Share

BAB 2: Laskar Rohani

Kekacauan di SMAN 696 memanggil orang nomor satu di sekolah turun gunung. Pak Juniadi, kepsek jangkung berkacamata dengan sigap mengelola keadaan, “Kumpulkan semua korban di gedung serba guna. Ruang UKS tak cukup. Berdayakan dokter kecil untuk pertolongan pertama. Telpon rumah sakit, minta ambulan. Pulangkan anak-anak lain agar jangan sampai jumlah korban, khususnya wanita, bertambah.”

Ruang serba guna di area belakang sekolah. Gedungnya paling bagus, paling baru. Bisa menampung sekitar tiga ratusan orang. Tinggi langit-langitnya mencapai 4 meter. Fasilitas ini digunakan untuk acara kelulusan, peribadatan dan sebagainya.

Pak Juniadi terlihat serius. Ada sekitar 50-an siswi yang mengalami kejadian aneh ini. Mungkin ini waktunya untuk wanita itu turun tangan lagi, pikirnya.

“Panggil Ibu Florensia dan Laskar Rohani!” perintah Pak Juniadi.

Seorang wanita tua bergegas menuju Ruang Serba Guna. Derap langkah sepatu seperti prajurit berbaris mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Florensia datang bersama siswa dan siswi yang tergabung dalam Organisasi Laskar Rohani.  Jumlahnya sekitar tujuh puluh murid.

Laskar Rohani adalah wadah kesiswaan, berkaitan dengan agama dan spiritualitas. Terdiri dari lima divisi, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Berdiri baru tiga bulan lalu. Organisasi diharapkan bisa mengarahkan kelakuan murid-murid menjadi lebih positif.

Bu Flo bukanlah wanita biasa. Julukannya saja… wanita mujizat. Bukan tanpa sebab ia menyandang gelar itu. Salah satu mujizat kontroversialnya adalah menyembuhkan ratusan orang sakit di rumah sakit. Peristiwa itu sempat masuk berita.

Katanya, suatu hari ia terbeban untuk mendoakan orang-orang sakit. Lalu ia pergi ke rumah sakit. Tanpa seizin pihak sana ia masuk ke ruang-ruang rawat dan berdoa bersama pasien. Awalnya aktivitasnya tidak menarik perhatian, sampai ia membuat keributan di ruang UGD.

Dua orang paramedis berlari tergesa, mendorong ranjang, membawa pasien gawat darurat ke triage merah — area kondisi paling gawat.

Seorang gadis remaja terbaring tak sadarkan diri. Bu Flo menguping dokter dan paramedis. Katanya Anak itu mencoba bunuh diri dengan obat hingga overdosis.

Dokter jaga dan perawat memindahkan tubuh anak itu ke ranjang pasien. Ibunya menemani di samping, menangis kalut. “Dokter selamatkan anak saya, selamatkan anak saya.”

Perawat menarik ibu itu menjauh dan menenangkannya agar dokter bisa bekerja.

Selagi dokter dan perawat melakukan tindakan, tanpa basa-basi Bu Flo mendekati anak itu.

“Siapa Anda?” tanya dokter. Bu Flo tak menjawab. Petugas medis mengira ia kerabat dari anak itu.

Bu Flo memegang tangan anak itu dan memejamkan mata, berdoa.

“Anda siapa?” tanya ibu anak itu. Sadar Bu Flo itu orang asing, perawat segera menarik Bu Flo untuk mengusirnya.

Tiba-tiba anak itu kejang-kejang hebat. Ranjang berdecit-decit dan berderak keras. Cit! Cit! Bak! Bak! Bak!

Ibu anak itu histeris, “Apa yang sedang Anda lakukan!” Ia menarik pundak Bu Flo dengan kasar, sampai Bu Flo terjatuh.

Perawat segera memanggil security. Sebelum pihak keamanan sempat datang, Bu Flo berdiri lagi dan memegang tangan anak itu lagi. Kejang anak itu semakin jadi. CIT! BAK! BAK! BAK!

“Lepaskan dia! Lepaskan!” Ibu itu berusaha memisahkan tangan Bu Flo dari anaknya. Perawat juga menarik-narik Bu Flo. Genggamannya hampir lepas. Saat situasi sedang kacau, anak itu tahu-tahu terbangun dan langsung muntah kehitaman.

Semua orang kaget. Seharusnya dengan kondisi tubuhnya, ia tak mungkin siuman.

Usai muntah anak perempuan itu menoleh ke ibunya sambil menangis, “Mama….” Ibunya memeluk haru putrinya.

Dokter dan perawat keheranan. Karena mereka belum melakukan apa pun.

Dua security berbadan besar datang. Mereka menarik Bu Flo untuk diamankan. Di situ Bu Flo sudah tidak melawan. Di saat yang sama muncul banyak pasien bergerombol, belari-lari menimbulkan keributan. Mereka adalah orang-orang yang sekitar dua jam yang lalu didoakan oleh Bu Flo. Rupanya mereka mencari dan mengejarnya.

“Itu dia, itu orangnya!” teriak salah satu dari mereka menunjuk Bu Flo. “Dia yang menyembuhkan benjolan tumorku!” seru salah satu pasien itu. Pasien yang lain berseru, “Dia yang menyembuhkan kanker payudaraku!”

Di belakang mereka mengekor pasien-pasien yang masih sakit dan mereka berseru, “Aku juga ingin sembuh!” Mereka datang mengerubungi Bu Flo, memohon-mohon, “Doakan aku, tolong doakan aku! Aku sudah divonis mati oleh dokter, tolong aku!”

Kabar mujizat Bu Flo langsung menyebar ke pasien-pasien lain seperti api tersulut bensin. Bu Flo melayani mereka sampai ia kelelahan dan tak sanggup lagi.

Banyak pihak melakukan penyelidikan, baik dari institusi agama maupun media. Mereka mencari kemungkinan kasus penipuan, akan tetapi fakta di lapangan berkata sebaliknya. Terhitung 201 pasien mengalami kesembuhan di hari itu dan semuanya telah diuji medis. Hasilnya berkata, mereka benar-benar sembuh. Pihak rumah sakit hanya bisa berkata, “Ini mujizat.”

Orang bilang Bu Flo memiliki anugrah IQ spiritualitas yang tinggi, ia dapat melihat hal-hal rohani melebihi manusia umumnya, bak Bethoven dengan musiknya atau Albert Einstein dengan fisikanya.

Bu Flo melatih para laskar untuk berurusan dengan dunia gaib. Tak heran ketika terjadi aktivitas paranormal seperti saat ini, mereka berada di garda terdepan untuk menyelesaikan masalah.

Para siswi yang kerasukan diletakkan di lantai beralaskan sajadah. Mereka berteriak-teriak kesakitan. Para laskar segera mendampingi. Laskar muslim memanjatkan doa dengan baca-baca ayat Alquran – “Qul a'ụżu birabbil-falaq. Min syarri mā khalaq…” Laskar budhis melantunkan mantra-mantra doa, laskar kristen berteriak-teriak - “Demi nama Tuhan Yesus, kami perintahkan roh jahat keluar! Keluar!” Laskar hindu melantunkan mantra Gayatri – ‘Om bhur buwah swaha, tat sawitur warenyem….’

Sementara Ibu Florensia duduk menghadap ke para korban. Ia memejamkan mata dan mulai berdoa.

Tiga menit Bu Flo khusyuk berdoa, teriakan para siswi yang kerasukan makin menjadi. Mereka meronta-ronta dan mengelepar, seperti ikan di darat. Bola mereka memutih, bergulir ke atas. Satu per satu mereka kehilangan kesadaran.

Kerasukan total.

Semua siswi sekonyong-konyong bangun dari lantai bak dalam satu komando. Para laskar mencoba menahan mereka, tetapi kekuatan mereka jadi berlipat-lipat. Dengan mudah mereka mendorong para laskar hingga terlempar jatuh.

Para siswi kerasukan berjalan ke arah Ibu Florensia, berteriak-teriak dengan marah. Tangan mereka terangkat, menjulur ke depan hendak mencekik dia.

Para laskar mencoba mencegat, tetapi mereka tak bisa mendekat, sebab selalu ada letupan angin kuat yang mendorong mereka jatuh.

Bu Flo dalam bahaya besar.

“Bu Florensia!” teriak Pak Juniadi. Ia hendak mengevakuasi Bu Flo. Akan tetapi Bu Flo mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk tetap tenang.

Hanya dalam hitungan menit, para kerasukan mengerubungi tubuh Bu Flo begitu rapat seperti semut menggerubungi gula. Namun ia tidak bergerak dari tempat duduknya dan tetap memejamkan matanya.

Dari dalam kerubungan itu Ibu Florensia berdoa dengan suara keras,

“Para penjaga alam semesta ada bersamaku,

memagariku di setiap sudut dari Timur hingga Barat,

dari Utara hingga Selatan.

Kepada Sang Penguasa Jagat, hamba meminta bantuanMu,

pinjamkan kekuatan untuk mengalahkan setan yang terkutuk!”

Seketika itu juga, keluar gelombang kejut dari sekitar tubuh Bu Flo. Semua siswi yang menyerang terlempar sekitar tiga meter ke belakang. Lalu mereka terpasung di udara dengan tangan dan kaki terbentang membentuk silang.

“Laskar! lakukan perang rohani!” komando Ibu Florensia.

Para Laskar segera berkumpul dan memanjatkan doa sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Siswi-siswi berperut bunting itu awalnya berteriak-teriak marah, tiba-tiba berubah tertawa-tawa mengerikan, seakan mengejek doa-doa mereka.

Tiba-tiba salah satu laskar tumbang muntah darah. Tawa mereka semakin keras.

“Teruskan berdoa! Jangan berhenti!” instruksi Ibu Florensia. Para laskar pun semakin khusyuk memanjatkan doa mereka.

Namun tiga laskar menyusul mengalami hal yang serupa. Alis Bu Flo mengerut kesal. Ia bangkit dari duduknya, dengan marah ia berkata, “Kalian tidak menjaga kesucian, ini akibatnya, setan menemukan celah untuk menembus kalian. Ini bukan main-main!”

Tiba-tiba mata Bu Flo membelalak. Ia melihat bahaya. Dengan cepat ia menarik kerah salah satu laskar ke belakang. Tangan kiri Bu Flo mengibas tepat di depan dadanya. Secara ajaib benda-benda logam mendadak berjatuhan ke lantai dari udara.

“Ting! Trititing! Ting!” bunyi paku berdentingan. Banyaknya sekitar seraup tangan.

Bu Florensia kemudian memanjatkan doa, “Wahai para penjaga alam semesta perluaskanlah pagar perlindungan.”

Seketika itu juga di sekitar para laskar terdengar sesuatu bertubrukan dan mengeluarkan percikan. Berbagai benda tajam berjatuhan di lantai, seperti kaca, lempengan besi tajam, paku, kayu tajam dengan berbagai bentuk dan ukuran. Rupanya dari tadi Bu Flo dan laskarnya mendapat kiriman di alam gaib, yang menyebabkan beberapa dari mereka tumbang muntah darah.

“Setan terkutuk tak kuijinkan kalian menyentuh murid-muridku! Angkat tangan kotormu dari mereka!”

Tiba-tiba saja para siswi yang kerasukan itu menjerit dengan sangat kencang. Lantai ubin pun meledak retak di mana-mana. BUM! Semua kaca jendela di gedung retak, kemudian pecah ke arah luar.  “PRYANG! PRYANG! PRYANG!”

Siswi-siswi yang kesurupan itu berjatuhan ke lantai. Perlahan-lahan mereka kembali sadar. Perut mereka kempes. Meskipun rasa nyeri dan pegal menjalar di sekujur tubuh mereka. Teman-teman mereka segera menolong mereka.

Seorang siswi yang tadi kerasukan bangkit berdiri. Teman-temannya bingung ada apa. Tiba-tiba saja dia berlari dengan gaya yang aneh menuju jendela dekat pintu masuk.

Bu Flo langsung berteriak, “Tahan dia!”

Rupanya siswi itu masih kerasukan.

Teman-temannya mencoba mengejarnya. Akan tetapi terlambat. Siswi itu sudah sampai di dekat jendela dan mengayunkan lehernya ke arah pecahan kaca yang tajam.

Di saat yang genting, sebuah telunjuk putih seputih salju menyentuh kening anak itu. Jari itu membuat siswi itu berhenti bergerak. Seluruh badannya kaku. Sebelum akhirnya ia terpental sejauh enam langkah ke belakang dan jatuh ke lantai tak sadarkan diri.

Seorang siswi berambut putih, beralis putih, berkulit putih masuk ke dalam ruang serba guna hendak memeriksa siswi itu. Ia seorang manusia albino. Manusia yang tubuhnya tidak menghasilkan warna. Manusia yang zaman dulu dianggap sebagai jelmaan setan.

Para laskar segera berkumpul dan mengelilingi cewek itu. Mereka memasang tampang tidak senang. Tampaknya mereka sudah saling kenal.

“Kamu melakukan pembersihan dengan kekuatan setan! Setan tidak mungkin mengusir setan. Sebab jika demikian kerajaannya akan hancur!” teriak salah satu laskar kristen.

“Keberadaanmu di ruangan ini akan mengganggu proses pembersihan, karena dosa-dosamu, hai manusia syirik yang bersekutu dengan jin!” teriak salah seorang laskar muslim.

Siswi albino itu berdiri dan memandangi teman-teman satu sekolahnya yang menghakiminya. Padahal ia sudah menyelamatkan satu nyawa di saat paling genting. Tapi ia tidak di terima di sana. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu ke pintu keluar. Sesampainya di pintu dia berhenti. Lalu ia tertawa tergelak, “Ha..ha..ha…,” sambil bertepuk tangan. Plok! Plok! Plok!

“Sungguh Florensia, performance-mu luar biasa. Sudah seperti aktris Hollywood.”

Mendengar ocehan siswi albino itu, panas telinga para laskar. “Heh, jangan tidak sopan ya!”

Siswi itu berbalik badan dan menunjuk ke arah Ibu Florensia seraya berkata, “Setan yang sesungguhnya sedang berdiri di ujung sana. Noh!”

Para laskar langsung naik pitam. Karena orang yang mereka hormati dituding sebagai setan. “Beraninya kamu menista!” “Sesuci-sucinya lo, tidak mungkin lebih suci dari Ibu Florensia! Bagaimana lo bisa bilang Ibu Florensia sebagai setan”

Siswi albino itu tertawa dan berkata, “Yaa…. tergantung definisi setanmu itu seperti apa. Lagipula tahu dari mana kalian kadar kesucian seseorang? Atau kalian menelan bulat-bulat propaganda yang keluar dari mulut seorang Florensia? Bahwa dia dan kalian adalah orang suci?”

“Lo, tahu apa? Apakah lo bisa membuat mujizat seperti Ibu Florensia? Hanya manusia suci yang dipilih oleh Allah dan berkenan di hadapanNya yang dapat melakukan mujizat di muka bumi!”

“Jadi hanya karena dia melakukan sesuatu yang menurut kalian aneh, luar biasa, di luar akal, kalian jadi seperti kerbau yang dicokok hidungnya dan menelan semua yang keluar dari mulutnya begitu saja?”

“Lo!”

“Bukankah Alkitab lo mengatakan iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat terang? Pekerja-pekerjanya menyamar sebagai pekerja-pekerja kebenaran? Bukankah di Islam ada istilahnya…mmm apa tuh… talbis iblis?”

“Lo yang iblis! Munafik dan kafir! Lo urus saja YouTube channel-lo. Pakai itu ilmu lo buat cari uang dan popularitas, seperti dukun-dukun di luar sana. Ibu Florensia tidak pernah menguangkan anugerah yang ia dapatkan dari Allah. Tidak seperti kaum kalian.”

“Kaum? Wah mudah sekali ya, KAUM kalian melabel-labelkan orang. Ya setidaknya, gue kan gak minta-minta duit sama orang tua, kayak KAUM anak manja papi dan mami,” sindir si siswi albino dengan tersenyum.

 “Cukup!” potong Ibu Florensia. Kemudian dia berjalan menghampiri cewek Albino itu. Namun sungguh tiada kemarahan yang tergambar di raut wajahnya. Lalu dia memeluk siswi albino itu dan berkata, “Aku mengasihimu. Terima kasih sudah menolong siswi yang tadi.”

Setelah itu ia berbalik ke murid-muridnya dengan sabar dan lembut, “Sudah, sudah… jangan nodai kesucian kalian dengan kemarahan. Kemarahan hanya akan membawa kita ke hal-hal yang negatif. Dia hanya bermaksud baik dan berpesan untuk menguji segala sesuatunya. Sekarang, kita bantu dulu teman-teman kalian. Mereka butuh pertolongan.”

Tanpa bicara lagi, Ibu Florensia dan para laskar kembali merawat siswi-siswi yang terluka.

“Cih!” Siswi albino itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas.

Kalian tertipu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status