LOGINHanna Alexander, terpaksa menikah akibat kecelakaan yang membuat dirinya hamil. Namun, pernikahan hanya berjalan sampai anak mereka lahir. Keduanya bercerai, meninggalkan bayi kecil bersama Evan—Julion. Hingga, 10 tahun kemudian hal tak terduga terjadi. Dimana, Hanna harus kembali terlibat dengan Evan dan menjadi ibu susu bagi putra kecil pria itu. “Aku bukan ibu yang baik, tapi aku ingin putriku tahu bahwa aku adalah ibunya!”~Hanna Alexander “Tidak, cuma mama Naura ibunya Maira.”~Maira Gavaputri
View MoreSaat kontraksi semakin kuat, Hanna menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit. Evan yang melihatnya segera bertindak, dengan cepat membantu Hanna masuk ke dalam taksi dan membawakannya ke rumah sakit.
Akhirnya, mereka tiba di rumah sakit, dan Evan segera meminta bantuan perawat untuk membawa Hanna ke ruang bersalin. Dengan sigap, perawat membawa Hanna ke ruang bersalin, sementara Evan mengurus proses administrasi dan pembayaran. Beberapa saat kemudian, Evan bergabung dengan Hanna di ruang bersalin, memegang tangannya erat-erat sambil memberikan semangat. "Aku ada di sini, Hanna. Aku tidak akan pergi," katanya dengan suara yang lembut. Hanna hanya bisa tersenyum lemah, sambil menggenggam tangan Evan semakin erat. Saat itu, suara dokter yang memimpin persalinan terdengar, "Bayi sudah terlihat! Ayo, ibu, dorong!" Dengan satu dorongan terakhir, bayi mereka pun lahir ke dunia. Saat sang bayi pertama kali melihat dunia, tangisan kecilnya memenuhi ruangan. Evan yang penuh kebahagiaan segera memeluk putrinya yang baru lahir, merasakan getaran bahagia yang tak terkatakan. Ia memandangi wajah mungil yang manis itu, dan rasa syukur memenuhi hatinya. "Selamat datang, putri kecilku," bisikannya dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut halus putrinya. Evan memandangi putrinya dengan mata yang berbinar, merasakan ikatan yang kuat antara ayah dan anak. Ia membawakan putrinya ke dekat Hanna, berharap dapat berbagi momen bahagia ini bersamanya. "Hanna, lihat ... bayi kita," katanya dengan nada lembut, berharap Hanna dapat merasakan kebahagiaan yang sama. Namun, Hanna hanya membuang pandangannya, tidak menatap putrinya yang baru lahir. Evan tersenyum getir, mencoba menyembunyikan kekecewaannya, dan semakin mendekap putrinya erat-erat. Sehingga tangisan bayi itu semakin keras, seolah-olah ia merasakan suasana di ruangan. Evan mencoba menenangkannya, membelai punggung mungilnya dengan lembut. "Sst, sayang, jangan menangis," bisikannya, sambil memandang Hanna dengan harapan bahwa ia akan berubah pikiran. Namun, Hanna tetap tidak menoleh, dan Evan dapat merasakan kesedihan yang mendalam di dalam hatinya. Ia memandang putrinya yang masih menangis, dan rasa sayang yang mendalam membuatnya semakin ingin melindungi dan merawatnya. Dengan lembut, Evan membawakan putrinya ke dekat dadanya, berharap dapat menenangkannya. "Aku ada di sini, sayang. Aku akan selalu ada untukmu," bisikannya, sambil membelai rambut halus putrinya. Lambat laun, tangisan bayi itu mulai mereda, digantikan oleh suara napas yang teratur dan desahan lembut. Evan tersenyum, merasa lega bahwa putrinya telah tenang, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan. "Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang," katanya dengan suara yang lembut, namun terdengar pasti. Hanna tidak menanggapi, tatapan kosongnya tetap terfokus pada satu titik di depannya, seolah tidak ada yang berubah. Evan memahami bahwa Hanna tidak ingin berbicara, dan ia tidak ingin memaksanya. Setelah dokter memberikan izin pulang, Evan segera meminta bantuan perawat untuk membantu Hanna berpakaian dan bersiap-siap, sementara ia sendiri sibuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Tak lama kemudian, Evan memesan taksi untuk mengantar Hanna kembali ke kediaman Alexander. Hanna yang masih terdiam tidak memberikan respons apa pun, namun Evan tidak terlalu memperhatikannya. Ia lebih fokus pada putrinya yang sedang diayomi oleh perawat. Saat taksi tiba, Evan membantu Hanna masuk ke dalam mobil, sementara perawat menyerahkan putrinya yang telah dibungkus rapi ke dalam pelukan Evan. Dengan langkah tenang, Evan masuk ke dalam taksi, memposisikan diri di sebelah Hanna. Di dalam taksi, suasana terasa sunyi, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Hanna memandang ke luar jendela, sementara Evan memandang putrinya dengan penuh kasih sayang. Taksi berhenti di depan kediaman Alexander yang megah, dengan taman yang terawat dan arsitektur yang elegan. Hanna yang selama perjalanan terdiam, tiba-tiba bergerak untuk membuka pintu mobil. Namun, tepat sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, suara Evan menghentikannya. "Apakah kamu tidak ingin melihat sekali saja putri kita?" tanyanya dengan suara yang lembut namun penuh harapan. Hanna tubuhnya menegang, tangan yang akan membuka pintu mobil terhenti di udara. Ia tidak menoleh ke arah Evan, namun Evan dapat merasakan ketegangan di tubuhnya. Evan memandang putrinya yang masih tidur di pelukannya, dan rasa sayang yang mendalam membuatnya ingin berbagi momen ini dengan Hanna. "Aku tidak masalah jika kamu tidak mau memberinya ASI, tapi bisakah kamu melihat wajahnya sekali saja sebelum kita berpisah?" tambahnya, dengan suara yang semakin lembut. “Surat cerai, akan diurus oleh keluargaku.” Setelah mengatakan itu, Hanna hendak turun dari taksi, namun suara Evan kembali terdengar, membuat tubuhnya menegang lebih lagi. "Anak ini adalah milikku. Suatu saat, kamu tak berhak mengambilinya dariku, Hanna. Walaupun kamu ibu kandungnya, tapi kamu sudah kehilangan hak atasnya," ucap Evan dengan suara yang tegas dan pasti. Hanna tidak mengatakan apapun, dengan hati-hati, ia turun dari taksi, berusaha menghindari gerakan yang dapat memperparah rasa sakit di tubuhnya. Proses melahirkan secara normal memang membuat pemulihannya lebih cepat, namun rasa sakit dan ketidaknyamanan masih terasa. Ia melangkah pelan-pelan menuju pintu rumah, berusaha tidak terlalu memikirkan tentang Evan dan putri mereka yang masih berada di dalam taksi. Evan menyaksikan kepergian Hanna dengan perasaan yang campur aduk, antara kesedihan dan kelegaan. Ia memandang putrinya yang masih tidur di pelukannya, dan rasa sayang yang mendalam membuatnya tersenyum lembut. "Papa akan selalu ada untukmu, sayang," bisikannya, sambil membelai rambut halus putrinya. Saat Hanna memasuki rumah, seorang pembantu yang sedang berada di ruang tamu langsung terkejut melihatnya. "Non Hanna!" serunya dengan nada terkejut, sambil bergegas mendekati Hanna, pembantu itu segera memanggil kedua orang tua Hanna. “Pak, Bu! Non Hanna sudah pulang!" Suaranya menggema di seluruh rumah, membuat kedua orang tua Hanna yang sedang berada di ruang lain bergegas keluar untuk melihat kedatangan anak mereka.Beberapa hari kemudian … Evan baru saja sampai di rumahnya, setelah beberapa hari sibuk dengan pekerjaan, ia melihat suasana rumah terasa sunyi, seperti ada kesunyian yang menyelimuti seluruh ruangan. Wajar saja, sudah lewat jam sepuluh malam, membuat rumah terasa lebih hening daripada biasanya. Hanya ada satpam yang berjaga, sementara yang lain sudah masuk ke kamar masing-masing. Perlahan, Evan melangkah menuju pintu kamar putranya, seperti ada keinginan untuk memastikan keadaan anaknya sebelum beristirahat sendiri. Tangannya terangkat, menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang tidur, membelakanginya. Putranya sudah tidur pulas, napas mereka terdengar teratur. Perlahan, Evan mendekat, matanya tak lepas dari sosok Hanna yang tertidur membelakangi tubuhnya sehingga wajahnya tertutup. Jantung Evan berdegup kencang, seperti ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan, saat dia melihat sosok yang membuatnya terkejut. Hanna memang m
Tebakan Dian benar. Raihan sudah terbangun. Tapi bayi itu tidak menangis. Ia tampak tenang karena sang kakak memeluk perut adiknya, entah sejak kapan Maira datang ke kamar itu. “Pintar enggak nangis, ya? Mau minta Nen, iya?” Hanna berceloteh sambil mengangkat Raihan dalam gendongannya. “Oaaa …. “ Raihan sudah tak sabar saat Hanna membuka kancing bajunya. Bayi itu haus dan ingin segera menyusu. “Pelan-pelan, nanti tersedak,” lirih Hanna lembut, sambil membimbing Raihan pada sumber air susunya. Saat semuanya terasa hening dan damai, sebuah suara terdengar dari pintu kamar. “Apa anak saya sudah bangun?” Degh! Hanna semakin mendekap Raihan dengan erat, detak jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin dan gemetar saat mendengar suara Evan di belakangnya. Karena dekapan itu semakin erat, Raihan pun merasa tak nyaman dan mulai menangis. Buru-buru Hanna kembali menenangkannya dan memberikan kembali sumber nutrisinya di bibir bayi itu. Evan terlihat penasaran, tapi dia ta
“Maira? Kamu ngapain disini?” Anak itu melongo, “Maira, mau lihat adek, Nek.” Almaira Gavaputri, putri yang sempat Hanna tinggalkan, kini berdiri di hadapannya dengan mata. Bayi mungil yang dulu bahkan tak ingin ia lihat kini telah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dan ceria. Rasa sesak menghimpit dadanya, penyesalan melingkupi dirinya begitu erat, hingga terasa sulit untuk bernapas. Hanna merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan penyesalan, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari sana. "Tante, Adeknya tidur ya?" Tanya anak itu dengan senyuman merekah lepas, membuat Hanna merasa seperti disadarkan dari lamunannya. Hanna memandang Almaira dengan mata yang sedikit terkejut, dan mencoba tersenyum kembali, "Iya, Nak... Adeknya masih tidur," jawabnya dengan suara yang lembut, mencoba menyembunyikan rasa sesak yang masih menghimpit dadanya. Apalagi mendengar anak itu memanggilnya "tante" membuat hatinya seakan ditikam, sakit dan perih, seperti ada yang menusukka
Sementara itu, di sebuah pemakaman yang jauh dari hiruk pikuk kota, seorang pria dengan kemeja hitam masih berdiri di depan kuburan, menatap ponselnya sejenak sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap gundukan tanah di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan sedih yang mulai menggejolak. Pandangan matanya terlihat kosong di balik kacamata hitam yang di kenakannya. “Evan, Papa sama Mama pulang dulu. Kabarin kami tentang perkembangan cucu kami. Dia satu-satunya hal berharga yang Noura tinggalkan. Tolong jaga dia, untuk kami.” Ucap wanita paruh baya itu sambil mengelus lembut tangan Evan. Evan mengangguk, “Evan pasti akan menjaga cucu kalian, Ma Pa. Kalian hati-hati, besok aku akan kembali ke Surabaya.” “Evan, tentang wasiat Naura …,” “Jangan bahas itu dulu, mah. Evan, tidak mau membahasnya sekarang.” Evan beranjak pergi, meninggalkan mereka yang menghela napas pelan. Evan memasuki mobilnya, dia menatap lurus pada jendela luar. Membiarkan sang supir mengarahkan mobi
Hanna menoleh, wajah ayahnya tampak panik. Hatinya berdebar, khawatir ada sesuatu yang terjadi pada ibunya. “Nyonya, terima kasih untuk kainnya, saya akan mengembalikannya nanti. Saya harus melihat kondisi mama saya sekarang!” Hanna berlari meninggalkan wanita paruh baya itu. tanpa sempat berkata lebih banyak, wanita itu menatap Hanna yang berlalu, perlahan menghela nafasnya. “Ibu Dian!” Suara suster memanggil wanita itu, Dian terkejut dan segera berdiri mengikuti suster yang tampak cemas. “Ada apa, Sus?” tanya Dian, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Bisa ikut dengan saya buk?” Dian mengangguk, suster pun membawanya ke ruang bayi. Di sana terlihat bayi laki laki di inkubator, menangis dengan wajah terlihat merah. “Bayi ini terus memuntahkan susu formula yang kami beri. Baru 20 Ml yang bisa masuk, sementara bayi yang baru lahir seharusnya mengonsumsi 45-90 ml. Jika kondisi ini berlanjut, berat badannya tidak akan naik,” jelas dokter dengan penuh perhatian. “Jadi susu formula
Wanita itu tersenyum manis, mata indahnya berbinar-binar dengan kemenangan yang jelas terlihat. Dengan langkah santai, ia mendekati Lian, dan tanpa sungkan, ia memeluk lengan suami Hanna, menempelkan tubuhnya yang seksi ke tubuh Lian. “Putra kita baru saja meninggal, dan kamu malah berduaan dengan wanita lain? Di kamar kita?!" bentak Hanna, kata-katanya penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan. Lian tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan, bahkan wajahnya terlihat dingin dan tidak peduli. "Kamu benar-benar pria brengsek!" Hanna melanjutkan, suaranya semakin keras. "Bisa-bisanya kamu berselingkuh sementara aku terpuruk atas meninggalnya anak kita! Kamu benar-benar..." Namun, kata-katanya terhenti di tengah jalan. Blugg! Wajah Lian tertoleh ke samping dengan ekspresi terkejut dan sakit, pipinya terasa panas yang membara. Hanna terkejut juga, matanya melebar saat ia menyadari bahwa ayahnya, Alex, telah meninju Lian dengan sekuat tenaga. “Saya menikahkan kau dengan putri kami, ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments