hari pertama, langkah awal di dunia kampus yang penuh cerita. Tapi baik Vanya maupun Elvano sama-sama merasakan satu hal—ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat mereka menunggu esok dengan sedikit lebih bersemangat. Dan di situlah, kisah panjang mereka benar-benar dimulai.Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur. Aurelya membuka mata sekali lagi, menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa pelan tapi pasti… jalan ke suatu arah. Arah yang dia sendiri belum siap tapi juga… nggak bisa nolak. Dada hangat. Pipi panas. Senyum kecil muncul lagi, mau ditahan sekuat apa pun tetap bocor. Dan sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap, satu pikiran terakhir datang: “Mungkin besok… gue bakal lebih nunggu dari hari ini.” Pagi datang lebih cepat dari yang dia kira. Aurelya kebangun bukan karena alarm—tapi karena jantungnya yang berdetak kayak lagi latihan sprint. Dia bahkan sempat bengong beberapa detik sebelum sadar: dia bangun dengan perasaan… beda. Entah kenapa, matahari pagi yang nyelip dari celah gorden keliatan lebih ramah dari biasanya. Udara kamar, walaupun dingin, nggak terasa nyebelin. Bahkan suara Shafira yang masih tidur pulas pun terdengar lucu. Aneh. Semua yang biasanya biasa-biasa aja, sekarang kayak punya kualitas “lebih”.
Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk. Sampai akhirnya… “REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.” Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama. Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu. “Selamat istirahat, Rel.” Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.” Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.” Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!” “Rel… pipi lo merah.” “Karena gue kesel sama lo!” “Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?” “FIR.” Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua. Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru p
Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.Raksa lewat
Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa. "Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya. Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan. Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal. Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip. "Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar. Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan