Share

Mengejar Hantu

“Sudah bisa dipastikan itu jasad siapa?” tanya Komandan Sipir.

Ditanya atasannya, Yoga langsung memberikan penjelasan, “Dari fostur dan beberapa saksi, itu jasad Badru, Pak! Tadi dia memang lagi di pantry, tadi baru angkut kiriman makanan dia.”

“Satu lagi?”

Tak ada yang menyahut, jasad ke dua memang mengalami luka bakar parah di area wajah. Tak ada satu pun sipir yang berani berspekulasi memastikan itu jasad siapa.

“Hey! jadi mayat siapa, nih?” Sang Komandan geram karena tak mendapat jawaban dari anak buahnya.

“Dari data napi, dimungkinkan itu adalah Toni. Hanya Badru dan Toni yang sekarang masih belum ditemukan,” cetus Kevin sambil membawa lembaran kertas yang berisi nama-nama napi.

Komandan napi langsung menoleh ke arah Kevin, “Fisiknya? Kamu yakin itu mayatnya Toni?”

“Fosturnya mirip, Dan!” jawab Kevin pelan.

“Jangan pake asumsi, Anak Muda!” sanggah komandan tegas. “Keduanya akan diidentifikasi tim forensik dari kepolisian. Kamu Kevin, segera siapkan data yang dibutuhkan mereka! Yoga, kordinasi juga dengan polisi buat cek tempat-tempat yang paling mungkin didatangi Badru dan Toni seandainya mereka kabur dari sini!” lanjutnya.

Kevin dan Yoga terpaku dan hanya saling menatap. Tadinya mereka kira identifikasi korban cukup oleh internal lapas, dan pelibatan polisi sekadar untuk formalitas saja. Ternyata tidak!

“Hey! Kenapa kalian diam saja! Cepat kerjakan, ini prosedur!” bentak komandan.

Mendapati bos mereka marah, Kevin dan Yoga akhirnya menyahut, “Siap, Dan!”

Kevin serasa tak menapakan kaki saat mulai berjalan menuju ruang arsip. Hatinya was-was jika fakta pelarian Toni terbongkar. Kabar baiknya, dia tahu apa yang harus dilakukan.

“Halo! Dengan Mutiara?”

“Iya. Maaf... siapa, ya?”

Kevin tahu, dengan kondisi  jasad yang rusak, berkas Toni tak akan begitu membantu proses identifikasi polisi. Penyocokan dengan foto dan sidik jari tak mungkin berhasil dilakukan. Hanya pengenalan oleh kerabat korban yang akan menjadi acuan polisi. Karenanya, Kevin menghubungi Mutiara agar dia mau bersaksi bahwa salah satu korban kebakaran lapas adalah Toni, kakaknya.

“Tapi Anda yakin, itu bukan kakakku?” tanya Mutiara kepada Kevin.

“Waktu kejadian semua gerbang tertutup. Tak mungkin dia bisa kembali masuk.”

“Lewat jendela, lubang angin, atau apa, mungkin?”

“Sudahlah. Menyimpulkan korban bukan kakakmu hanya akan menambah masalah, Tiara! Tak ada untungnya. Polisi akan menetapkan Toni sebagai buronan dan mencarinya sampai ke lubang tikus!”

“Tapi itu lebih baik daripada kakakku mati!” pekik Tiara diikuti isak tangis.

Kevin baru tersadar permintaan dan kabar tiba-tiba yang dia sampaikan ternyata cukup mengguncang Mutiara. “Ya... ya... maafkan aku,” ucap Kevil dengan nada menyesal. “Justru itu, aku yakin dia ada di luar sana, Tiara. Kita lakukan ini biar dia aman. Aku mohon, ya!”

“Pak Kevin!”

Kevin terkejut saat melihat komandan sipir mendatanginya ke ruang arsip. “Gitu aja, ya! Bye…!” bisik Kevin yang segera menutup panggilan teleponnya kepada Mutiara.

“Ya, Dan! Maaf, orang rumah telepon.”

“Mana berkas Badru sama Toni?”

“Ini, Dan!” jawab Kevin sambil menyerakan dua map berwarna kuning tua.

Segera komandan sipir meraih dan membuka lembar demi lembar isi dari berkas yang dia terima, “Isinya lengkap?”

“Lengkap. Kenapa, Dan? Tim forensik sudah datang?”

“Belum. Benny menghubungi saya.”

“Benny Liem?” timpal Kevin kaget. “Mau apa dia, Dan?” tanyanya lagi.

“Kamu tahu, lah! Dia bakal jadi orang paling gusar jika Toni ternyata berkeliaran bebas.”

“Hehe… Iya, Dan.”

“Simpan di kantor saya. Dia bilang mau ikut identifikasi. Tapi saya tolak karena dia bukan siapa-siapa!”

“Betul, Dan. Dia tak punya hubungan keluarga dengan Toni.”

“Tapi dia tetap mau ke sini. Katanya, dia akan bawa adiknya Toni,” tutup Sang Komandan sambil beranjak pergi.

“Mulai galau kamu, Benny!” umpat Toni dalam hati.

Hanya selang beberapa jam tinggal di tempat barunya, Toni yang harusnya mulai belajar beradaptasi sudah merasa bosan duluan. “Enam bulan karantina? Ah, ada-ada aja! Dipikirnya aku lagi ikutan ajang pencarian bakat?” guman Toni sambil merebahkan kembali badannya di atas kasur. Bagusnya, sekarang dia lebih segar karena baru mengguyur tubuhnya yang lusuh dan bau tak karuan dengan air. Sebelumnya, aroma ikan dari dalam mobil van yang dia tumpangi sempat menggantikan bau tubuhnya.

“Apa yang harus aku lakukan? Membusuk sendiri di kios sempit ini? Arrgh… kenapa aku harus kabur kalau tahu bakal berakhir di sini! Percuma kalau keluar penjara tapi tak ada yang bisa aku perbuat!” Toni yang belum bisa menerima kenyataan terus saja mengumpat sendiri.

Memang, sebelum Datuk menghubunginya, rencana awal setelah dia lari dari penjara adalah mendatangi rumah pamannya, Anton. Bukan tanpa alasan, itu adalah pesan tersirat dari ayahnya kala terakhir kali Sang Ayah menjenguknya di lapas.

“Ada bukti yang bisa meringankan kamu, Ton!”

“Sudahlah, Yah! Percuma, aku sudah setahun mendekam di penjara.”

“Kita ajukan peninjauan kembali sambil membawa novum, Ton! Bukti baru!”

“Novum apa?”

“Begini, Ayah sudah bicara dan akan menitipkan bukti kamu tak bersalah sama pamanmu. Ayah sengaja meminta tolong pamanmu karena tak ada orang yang ayah percaya di sini!”

“Pak Surya! Waktunya abis!” seorang sipir datang mengintrupsi obrolan Toni dan ayahnya.

“Baik, Pak! jawab ayah Toni. “Sementara begitu ya, Ton! Jaga diri kamu, Nak!” tutupnya sambil beranjak keluar dari ruang besuk tahanan..

Sampai sekarang Toni tak tahu bukti baru apa yang didapatkan oleh ayahnya. Karena sehari setelahnya, dia mendapat kabar bahwa Sang Ayah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Mobil yang dikemudikannya masuk jurang.

“Hanya dengan mendatangi Paman Anton aku bisa tahu apa yang telah ayah temukan!” Toni bicara sendiri sambil menimbang kembali ide untuk mendatangi rumah pamannya. “Memang terlalu riskan untuk keluar di suasana masih panas begini. Tapi, hanya dengan berdiam diri begini? Aku bisa gila!” umpat Toni kesal.

Sementara Toni yang belum bisa berdamai dengan keadaan, rombongan polisi dan sipir lapas sudah bergerak ke rumah orang tua Toni.

“Selain ke sini, kemana lagi Toni mungkin pergi, Bu?” tanya Yoga kepada Ibunda Toni setelah penggeledahan polisi tak menemukan jejak Toni di rumah itu.

Ibu Toni yang terduduk di kursi roda hanya diam dan meneteskan air mata. Belum juga hilang sedihnya mendapat kabar soal kemungkinan anaknya mati, dia semakin syok mendapati lima polisi bersenjata lengkap mengobrak-abrik rumahnya.

“Kemana, Bu?” tanya Yoga lagi.

“Sudah! Bapak bisa tanya saya, jangan nganggu ibu!” ucap Mutiara kesal.

“Ok! Jadi, kemana kakakmu mungkin pergi?”

Alih-alih menjawab, Mutiara malah membentak Yoga, “Pak! Yang benar kakakku mati apa lari, sih? Tingkah kalian benar-benar aneh. Belum pasti tapi sudah repot sendiri!”

“Kita antisipasi, Dek!”

“Ya pastikan dulu aja sana! Heran? Kalian mau nyari hantu?”

Didesak pertanyaan logika Mutiara, Yoga terpancing juga, “Hey! Kakak Anda adalah napi kasus pembunuhan!” bentak Yoga sambil bangkit dari duduknya. Mendengarnya, Mutiara langsung menunduk. Hatinya semakin hancur kakaknya disebut pembunuh.

“Tentu, kita kerjakan pararel! Tugas saya hanya menyisir lokasi yang dicurigai,” lanjut Yoga dengan nada suara merendah.

“Ke kantornya. Cek saja ke sana!” Mutiara kembali bicara.

“Kerabat lain?” buru Yoga tak peduli jawaban Mutiara yang terkesan asal.

“Tak ada!” jawab Mutiara ketus.

“Bapak coba cek ke rumah Anton, Pamannya Toni.” Seorang lelaki berjas hitam tiba-tiba masuk ke rumah dan memberikan saran kepada Pak Yoga.

“Pak Benny? Sedang apa di sini?” tanya Yoga heran mendapati Benny Liem yang muncul di depannya.

Di kota ini semua kenal Benny. Atau paling tidak, dia dikenal karena anak dari Sanjaya Liem. Seorang pengusaha kaya raya yang begitu dermawan.

“Saya hendak jemput Mutiara, kita perlu bantu polisi buat identifikasi jasad di lapas,” jawab Benny. “Sudah selesai di sini, Pak?” tanyanya kemudian.

“Ya! Kita akan lanjut ke rumah pamannya Toni,” jawab Yoga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status