Home / Horor / Pekik Ketakutan / BAB 1: Kerasukan Hamil

Share

BAB 1: Kerasukan Hamil

Author: Eka Juan
last update Last Updated: 2021-06-27 20:13:22

Linda sedang berada di ruang BK untuk mengurus izin untuk pulang lebih awal kepada Bu Lope. Guru BK yang badannya seperti jelly. Lemak-lemaknya tak dapat bersembunyi dari pakaiannya dan bergoyang-goyang memantul jika dia bergerak atau berjalan.

Selagi keduanya berbicara, Linda mulai merasa menggigil. Uap putih keluar dari mulutnya.

“Apakah kamu tak apa-apa?” tanya guru BK.

Linda menatap ke atas ke arah pendingin ruangan. Tapi AC itu mati. Sementara di luar matahari juga bersinar cerah.

Linda menggeleng merespon pertanyaan Bu Lope. Ia menghela nafas. Ia selalu mengalami kedinginan bila ada sesuatu yang tidak baik. Energi astral negatif yang kuat. Setelah ini biasanya akan ada kejadian yang tidak baik, cepat atau lambat. Bisa dikatakan mirip Spider-sense milik manusia laba-laba. Fitur khusus yang bisa merasakan adanya bahaya. Ia memiliki kelebihan ini sudah sejak kecil. Biasanya ia selalu menghindar dan tidak mau tahu. Kemampuannya ini membuat hidupnya tak tenang.

Benar saja tak berapa lama kemudian tiba-tiba terdengar pekik melengking seorang siswi dari luar ruangan. “AAAAAAA!”

Suara itu menarik perhatian semua orang yang mendengar. Bu Lope segera menandatangani surat izin absen untuk Linda dan bergegas keluar ruangan.

Linda memasukkan surat itu ke tasnya dan menyusul Bu Lope untuk mengecek situasi. Ternyata keributan itu berasal dari ruang UKS tak jauh dari ruang BK.

Di pintu ruang UKS dan dekat jendela sudah berkumpul orang-orang sedang menonton kejadian yang aneh.

Di lantai Hani sedang berteriak-teriak kesakitan. Roknya yang pendek menunjukkan paha kanannya yang sudah berbalut kain kassa. Tapi bukan luka bekas sabetan pisau yang membuatnya kesakitan. Melainkan…

Hani mengangkang sambil memegangi area kemaluannya di lantai. “Sakit! Sakit! Ada sesuatu masuk ke vagina gue. AAAAAA! Keluarin! Keluarin! Cepetan keluarin!!!!” Siska dan Dewi yang juga berada di situ panik dan kebingungan dengan keadaan temannya. Dokter UKS, Bu Prilly buru-buru menyibak rok dan melepas celana dalamnya untuk memeriksa.

Betapa kagetnya mereka, ketika melihat kemaluan yang meregang dan bergerak-gerak, seolah-olah ada benda besar yang berusaha menerobos masuk ke dalam. Akan tetapi tak seorangpun bisa melihat atau memegang sesuatu itu. Kemaluan Hani meregang melebihi batasnya, sampai mulai sobek dan mengeluarkan darah.

“AAAAAAkkkkhhh sakitttt!” pekik Hani, menggeleng-geleng tak tahan.

Benda gaib itu terus bergerak naik ke atas hingga perut Hani lama-kelamaan membesar seperti orang hamil.

“AAAAAAAhaaaaaaaa!” tangis Hani dan meringis kesakitan. “Keluarin, tolong keluarin…,” pintanya lemas.

“Bawa ke atas ranjang,” instruksi Bu Prilly. Bu Lope yang tadi ada di pintu buru-buru masuk ikut membantu. Bersama Siska dan Dewi, mereka membantu mengangkat Hani ke atas ranjang. Linda juga menerobos masuk. Rupanya firasat buruknya berkaitan dengan ini.

Bu Prilly kebingungan. Seumur hidup belum pernah dia melihat kejadian semacam ini. Sekolah kedokteran tidak mengajarkan hal-hal aneh beginian. Dia tidak tahu harus membuat diagnosis atau berbuat apa.

Setelah sesuatu yang gaib itu masuk ke rahim Hani, kini bergerak kembali keluar. Hani melebarkan kedua kakinya, mengerang seperti orang hendak melahirkan. Ia ambil nafas dan menghembuskan lewat mulut, beberapa kali lalu mengejan sekuat tenaga, mendorong apa pun itu keluar. Keringat bercucuran keluar seperti orang habis lari maraton.

Demi menjaga privasi, sekaligus mengendalikan situasi Bu Lope bersama para guru lainnya menginstruksikan dan mengarahkan anak-anak untuk kembali ke dalam kelas.

Bu Prilly menarik sekat pemisah ruangan untuk menutupi Hani.

15 menit Hani terus menderita seperti itu sampai akhirnya kemaluan Hani kembali meregang, bergerak-gerak. Sesuatu sedang bergerak keluar.

“Arrgghhhh!” erang Hani.

Perut Hani kembali kempes. Yang tersisa hanyalah letih dan lelah. Nafasnya terengah-engah. Bajunya basah oleh keringat. Wajahnya pucat akibat kehilangan darah. Bu Prilly bergerak cepat menelpon rumah sakit agar Hani bisa mendapatkan perawatan segera.

Di saat yang sama semua saling berpandangan, bertanya-tanya apa yang barusan terjadi. Siska dan Dewi saling tatap dan melirik ke arah Linda. Keduanya menaruh curiga kepada Linda. Apalagi setelah mereka mengalami hal aneh di WC.

Siska menunjuk Linda. “Ini semua perbuatan lo kan! Ngaku lo!”

Dewi maju memukul-mukul Linda, membabi buta. Bu Lope segera bertindak menahan tubuhnya. Namun gantian Siska mengambil bangku dan menghantamkannya ke tubuh Linda berkali-kali. Pang! Pang! Pang! “Dasar penyihir!”

Bu Prilly segera melompat mencegah Dewi. “Dewi hentikan, apa maksudmu!”

Siska berteriak, “Dia penyihir, bu, penyihir. Dia bisa ilmu sihir!”

Situasi sedang tegang, tiba-tiba Hani menjerit-jerit kembali. “I..itu masuk lagiiii! Aaaaaaaa! Gak mau!” Ia mewek sejadi-jadinya. Bibir vaginanya bertambah sobek. Ia tak mau mengulangi mimpi buruk itu lagi. Ia sudah tak punya tenaga.

Di saat yang sama sekonyong-konyong Dewi dan Siska juga berteriak kencang dan roboh ke lantai. Mereka mengalami hal serupa seperti Hani. “AAaaaakhhh! AAkkhh!”

Belum kekacauan di UKS terselesaikan, dari kejauhan terdengar teriakan banyak siswi, susul-menyusul dari berbagai ruang kelas. Bunyi keributan, pekik kesakitan, orang jatuh gedebuk dan meja kursi tergeser terdengar di mana-mana.

Satu sekolah, murid dan guru langsung panik. Sekolah dalam keadaan genting.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pekik Ketakutan   BAB 50: Balas Dendam

    Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.

  • Pekik Ketakutan   BAB 49: Perpisahan

    Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu

  • Pekik Ketakutan   BAB 48: Pilihan

    “Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.

  • Pekik Ketakutan   BAB 47: Mbah Moen

    Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj

  • Pekik Ketakutan   BAB 46: Kontrak

    Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman

  • Pekik Ketakutan   BAB 45: Keris

    Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status