Share

/7/

Ronal

1 Januari. 18.58 WIB.

Hendro dan Andrea tidur lebih awal karena mereka berjanji akan mengambil tugas jaga. Hughes tidak berani menyalakan api unggun karena akan memancing perhatian. Dan sedari tadi, tidak ada senter yang dihidupkan para peserta. Tenang saja, kita tunggu berapa lama mereka bertahan di selimut kegelapan.

 

Langkah kaki terseret dari samping membuat jantungku mencelus, aku segera bangkit, begitu juga Hughes yang langsung kalang-kabut. 

   

Di depan, terpaut dua meter. Si rambut ungu dan rekannya berdiri dengan moncong senapan terarah sempurna. 

Rekan si rambut ungu: seorang pria Asia yang kaku menodong senapannya ke dadaku. Pria itu memandang tanpa ekspresi seolah tidak berniat mengarahkan benda jahat itu ke tubuhku.

Si rambut ungu melangkah lebih dulu, kulit wajahnya yang pucat diterangi sinar bulan. Lalu si pria mengikuti dengan berjalan pendek, masih dengan senapan membidik.

 

“Kami hanya bertanya...” Perempuan itu menggulirkan matanya sekejap. “Jawab dengan jujur agar semuanya beres.”

 

Jemariku merayap-rayap di saku belakang, lalu kuhentikan saat tatapan si pria menyalang ke arahku. Dia masih belum tahu, masih belum tahu. 

“Mana sepasang kekasih yang lari ke sini?” sahut si pria dengan sikapnya yang arogan. 

Aku menelan ludah, bersiap menjawab.

“Tidak ada.” Hughes angkat suara. “Hanya kami berdua di sini sejak awal. Kalian bisa bergerak lebih dalam ke ujung sana, kalau memang merasa ... mangsa kalian lari ke bukit.”

 

Si gadis rambut ungu mengerutkan alis saat matanya berhenti pada sesuatu. Dia mengarahkan senapan ke buntalan di belakang Hughes. “Itu apa? Boleh kau buka?”

Jantungku terpompa begitu keras, aku berharap mereka tidak melihat diriku mencuri-curi pandang ke arah tempat tidur Hendro. Si rambut ungu menarik pengaman senjatanya hingga berbunyi klik-klik.

 

“Berbalik. Jangan lari atau melawan," ancam si pria.

Hughes menurut, dia berjalan mundur beberapa langkah, lalu segera berbalik. Dia tampak bingung hingga akhirnya berjongkok di depan kain. Tangannya sudah siap menyambar saat terlintas keraguan di wajahnya. Dia membeku, begitu juga napasku yang semakin terlilit.

Pria Asia itu berderap maju karena tak sabar, begitu pula rambut ungu. 

“Apa yang ditunggu?” Senapan gadis itu teracung lurus ke punggung Hughes. 

 

Belum sempat Hughes menarik kainnya, penutup itu tersibak sendiri dengan cepat. Hendro menerjang keluar tanpa ragu. Tembakan pertama langsung dilepas, membuat telingaku berdenging.

 

“LARI!”

Aku merunduk saat raungan senjata kembali berdentam. Hughes mencengkeram lenganku, teriakan demi teriakan membelah permulaan malam. Bunyi bedebuk dan bau mesiu membuat lariku semakin kencang.

 

Senapan meletup-letup bagai mercon di belakang kami, teriakan melengking seseorang yang menyayat hati terdengar. Aku berusaha menutup telinga, tapi suara-suara itu tak kunjung teredam dan membuat diriku tersiksa.

Begitu sampai di bawah dengan napas terkuras. Hughes melemparkan ransel milikku. Aku terhuyung, meraih ransel, dan gegas lari mengekor Hughes. Aku tersandung kaki sendiri, menabrak pohon, mengatur napas sebentar, lalu segera bergerak. Tempurung lututku lemas saat membayangkan nasib Hendro.

Temanku sudah menembus hutan sangat jauh, aku menambah kecepatan. Tembakan kembali menyalak dari atas bukit. Terdengar jeritan tertahan, lalu semuanya lenyap seolah keributan yang kami buat tersapu angin seketika.

Aku berhasil menyusul Hughes. Dia berhenti tiga meter di depanku, satu tangannya bertumpu ke pohon. Setelah mendekatinya, Hughes menoleh, tatapannya berkilat waspada.

Terdengar gemerisik dari arah kedatangan kami. Hughes memberi isyarat, dan kami mengendap-endap ke pohon sebesar betis gajah.

Aku tiarap, bersembunyi di balik akar yang menyembul. Bau tanah di sini seperti tanah bakar di ladang-ladang, warnanya yang sepekat tinta dan sehalus pasir pantai membuat orang yakin bahwa ini semua rekayasa.

Hughes berjongkok sembari mengintip. Dia menarik muka saat derap kaki seseorang mendekat.

Jantungku serasa berhenti, aku tidak berani bergerak. Bisa jadi itu si rambut ungu dan temannya. Aku meraih pisau di saku belakang, meremas gagangnya erat-erat. Mereka bisa kutusuk, tetapi membayangkan dua orang sinting itu memegang senapan. Membuat debar jantungku semakin bergemuruh.

Aku melirik Hughes. Mata kami bertemu. Hughes menempelkan satu jarinya ke bibir. Orang itu kembali bergerak—dan kami tahu karena kakinya menggesek tanah terlalu keras. Terdengar bunyi gedebuk, dan kesunyian menutupi kami bagaikan kabut.

 

Orang itu laki-laki, si pria Asia. “Ini aku ... Kim.” Suaranya tersekat, seperti orang sekarat yang hendak mengungkapkan permohonan terakhir.

Ini kesempatan emas, jelas ada yang salah darinya. Aku beringsut pelan ke depan, mencuri-curi pandang. Terlihatlah sosok itu, pria keturunan Asia tengah terduduk lesu di bawah pohon. Rambutnya lepek karena keringat, dadanya kembang-kempis dengan berat, sedangkan lengan kanannya luka dan ditekuk, di balik jemarinya yang berlumuran darah. Aku melihat sesuatu berkilauan mirip emas.

 

“Kalian di mana!” bentaknya pada udara. Awalnya aku mengira begitu, karena anak itu melotot tanpa sebab. Namun setelahnya dia menekan-nekan telinga, mengumpat dengan bahasa asing. Rupanya ada alat tertanam di situ. Dia mendengus sebelum melanjutkan, “Aku tertembak ... Samantha mengejar pelakunya ... kalian cepat kemari, hubungi Julius, suruh dia naik bukit dan susul Samantha.” Kim meringis, dia mengangkat pantatnya lalu menggeser senapan. “Aku kirimkan suar sebentar lagi. Langsung kemari, jangan ditunda.”

Begitu Kim selesai bicara, aku menerobos keluar. Dia membelalak dan buru-buru mengambil senapan, aku menerjang tubuhnya, meringkus, membanting kepalanya ke tanah hingga debu memercik. Dia menjerit sangat keras hingga rasanya akan terdengar sampai bukit. Benda yang berkilauan terlontar dari jemarinya. Itu kunci. 

 

“Ambil kuncinya, Hug—“ Rahangku disodok siku Kim. Aku terjengkang, menabrak senapan. Hughes melesat ke arah kunci, Kim ikut merangkak-rangkak dengan liar. 

 

Napasku memburu karena Kim hampir mengambil kunci.

Aku meraih senapan dengan jari gemetar, dan langsung menekan pelatuk hingga bunyi gelegar membuat telingaku pekak.

Begitu peluru menembus tengkuk Kim hingga darah kental memencar. Bahuku bergetar hebat seakan mau copot.

Tubuh pria itu menggeletar, tangannya yang hendak menjangkau kunci perlahan-lahan terbanting. Wajahnya terbenam ke tanah lambat-lambat, dia masih sempat mengerang saat mencium tanah, dan akhirnya benar-benar bungkam untuk selamanya.

Hughes

1 Januari 19.43 WIB.

Ketegangan menghiasi hutan selama beberapa detik. Kami berhasil memegang kunci. Itu mustahil, tapi ini  nyata setelah tanganku sendiri yang merasakan lekuk kunci keemasan yang diincar semua regu.

Darah Kim terciprat dan mengenai sepatuku, tangan anak itu terjulur ke depan, dan aku menahan keinginan untuk muntah saat melihat tengkuknya berdarah-darah.

Aku memandang Ronal, dia tertegun dengan pandangan kosong seakan rohnya terhisap. Tangannya memeluk senapan, dan dia mengerjap-ngerjap beberapa kali sebelum akhirnya berkata, “Sialan ... Dia benar-benar mati.”

   

Aku mengangguk lemah, kakiku seperti terkunci di tanah. Bergerak rasanya susah setelah menyaksikan ada darah tertumpah.

   

Ada yang berlari-lari dari arah berlawanan menuju kami. Ronal terlonjak, dan kami bergegas menjauhi mayat Kim. Itu pasti orang yang disuruh Kim menemui dirinya.

Kini aku tahu kenapa Hendro dan Andrea bersembunyi di pinggiran arena. Karena mereka sudah membawa kunci sejak kedatangannya pertama kali ke bukit.

Aku dan Ronal bersembunyi di tempat semula. 

Derap kaki itu semakin dekat, lalu lambat-laun memelan, dan akhirnya tidak terdengar apa pun. 

Kegelapan serta keheningan yang mencekam membuat bulu romaku meremang. Waktu seakan berhenti, dan jantungku memukul-mukul tulang dada sangat keras. Bunyi debarnya memenuhi kepalaku.

Tidak ada suara; baik gesekan kaki, ranting patah, atau angin yang berkesiur. 

Cahaya terang sekonyong-konyong menyorot tubuhku.

Di antara pepohonan, dekat dengan kepala Kim tergolek. Perempuan bermata cemerlang menatapku tajam dengan satu tangan memegang pistol perak. 

Ronal melancarkan tembakan lebih dulu. Bunyi kaca pecah membuat cahaya sirna.

 

Ronal memekik, “LARI!”

 

Si perempuan balas menembak, pistolnya yang meletus diikuti percik api yang menerangi sekitar bagai kilat.

Kami berlari beriringan, Ronal melesat begitu kencang dengan senapan di dadanya.

Kunci di pelukan tanganku terasa licin dan siap meluncur jika dilepaskan.

Kelebat bayangan terlihat di sudut mataku, aku hendak berkelit dan mengganti arah.

Seorang gadis menyeruak dari semak setinggi pinggang di kiri. Belum sempat aku menghindar, tendangan keras langsung menyasar ke bahu.

Tubuhku terempas, kepala membentur tanah, dan dunia di sekelilingku seolah berpusing.

Tangan-tangan kurus mencekik leherku, menekan jakunku dengan jempol. Aku meronta dan berusaha memelintir si penyerang.

Suara berdebak dan tengkorak retak membuatku tersentak, cekikan di leherku terlepas. Napasku pendek karena jakunku ditekan begitu dalam, Ronal bergerak-gerak dengan panik di depan. 

Aku mengangkat kepala. Ada yang datang dari arah jam 12. Perempuan itu! Dia menodong pistol di tengah kegelapan ke badan Ronal.

Ronal tak sadar karena memunggunginya. Aku menarik ujung baju temanku, gelegar pistol membuat telingaku seakan pecah sangking kerasnya.

Ronal ambruk di sampingku. Dia buru-buru mengokang senapan, lalu menarik pelatuk hingga percikan kilat menerangi sekitaran kami. Tubuh perempuan itu terlontar dan rebah begitu dihantam peluru.

     

Beberapa detik kemudian, semuanya hening. Tidak ada ledakan, langkah kaki terburu-buru, dan semua tetek-bengek lainnya. Kami berbaring mematung, tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. Napasku terengah, sangat sesak dan sulit untuk ditarik karena adrenalin.

Satu perempuan yang Ronal pukul berbaring tengkurap tanpa daya. Sedangkan nasib yang satunya entah-sudah-jadi-apa. Bisa jadi peluru Ronal menewaskan orang lagi. 

Ronal mulai bergerak, tak lama kemudian dia merangkak, berhenti, lalu mengatur napasnya yang kian tak teratur. Bajunya lembap karena peluh. 

Senapan milik Kim dia biarkan tergeletak. Anak itu mendongak, di tengah gelap, aku masih bisa menangkap jika wajahnya memutih. Pucat-pasi tanpa kehidupan. Ronal membisu, dia berdiri, berjalan terseok-seok ke dalam hutan.

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status