Kimberly leans on her family and fall prey to their underhand, murderous scheme and counter scheme. Peaches And Bottles takes the reader by hand into all her survival, sex, wealth, beauty and love escapades. This novel is awesome, intriguing, and captivating.
View MorePagi ini langit berwarna biru cerah dan sedikit berawan. Tanaman hijau yang asri menghiasi sekitar jalan setapak yang dilalui banyak orang dengan seragam sama persis. Mereka adalah murid SMP Bibit Kasih, termasuk aku.
Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah tepukan yang tidak begitu keras pada ransel yang menggantung pada punggungku. Aku pun membalikkan badanku ke belakang untuk melihat siapa yang menepuk ranselku.
"Freya! Selamat pagi!" sapa seorang gadis seumuranku yang tingginya 10 cm lebih pendek dariku. Dia memiliki rambut hitam bergelombang dan memiliki kulit yang jauh lebih putih daripada aku. Senyuman lebar terpasang pada bibir merah mudanya.
"Vania~ Tumben hari ini kamu datang cepat," sahutku sambil membalas tepukannya pada ransel merah mudanya. Vania adalah sahabatku. Sudah 2 tahun kami bersahabat, yaitu sejak kelas 7.
"Ya, hari ini aku bangun lebih awal karena salah satu anak perempuannya mamaku mengamuk gara-gara ada yang memakan kuenya. Menyebalkan banget deh tuh anak," kesalnya.
"Bisa-bisanya kamu mengatai kakakmu begitu, padahal dia lebih tua darimu," komentarku sambil tertawa kecil.
Vania mendengus kesal dan membalasku. "Percuma lebih tua dariku kalau sikapnya kekanakan."
Tawaku semakin tak tertahankan saat mendengar perkataannya. 'Dia tidak sadar kalau sikapnya tak jauh kekanakan dari kakaknya.'
Tiba-tiba Vania tersandung sesuatu dan terjatuh ke depan. Sebelum aku menangkapnya, seseorang yang berada di belakang menangkap dia terlebih dahulu sehingga dia tidak jadi terjerembab.
"Selamat pagi, Vania!" sapa orang yang menangkap Vania. Lelaki itu sedikit membungkukkan badannya untuk menyesuaikan tingginya dengan Vania yang pendek.
"Jonathan? Kamu gila, ya?! Siapa yang menyapa orang lain dengan cara seperti itu!" seru Vania setelah menstabilkan pijakannya.
"Selamat pagi juga untukmu, Freya~" Jonathan mengabaikan Vania dan menyapaku.
"Hai~" sahutku singkat. Jonathan juga adalah sahabatku. Vania yang mengenalkannya denganku dan kami bertiga pun bersahabat sampai sekarang. Terkadang energiku terkuras karena bersahabat dengan duo extrovert itu.
"Wow, Kamu mengabaikanku yang hampir mencium jalanan dan malah menyapa Freya?! Dasar pilih kasih! Dimana keadilan untukku?!" protes Vania yang mengundang tawaku dan Jonathan.
Jonathan mencolek-colek pipi tembamnya Vania. "Kenapa? Kamu mau aku bersikap lebih baik denganmu? Oke~ Hamba meminta pengampunan kepada yang mulia Ratu Cebol dan bersumpah akan bersikap lebih baik lagi~"
"Hentikan itu, dasar gila!" Vania menepis jari telunjuknya Jonathan.
Jonathan berhenti mengganggu Vania dan bertanya, "Ngomong-ngomong, kalian sudah mengerjakan PR Matematika?"
"Aku sudah kerjakan dari waktu pak Mulyadi kasih tuh PR." Aku menyombongkan diriku karena bisa menyelesaikan PR itu di hari yang sama pekerjaan rumah itu diberikan.
"Wow, seperti yang diharapkan dari Freya; selalu mengerjakan PR secepat mungkin tanpa menunda-nunda~" puji Jonathan.
"Kalau begitu, nanti ajari aku bagian yang tidak kumengerti. Sebagai gantinya, aku akan membelikan minuman untukmu. Bagaimana menurutmu?" lanjutnya bertanya kepadaku.
"Oke~ Aku akan memilih yang paling mahal, tidak apa-apa, kan?" balasku yang dibalas dengan isyarat tangan 'OK'.
"Apa kamu sudah mengerjakan PR mu, Vania?" tanyaku pada gadis yang berjalan di samping kiriku.
"Jelas sudah dong!" jawabnya dengan bersemangat dan mengangkat tinggi tangan kanannya. Aku sudah menduga jawaban darinya. Dia juga anak rajin sepertiku dan jauh lebih pintar daripada aku dan Jonathan.
Kami berjalan menuju kelas bersama-sama sambil bercanda gurau. Tidak biasanya kami berbarengan saat berjalan menuju kelas karena biasanya aku duluan datang, lalu disusul oleh Jonathan, dan kemudian Vania. Waktu terasa berlalu dengan cepat selagi melangkah sambil mengobrol dengan sahabat.
Di kelas, Vania dan Jonathan menarik kursinya ke mejaku. Aku mengajari bagian yang tidak dipahami oleh Jonathan. Terkadang Vania membantuku menjelaskan materinya kalau Jonathan masih tidak mengerti dengan penjelasanku.
"Apa kamu mengerti?" tanyaku pada Jonathan.
"Uh ... begini, kan?" jawabnya kurang yakin.
Aku mengoreksi jawabannya. "Ya, betul."
"Hore! Akhirnya selesai!" seru Jonathan sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang lucu.
Jonathan menurunkan kedua tangannya dan meletakkan lengannya di meja. "Penjelasanmu lebih mudah dipahami daripada waktu pak Mulyadi menjelaskan. Sepertinya aku harus sering-sering bertanya kepadamu kalau ada yang tidak kumengerti~"
"Boleh, tetapi ingat, seleraku mahal lho," balasku sambil tertawa kecil.
"Kamu ... kamu orangnya suka mengatakan hal mengerikan sambil tersenyum, ya?" tanya Jonathan sambil memeluk dirinya sendiri.
Vania berdeham sehingga perhatianku dan Jonathan tertuju ke arahnya. "Kalian tidak lupa kalau aku masih ada di sini, kan?
"Selain itu, aku juga membantu Freya mengajarimu! Kenapa kamu tidak memujiku juga?!" protes Vania sambil menunjuk-nunjuk Jonathan.
Jonathan tertawa dan mengacak-acak rambut Vania. "Maaf~ Kamu terlalu pendek, makanya aku sampai tidak sadar kalau kamu masih ada di sini."
"Apa hubungannya tinggi badanku dengan keberadaanku?!" protes Vania lagi sambil menepis tangan Jonathan yang mengacak rambutnya.
Aku melerai mereka. "Sudahlah, jangan mengerjai Vania terus~"
"Dengar tuh apa kata Freya!" ucap Vania.
Tanpa aba-aba, Vania memelukku dengan erat. Aku tersentak kaget lalu tertawa kecil dan merapikan rambut Vania yang berantakan. Kulihat Jonathan yang duduk di samping kananku tersenyum miring dan menghembuskan napas kesal.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan persiapan untuk kontes fashion show mu nanti, Freya?" tanya Vania yang kini sudah melepaskan pelukannya dariku.
Aku mengangkat bahuku dan menjawab, "Entahlah, kamu 'kan sudah tahu kalau selera fashion ku itu buruk. Kenapa pula waktu itu kamu menunjukku untuk mewakili kelas kita?"
"Habisnya kamu yang punya bentuk tubuh paling ideal di kelas; tinggi, tidak terlalu kurus dan tidak gemuk juga," jawab Vania. Mata hitamnya bergantian menatapku dan badannya sendiri.
"Plus wajahnya Freya cantik," tambah Jonathan.
"Ya, wajahnya Freya cantik, tetapi wajahku juga tidak kalah cantik!" ujar Vania tidak mau kalah.
"Kata cantik tidak cocok untukmu. Kamu lebih cocok disebut imut," sanggah Jonathan sambil mencengkeram kedua pipi Vania dengan telapak tangannya yang besar.
"Weh, lepashin tanganmuh!" perintah Vania dengan suara yang kurang jelas.
Jonathan melepaskan cengkeramannya dari pipi Vania sambil tertawa lepas. Vania memegangi pipinya sendiri dan menatap tajam lelaki yang duduk di samping kananku. Aku dapat melihat percikan listrik dari mata mereka yang saling bertatapan.
Vania mengalihkan pandangannya ke arahku. "Freya, sore ini kamu tidak sibuk, kan? Ayo ke mall! Kita beli baju buat lomba fashion show mu!"
"Oke~" Aku menganggukkan kepalaku menerima ajakannya.
"Aku ikut!" seru Jonathan sambil mengangkat tinggi tangan kanannya.
"Cowok tidak usah ikut! Tahu apa kamu tentang fashion cewek?" balas Vania sambil menyilangkan tangannya di dada.
Mereka berdua pun adu mulut dengan sengit. Mereka baru berhenti ketika guru SBK memasuki ruangan kelas ini. Akhirnya keadaan kembali tenang dan aku bisa terbebas dari kedua extrovert itu.
CHAPTER THIRTY - ONEThe sun was setting over the cemetery, casting a warm orange glow over the rows of headstones. Nathan sat by Pink's grave, his eyes fixed on the inscription etched into the stone."Beloved daughter, sister, and friend," it read. "Forever in our hearts."Nathan's eyes welled up with tears as he gazed at the words. He looked a mess, his hair disheveled and his clothes stained with dirt and sweat. He had been sitting by Pink's grave for hours, drinking and smoking, trying to dull the pain that had been eating away at him since her death.As he sat there, he felt a sense of peace wash over him. It was as if Pink was still with him, watching over him from beyond the grave.Just as Nathan was starting to feel a sense of calm, he heard a rustling in the bushes behind him. He turned to see Jude, his friend, walking towards him."How did you know I was here?" Nathan asked, his voice barely above a whisper.Jude shrugged, his eyes fixed on Nathan's. "I just do," he said, si
CHAPTER THIRTY Kim and her friend Jennifer strolled through the upscale shopping district, enjoying the warm sun on their skin and the sound of birds chirping in the trees. Kim was dressed in a stunning yellow sundress, her hair tied up in a loose bun, and her feet clad in strappy sandals. She looked like a ray of sunshine, and Jennifer couldn't help but feel a pang of jealousy.As they window-shopped, a sleek, black Rolls-Royce Phantom pulled up to the curb, drawing a crowd of onlookers. Kim's eyes widened as a live band emerged from the car, setting up their instruments on the sidewalk."What's going on?" Jennifer asked, her eyes scanning the scene.Kim shrugged, her eyes fixed on the band. "I have no idea."Just then, Bryan stepped out of the car, looking dashing in a tailored black suit. He flashed Kim a charming smile, and her heart skipped a beat."Bryan, what are you doing?" Kim asked, her voice barely above a whisper.Bryan dropped to one knee, pulling out a small box from hi
CHAPTER TWENTY - NINENathan slumped against the wall, his eyes fixed on the floor as he nursed a bottle of whiskey. The dim light of his room cast a gloomy shadow on his face, reflecting the turmoil that brewed inside him.He took a swig of the liquor, feeling the burn all the way down his throat. It was a futile attempt to numb the pain that had been gnawing at him for weeks.His mind wandered to his mother, Payson, sitting in a prison cell, serving a life sentence for a crime he knew she didn't commit. He felt a wave of anger and frustration wash over him, his fists clenched in impotent rage.Why had he been so stupid? Why had he let things go so far? If only he had listened to Pink, if only he had been more careful...The guilt and regret threatened to consume him, and he reached for the pack of cigarettes on his nightstand. He lit one, taking a long drag as he tried to calm his racing thoughts.But the nicotine only seemed to fuel his anxiety, and he found himself pacing back and
CHAPTER TWENTY - EIGHT The lights shone brightly in the packed auditorium, casting a warm glow over the sea of faces. The air was thick with anticipation as the students, teachers, and parents waited for the prize-giving ceremony to begin.Dalvin, dressed in a sleek black suit, his eyes red-rimmed from lack of sleep, made his way to the stage. He was here to collect the awards on behalf of his sister, Pink, who had tragically passed away just a few weeks ago.As he reached the microphone, the principal, Mrs. Johnson, handed him a stack of six awards. Dalvin's eyes welled up with tears as he gazed at the shiny trophies and certificates."Ladies and gentlemen, students and teachers," Mrs. Johnson began, her voice trembling with emotion. "Tonight, we gather to celebrate the academic achievements of our students. And among them, one student stands out for her exceptional brilliance and dedication. Pink, our beloved student, who left us far too soon, has bagged six awards tonight."The au
CHAPTER TWENTY-SEVEN Kim stepped out of her car and onto the crumbling asphalt of the prison parking lot. The sun beat down on her, casting a harsh glare over the entire scene. She took a deep breath, steeling herself for what was to come.As she entered the prison, she was immediately struck by the stark contrast to the outside world. The air was thick with the smell of disinfectant and stale air. The fluorescent lights overhead cast an unforgiving glare, making every face look pale and gaunt.Kim made her way through the security checks and into the visiting room. Payson was already seated, her eyes fixed on Kim as she entered. Kim's heart went out to her, seeing the deep lines of worry and regret etched on her face.Payson's eyes filled with tears as Kim approached. "Kim, I'm so sorry," she whispered, her voice cracking. "I was wrong to do what I did to you, all your life. I was so blinded by my own fears and doubts. I was selfish, I am sorry." Kim sat down across from Payson, he
CHAPTER TWENTY-SIXThe courtroom was packed, the air thick with tension. Nathan and Payson sat in the defendants' chairs, their faces etched with worry. Sarah and Dalvin sat on the opposite side, their eyes red-rimmed from crying.Judge Thompson, a stern-looking woman with a reputation for being tough, entered the courtroom and took her seat. She adjusted her glasses and surveyed the room before focusing on Nathan and Payson."So, Mr. Nathan and Mrs. Payson, you are here today to face charges of negligence and manslaughter in the death of Pink, the daughter of Mrs. Sarah. How do you plead?"Payson stood up, her voice shaking. "Your Honor, I plead guilty. My son, Nathan, had no hand in this. It was all my doing."Nathan's eyes widened in shock. "Mom, no!" he whispered urgently, but Payson ignored him.Judge Thompson's expression turned stern. "Very well, Mrs. Payson. And you, Mr. Nathan? How do you plead?"Nathan stood up, his voice trembling. "Not guilty, Your Honor. I didn't do anyth
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments