Share

/6/

Ronal

1 Januari. 16.01 WIB.

Bunyi gemuruh senapan membuat Andrea berjengit dan kembali terisak. Sebenarnya bukan anak itu saja yang butuh dihibur, kami di sini sama sekali tidak tahu siapa yang menembak dan siapa yang dibunuh. Setelah kuawasi keadaan di kedalaman hutan cukup lama, semuanya kembali tenteram dan keadaan berangsur normal. Tidak ada tembakan, jeritan, atau pohon yang tiba-tiba roboh.

Jadi, selama itulah aku mengintai kedalaman hutan dan masih belum mendapatkan titik cerah. Kata Hendro, mungkin saja itu Samantha. Dia menembak asal-asalan demi membuat suasana kembali tegang. Tapi rasanya tidak, kalau kau jadi aku, coba bedakan masing-masing bunyi senapan yang dari tadi berbunyi. Kali ini lebih kecil dan mendesis, suaranya pun merambat melalui rapatnya pohon. Namun biarpun kecil, rasanya bunyi itu teramat sangat dekat dari tempat kami berlindung. Seakan-akan si penembak memang berniat membidik kami.

   

Aku bergantian jaga dengan Hughes. Andrea terlelap, tapi tidak dengan pacarnya. Hendro merenung dengan tatapan menerawang sambil memain-mainkan jemari. Kemurungan terpancar jelas di matanya yang cekung.

   

“Kau oke?” Itu pertanyaan basa-basi, karena saat malam tiba aku dan Hughes akan turun bukit untuk mencari tempat baru. Rasanya tidak enak jika langsung membeberkan rencana kami pada pemuda malang yang tengah masygul.

Dia mendongak, mengerutkan bibir.“Yah, aku oke. Hanya bingung bagaimana nasib kami. Andrea hamil, ada orang gila yang membawa-bawa senjata, dan malam pasti datang. Aku tidak sanggup membayangkan mati di tempat ini.”

Aku tidak menjawab. Kulemparkan cokelat batangan (yang aku curi di toko) pada anak itu. Dia menangkapnya dengan lihai, lalu makan tanpa bicara.

Aku memandang Andrea yang bergelung di hamparan rumput, mengenakan pakaian kumal, dan menyangga kepala dengan jaket kulit Hendro. Mereka masih sangat muda, bisa jadi Hendro hanya lebih tua dariku satu tahun. Namun Andrea masih menyerupai bocah yang baru lulus sekolah, dia hamil muda pun aslinya aku tak percaya.

 

“Berapa umurnya?” Aku bertanya setelah Hendro melumat-lumat bungkusan cokelat.

Dia menjawab tanpa menoleh, “Delapan belas. Kalau aku dua puluh.”

 

“Kau merusak anak orang,” kataku.

Hendro tampak tidak tertarik, tapi tertawa hampa. “Kami saling cinta. Cinta memiliki harga yang mahal.”

“Kalau bicara saja gampang. Kau tidak memikirkan nasibnya. Pasti pacarmu yang paling menderita. Aku bisa jamin.”

“Kau benar. Dia diusir dari rumah setelah berkata jujur, lalu dipukuli ayahnya dan dikurung. Aku hendak menolong ... tapi untunglah. Dia langsung ditendang begitu saja. Saat itu adalah masa yang paling gelap bagi kami. Semuanya runtuh dan tidak ada yang bisa dipercaya.” Suaranya berubah dalam dan serak. “Kami mengontrak rumah petak, lalu aku bekerja serabutan...”

 

“Apa pekerjaanmu?”

 

“Penulis, editor, penerjemah. Gajiku tidak seberapa kalau nekat bertahan.” Dia tertawa dingin. “Zaman sudah berubah. Toko buku banyak bangkrut, dompet penulis kering. Buku semakin dianggap sampah. Semenjak teknologi kita berkembang begitu drastis, minat baca masyarakat semakin bobrok. Andrea bisa mati kelaparan di rumah kalau aku terus menulis. Jadi aku mencari pekerjaan tambahan, mengembara ke tempat-tempat, lalu menerima pekerjaan sebagai tukang masak. Masakanku cukup oke. Jadi aku percaya diri. Lalu kudapati kabar bahwa Permainan Kunci akan dimulai.” 

“Setelah dapat 100 juta?”

 

Hendro diam sejenak, berpikir. “Andrea sebenarnya sudah jadi kasir, tapi setelah kutawari soal Permainan Kunci. Dia setuju. Kami iseng-iseng mendaftar, dan tanpa sadar diterima. Soal Andrea hamil, tidak aku masukkan di data. Itu akan membuat kami tersingkir lebih cepat. Penyelenggara akan murka jika tahu aku memalsukan data, tapi siapa peduli. Intinya tidak ada yang tahu, kan?”

“Kau tidak sayang anakmu?”

“Sayang ... tapi aku tidak tahan melihat Andrea menderita. Setidaknya dia pernah hidup senang dari uang 100 juta.”

Aku tertawa karena kekonyolannya. “Kau bodoh, benar-benar tolol.”

Hendro mendelik. “Jangan munafik, bung. Kalau kau punya pasangan, aku bertaruh, akan kau tiduri juga dia. Bahkan aku curiga kau menyewa pelacur setelah mendapat 100 juta.”

“Aku selalu benci penyair.”

“Aku bukan penyair,” ujarnya santai.

Aku bangkit berdiri karena malas mendebat dan bergerak ke arah Hughes, lalu menepuknya. Bilang bahwa gilirannya telah usai. Sebenarnya belum, tapi melihat wajah Hendro membuatku ingin memukul dan meretakkan hidungnya. Dia tega sekali membawa kekasihnya yang  hamil ke arena kejam ini demi uang. Dia pria yang busuk, kenapa pula Andrea yang manis mau tidur dengannya. 

 

Begitu duduk aku mengotak-atik teropong, mengubah arah pandangan setiap satu menit. Dan berusaha menetralkan benakku yang dipenuhi amarah.

Tak lama kemudian, Hughes datang membawa makanan kaleng. Aku makan dan menjilati sendok yang dilumuri bubur merah asin sambil terus mengamati, kerja seperti ini sebenarnya seru. Daripada harus mengangkat-angkat barang penumpang ke kapal, lebih bagus aku bekerja seperti ini. Mati pun tak masalahnya. Karena aku merasa gairah hidupku sudah kering total sekarang.

 

Aku menelusuri satu demi satu areal hutan. Melakukan close-up dan mendapati sesuatu yang janggal. Aku beringsut maju, memerhatikan detail kecil itu. Ada sesuatu, jauh di kedalaman hutan arah jam 1. Aku mendesah saat kehilangan momen. Jelas sekali, aku jelas melihat ujung senapan menyembul dari rimbunya dedaunan. Permainan ini benar-benar kotor rupanya. Banyak kunyuk yang nekat membunuh demi menang.

Samantha. 

 

1 Januari. 17.09 WIB.

Langit sebentar lagi gelap, dan akan memudahkan kami untuk bergerak. Aku sudah mengabari aliansi untuk berjaga di beberapa titik. Jika dugaanku betul, Hendro dan Andrea tengah bersembunyi di bukit darah. Awalnya aku tidak menganggap perkataan Kim soal ada asap membumbung dari bukit darah sesuatu yang benar. Tapi jika dipikir-pikir, sepertinya hal itu memang benar.

Buruan kami—Hendro—tidak mungkin sebodoh itu untuk tetap berjalan-jalan di hutan. Kami belum bergerak selama beberapa jam terakhir setelah menghabisi dua peserta yang sempat mengacau, dan hanya mendengarkan laporan-laporan aliansi. Tubuhku nyeri seperti habis dipukuli karena berurusan dengan dua pengacau tadi. Tapi itulah untungnya, kami bisa mendapat senjata tambahan.

Kim bilang, dia tidak percaya siapa pun di tempat ini. Secara harfiah, dia merujuk pada aliansi. 

“Jangan bilang kalau kita mau ke bukit, biarkan orang-orang itu berjaga di beberapa titik yang aku sebut,” jelasnya saat aku mengontak aliansi.

Aku memberitahu titik-titik lokasi pada aliansi. Emil dan Emma, dari regu dua belas, kusuruh untuk berjaga di hutan sekitaran bukit. Jika Hendro atau Andrea melompat turun, mereka bisa menembaknya dan menangkap dua cecunguk itu. Namun lebih baik, kalau salah satu dari kami yang langsung merampas kunci dari anak-anak itu. Mimpi buruk jika Emma menyambar kunci dari tangan Hendro.

 

Aku memberitahu titik selanjutnya yang harus dituju untuk Julius dan Lewi. Katanya mereka mantan napi, spesialis pembobol rumah para elite, dan hal itu membuat Kim tertarik merekrutnya. 

   

“Begini ... bukannya aku mau tahu urusan kalian. Tapi kenapa kau suruh aku berjaga di tempat penurunan bukit bagian timur?” protes Julius setelah kuberitahu tempat-tempat penjagaan.

Aku melirik Kim yang pipi kanannya dikembungkan.

“Kami mau menyergap anak kucing. Titik-titik itu paling cocok untuk mencegat mereka kalau ada yang kabur.”

 

Jeda panjang di antara kami.

Lalu Julius berkata serius, “Kalian menemukan si pemegang kunci ya?”

Aku tetap tenang, biarpun jantung berdebar-debar.

“Entahlah. Berdoa saja...”

“Jangan berbohong pada kelompok, nona muda. Katakan saja kalau punya maksud terselubung. Tapi tak masalah, kami akan patuh karena perjanjian.”

 

Aku berusaha menahan keinginan untuk memaki. “Oke, kita bertemu nanti Julius.”

   

Setelah kupencet alat di telinga, aku menghadap Kim yang masih sibuk mengintai bukit.

 

“Apa katanya?” tanya Kim tanpa menoleh, pemuda itu melipat lengan, bersender ke pohon dengan santai.

   

“Mereka sudah curiga ... tenang saja, kita bisa habisi mereka setelah mendapatkan kunci malam ini. Tidak ada tangan kotor yang bisa merampas kunci dari kita, Kim.”

 

Kim memutar tubuhnya lambat-lambat. “Bagus. Dan kau sendiri jangan gegabah. Kita berunding dengan mereka sebisa mungkin.”

   

“Oke,” suaraku mendadak tercekik. “ Tapi kita harus rampas dulu kuncinya.”

 

Kim menggeleng, air mukanya serius. “Maksudnya jangan gegabah karena ada orang lain di tempat itu. Coba kau pahami sedikit kata-kataku ini.”

“Siapa?” 

 

Kim memasukkan tangannya ke saku. Dia luar biasa tampan jika tidak bertingkah konyol. “Itu hanya firasat. Keluargaku sangat menghargai firasat seseorang. Dan kali ini, aku merasakan kalau ada orang lain di sana. Biasanya firasatku 89,99 persen selalu tepat.”

“Terserah kau,” tukasku, “kita harus berangkat agar sampai bukit saat gelap.”

 

Kami mengisi perut lebih dulu dan melahap dalam diam. Kim menyukai semua makanan, baik kalengan maupun mentah. Terlalu banyak menyantap daging membuat lidahku gatal saat berurusan dengan ikan sarden. Selepas makan, Kim merakit senapannya dengan lincah. Matanya berkilat-kilat dan tampak bergairah melakukan petualangan ini. Aku mengasah pisau lipat (yang bisa kulempar ke musuh), menyiapkan senter, memeriksa earphone, lalu mengecek peluru. Burung gagak berkoak-koak saat langit mulai berubah. Malam ini akan terasa berat karena cakrawala menampilkan garis-garis gelap keunguan, awan pekat nan gelap menumpuk-numpuk dan menyembunyikan deru gemuruh bagaikan dentuman meriam yang tersumbat.

Keheningan terasa memanjang saat malam benar-benar hadir. Di tempat ini tidak ada nyamuk, dan kunang-kunang langsung meloncat-loncat keluar dari persembunyian. Suhu menurun, bukit tidak terlihat indah seperti hari terang. Ia hanya seperti gundukan tanah yang siap longsor jika diterjang hujan deras.

   

Kim menghela napas berat, kami belum menyalakan senter karena kunang-kunang berbaik hati menerangi sekitaran kami. Semua peserta akan terlihat batang hidungnya pada hari gelap, mereka tentu akan menyalakan senter dan menjelajah. Atau tidur sambil bermalas-malasan.

Kami mulai berjalan, masih belum tanpa senter. Kunang-kunang melekat pada kami dan terus menyinari jalur. Setelah berjalan setengah kilometer, kami berbelok, menembus rapatnya semak  dan sampai di tempat pendakian. 

 

Aku mempercepat langkah saat melihat rute pendakian bukit di depan mata. Kim menyambar lenganku sangat cepat seolah di depan ada ranjau. “Kita memutar,” katanya.

Aku patuh dan bergerak di belakang Kim, punggungnya naik-turun saat berjalan. Dengan senapan dikepit, membuat penampilan Kim semakin gagah. Barulah, kegelapan menekan pandangan kami karena kunang-kunang berlarian pergi. Mereka seolah telah diproses agar tidak mendekati areal bukit.

Kami keluar dari hutan, tanah hitam terputus. Sekarang pasir terhampar sejauh mata memandang dan terganti lagi oleh jalan penuh kerakal saat tiba di tempat pendakian terjal. Kim melompat lebih dulu, kami bergumul untuk naik, dan tiba di atas dengan baju basah penuh peluh.

   

Kami istirahat sebentar untuk mengatur napas, setelah kembali berjalan. Kim berjalan lambat untuk menyejajari langkahku.

 

Pipi Kim mengilap karena keringat, jakunnya menonjol jika dilihat dari dekat. “Tetap di sampingku oke?” 

 

Aku tidak menjawab karena fokus pada jalan menurun. Saat kakiku memijak rumput, kesegaran merayap-rayap dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Udara di sini luar biasa dingin, angin berembus terlalu kencang, membuat rambutku diacak-acak.

Di depan, sejauh 500 meter. Terlihat bekas api unggun dan sisa-sisa kayu yang berserakan. Aku tidak melihat tubuh seseorang. Namun Kim cepat-cepat menarikku menjauh dari tempat itu ke sebuah batu sebesar raksasa.

Kim bungkam secara mendadak, kau akan tahu dia sangat tegang karena jemarinya bergetar saat mengisi peluru.

Aku mengintip, ada siluet orang sedang bergerak. Orang itu bergerak ke ujung bukit, kukira dia akan melompat, tapi setelahnya. Dia berjongkok, dan aku paham jika ada yang sedang tiarap di situ. Aku tersenyum, mengakui kecerdasan mereka. Itu bukan Hendro dan Andrea. Karena tubuh dua orang itu besar-besar dan tegap seperti kuli bangunan.

 

Kim menghembuskan napas, aku ikut siaga. Kami mematung selama beberapa detik sembari memindai pergerakan dua orang itu. Lalu, setelah salah satu dari mereka berjalan ke arah api unggun, Kim melangkah keluar tanpa gentar dengan dagu diangkat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status