Share

BAB 0: Perundungan

Tujuh tahun kemudian. 

SMAN 696. Sekolah macam anak tiri tak terurus. Temboknya dekil, cat mengelupas, cemong sana-sini dengan coretan grafiti di tembok luarnya, kayu kusen-kusen pintu dan jendela sudah pucat dan retak kena terik dan hujan, memohon untuk kena dempul dan pelitur lagi.

Para murid berpakaian suka-suka. Yang adam kerahnya terangkat, kancingnya terbuka sedada, rambutnya mengkilap tersemir pomade. Sementara yang hawa, bajunya ketat-ketat, menonjolkan perbukitan kembar berdiameter rupa-rupa, roknya pendek-pendek, yang bila orangnya membungkuk, membuat kaum adam bersiul-siul mengagumi ciptaan Yang Maha Kuasa dengan gemas.

Di sudut lain, asap putih rokok mengepul di anak tangga. Puntung-puntung rokok berserakan di lantai. Guru-guru yang lewat tak berani menegur mereka. Mereka hanya menatap sebentar dan geleng-geleng. Tatapan mereka pun dibalas dengan tatapan - “Apa loh lihat-lihat…” Guru-guru wanita yang terbilang masih muda mereka goda dengan siulan-siulan genit dan pandangan yang membuat risih. Cuman beberapa saja yang menggoda yang sudah tua. Kan,  tiap orang punya selera. Tapi ini benar-benar tidak ada hormat-hormatnya.

Namun, “Tok, tok, tok…” terdengar suara ujung tongkat mengetuk lantai sekolah yang sebagian sudah pecah-pecah. Mendengar suara itu semakin dekat, mereka yang tadinya bersikap tak sopan langsung terdiam. Suara tongkat itu begitu khas, bahkan dari iramanya saja para murid sudah tahu siapa yang datang. Sosok itu melintas di depan murid-murid itu. Semua yang ada di situ segera ingat Tuhan, berdoa, berharap manusia itu segera berlalu. Tep, doa anak nakal tidak mustajab, dia berhenti. Anak-anak tersebut kaget. Badan orang itu kaku tak bergerak, tapi kepalanya menengok cepat. Rambut pendeknya yang mayoritas sudah beruban ikut berayun. Ketika pandangan matanya yang sipit itu menuju ke anak-anak itu, mereka langsung mematikan dan menyembunyikan rokoknya di belakang punggung, serta menyapu puntung-puntung yang berserakan dengan kaki dan menginjaknya di bawah sepatu mereka. Tak berani mereka beradu pandang dengan guru yang satu ini. Setelah itu guru itu menengok ke depan dan melanjutkan langkahnya. Dia berlalu sambil berkata, “Tuhan mengasihimu, Tuhan mengasihimu…”

Di sisi lain dari sekolah di balik semak-semak nampak seorang anak laki-laki yang wajah dan baju seragamnya penuh coretan. Ia tak memakai celana dan sedang menangis, kebingungan dan malu. Ia baru saja kena bully. Inilah salah satu pemandangan yang kerap terjadi di sekolah ini.

Di sekolah SMAN 696 tidak ada orang yang mau dicap aneh. Apalagi oleh murid yang berkasta lebih tinggi. Sekali kena cap, bisa jadi bulan-bulanan sampai lulus sekolah. Bisa-bisa membawa trauma sampai tua. Bahkan katanya sudah ada yang sampai bunuh diri. Perundungan di sekolah ini memang parah. Mereka yang lebih cool, lebih kuat, lebih cantik akan menindas mereka yang lebih inferior - kaum pecundang. Seakan mereka memiliki hak dan priveledge untuk melakukannya, dan korbannya punya kewajiban tuk menerimanya. Melapor ke guru juga percuma, paling para pelaku hanya mendapatkan peringatan. Setelah itu pelapor akan kena masalah lebih gawat lagi.

Bagi sebagian orang cap itu tak terelakkan, seperti sapi yang tak bisa menolak tubuhnya distempel dengan besi panas. Takdir. Dan takdir itu mulai tertarik dengan seorang gadis bernama Linda, murid kelas dua belas yang baru pindah empat bulan lalu.

Linda selalu mengenakan jaket hoodie abu-abu dengan tudung yang selalu menutupi kepalanya. Ia mengenakan kacamata yang tidak biasa -  framenya besar dan tebal, lensanya bulat dan hitam hampir pekat - menempel rapat di wajah mirip kacamata tukang las. Bahkan itu memang kacamata tukang las yang dimodifikasi. Salain itu Rambutnya yang bergelombang selalu jatuh menyembunyikan wajahnya. Tubuhnya kecil dan kurus. Itu merupakan profil yang pas masuk dalam kategori kaum pencudang.

Linda mulai masuk radar sekelompok geng cewek. Bak bangkai menarik burung nazar. Sialnya burung-burung itu satu kelas dengannya, Andrea, Siska dan Dewi. Mereka dengan mudah mengintai mangsanya. Andrea adalah ketua geng Andromeda, wajahnya mirip orang bule dari Moldova. Rambutnya tidak sepenuhnya hitam, rada kecoklat-coklatan. Sementara Siska tipikal “pribumi” kulitnya sawo matang. Tak kalah cantik dari Andrea, namun ia sering iri dengan kulit Andrea yang putih. Sementara Dewi ia mirip dengan artis Korea. Mereka bertiga sedang menanti waktu yang tepat untuk menyantap korbannya.

Suatu siang di jam pelajaran matematika, Linda izin ke belakang. Karena datang tamu bulanan.

Melihat mangsa akan pergi ke tempat sepi, tak lama kemudian Andrea memberi kode kepada Dewi dan Siska untuk menyusulnya. Ketiganya serempak keluar dari meja dan maju ke depan. “Bu, kami mau ke belakang,” ucap ketiganya sambil lalu tanpa menunggu izin. Sang guru hanya memandang kepergian mereka dan menghela nafas panjang.

WC wanita kondisinya lembab, kotor dan bau. Aromanya lebih pesing dari toilet pria. Bahkan ada sedikit aroma tinja. Karena lubang toilet bilik keempat yang paling kanan mampet oleh pembalut wanita. Kotoran manusia berbentuk gundukan menumpuk melewati batas air di lubang. Padahal sudah terpasang kertas peringatan yang dilaminating, jangan membuang pembalut di toilet, nanti mampet.

Linda baru saja selesai dengan urusannya dan mencuci tangan di wastafel. Setelah itu ia mengecek hapenya sebentar. Sementara itu Andrea, Dewi dan Siska yang dari tadi sudah menunggu di dekat pintu masuk, melangkah mendekat. Linda menyadari kedatangan mereka lewat pantulan di kaca. Dari sikap tubuh ketiganya Linda merasakan gelagat tidak enak. Linda segera membuat tanda salib kecil.

Sekonyong-konyong Andrea meremas pantat Linda dan berkata, “Hai anak manis.”

Anak manis. Kata-kata itu terdengar seperti, “Hai domba yang lezat” diucapkan oleh sergiala-serigala besar jahat yang lapar.

Linda langsung menepis keras tangan itu dan berbalik melangkah hendak melewati mereka secepatnya. Akan tetapi Andrea segera menghalanginya dengan memasang badan. Linda ke kiri, Andrea ke kiri, Linda ke kanan, Andrea ikut ke kanan. Lalu Andrea mendorong kedua pundak Linda hingga ia terdorong dan punggungnya menabrak tembok.  Buk!

“Bletak!” Hape Linda jatuh ke lantai. Kaca pelindungnya langsung pecah retak. Andrea menendang hape itu ke pojok ruangan.  “Hee…. mau kemana?” tanya Andrea dengan nada mengayun. “Sopan sekali main pergi begitu saja, setelah lo bikin sakit tangan gue? Ayo minta maaf…”

Linda diam tak merespon. Ia sangat benci situasi ini. Kenapa sealalu saja ada orang-orang yang selalu ingin menganggunya. Padahal dia sudah berusaha menyendiri, menjauh dari mereka.

Andrea menampar-nampar kecil pipi Linda, “Plok! Plok! Plok!” “Bisu ya? Hemm… mungkin dia perlu sedikit motivasi.” Andrea berpikir sebentar dan melihat ke sekeliling. Ia melirik ke keranjang sampah di dalam bilik dan sebuah ide berkelebat. Ia berjalan ke sana dan memungut sebuah pembalut bekas yang masih basah dari dalamnya. Ia kembali dengan memegang ujungnya dan mendekatkannya ke mulut dan hidung Linda.

“Gua yakin dia akan bicara kali ini. Ayo minta maaf,” kata Andrea.

Bau anyir darah kotor di pembalut itu membuat Linda refleks menutup mulut dan hidung seraya memalingkan muka. Namun Siska dan Dewi menarik tangan dan memegangi pundaknya agar Linda tidak dapat menghindar dari pembalut itu.

“Ayo minta maaf!” perintah Andrea untuk ketiga kalinya. Linda menunduk.

Sikap Linda membuat Andrea jengkel. “Minta maaf gak, bangsat!” Ia tarik tudung jaket Linda, seraya membekap rapat-rapat mulut dan hidungnya pakai pembalut.

Sontak Linda memberontak dan menjerit, Kepalanya berusaha meloloskan diri, tapi tak bisa. “Mmm…mmm…mmmm!” 

“Makan, nih, makan, enak kan?! Makan tuh pembalut,” maki Andrea.

Alis Linda mengernyit. Saat ia berusaha menggapai nafas, ada cairan yang masuk ke hidungnya. Sengat baunya makin menusuk dan bikin mual. Refleks ia menendang sembarang dengan lutut. Tak sengaja mengenai area vulva Andrea. “Duk!”

“Anjing!” Andrea mundur tergopoh sesaat, lalu jatuh berlutut, memegangi area kewanitaannya. Andrea meringis kesakitan di lantai. Ia mencoba mengatur nafasnya untuk mengurangi rasa nyeri.

“Andrea kamu gak apa-apa?” tanya Siska.

 “Gak apa-apa. Pengangin si kampret, jangan sampai kabur.”

Untuk sementara Linda dapat bernafas sedikit lega. Meskipun bau amis tak hilang dari hidungnya dan wajahnya cemong oleh darah mens.

Tiga menit kemudian nyeri itu mulai reda. Tapi emosi Andrea mendidih. “Hih!” Telapak tangannya menggampar kepala Linda “PAK!” Setelah itu ia menarik kacamata Linda lepas dan membantingnya ke lantai “Tak!” “Kacamata aneh kayak gini buat apa sih dipakai terus!” Andrea menginjak benda itu hingga remuk. “Kretek!” 

Linda menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya.

“Lihat gue!” teriak Andrea. Ia tak suka tak tak dapat melihat wajah lawannya. Ia jambak rambut Linda hingga kepalanya mendongak. Seketika mereka semua kaget, melihat sepasang mata yang melotot lebar, tanpa berkedip seperti setan film horor sedang menakut-nakuti penduduk kampung. Bulu kuduk mereka sampai berdiri.

“Perih…. perih….,” rintih Linda. Matanya terasa sangat kering. Ia memiliki kerusakan di matanya, hingga matanya tak dapat menutup seperti ikan dan kelenjar air matanya tak berfungsi baik.

“Ini anak, matanya kok begini?” komentar Siska. “Cacat lo ya! Hahahaha…. Anak cacat!”

“Gue minta maaf… plis… udah,” mohon Linda.

“Heh? Minta maaf, wuah kok tumben,” balas Siska. Mendengar permohonan Linda, malah membuat Andrea merasa di atas angin. Dia menemukan ide permainan baru lagi. “Hei, hei… bagaimana kita adu siapa di antara kita yang bisa buat ini anak berkedip.”

“Setuju!”

“Gue….gue…gue ada ide,” kata Siska, “Tolong gantian pegangin tangannya, Han.” Keduanya bertukar posisi. 

Siska mengambil hapenya dari kantong dan membuka aplikasi kamera. Ia arahkan lampu kilatnya ke mata Linda, dan “JEPRET!” blitz menyala tepat di depan kedua bola mata Linda.

“Aduh, silau!” keluh Linda.

Geng Andromeda tertawa-tawa mendengar Linda kesakitan. Siska pun semakin bersemangat menjepretkan kamera hapenya. Kilatan cahaya itu terasa bagai silet menyayat matanya.

“Udah…udah….,” Linda memohon.

 “Wow, dia memang tidak mengedipkan matanya. Dasar orang aneh,” ejek Siska.

“Dah, sekarang giliran gue,” kata Dewi. Dewi dan Siska bertukar posisi.

Dewi merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah pisau lipat. “Gue yakin kali ini dia bakal berkedip.”

Dewi mendekatkan ujung mata pisaunya ke kornea Linda. Jaraknya semakin dekat dan dekat, terpisah hanya selembar rambut. “Ayo kediiiiiiip… masak sih gak bisa,” perintah Dewi gemas. Saking gemasnya Dewi berniat menggores bola mata Linda.

Tiba-tiba.

“Hei! Apa yang kalian lakukan!” bentak seseorang dari arah pintu masuk. Semua yang ada di WC itu kaget dan menoleh. Ternyata seorang guru pria. Namun kehadirannya tidak membuat nyali ketiganya ciut. Andrea tersenyum remeh. Dipandanginya guru itu dari ujung rambut hingga ujung kepala. “Mau apa bapak di sini, mau ngintip ya?” ucap Andrea dengan nada binal. Ia  angkat tepian rok abu-abunya, naik hingga perlahan menyibak paha kanannya. Guru itu jadi salting dan menelan ludah karena rok itu terus naik hingga ke ujung celana dalam. Andrea meraih tangan guru itu dan meletakkannya di paha sisi dalamnya. Ia tekan naik ke atas pelan-pelan, mendekati…. Sekonyong-konyong ia berteriak,  “Tolong! Tolong! pelecehan seksual! Ada pelecehan!” Guru itu kaget bukan main dan langsung lari tunggang-langgang keluar dari WC.

Andrea dan kawannya tertawa-tawa, “Hahaha… Guru bodoh,” ejek Siska.  “Benar-benar bodoh,” timpal Dewi dan Siska.

“Trik murahan,” potong seseorang.

“Siapa!?”

Seseorang melangkah masuk ke WC. Cahaya matahari tepat di belakangnya menyembunyikan wajahnya. Andrea dan kawan-kawan kesulitan mengenalinya karena silau. Namun senyum mereka seketika langsung sirna ketika sosok itu makin masuk ke dalam dan terungkap identitasnya.

“Beni! Mau apa kau ikut campur?” tanya Andrea.

Badan cowok itu lebih tinggi dari semua cewek di situ dan agak kekar. Pandangannya melewati pundak Andrea. Bola mata Andrea melirik ke sudut mata mengikuti pandangan itu.

“Demi pecundang itu? Seleramu memang makin rendah saja sejak kau berteman dengan si albino. Apa istimewanya cewek satu ini.”

“Itu urusanku, kau tak ingin menghalangiku kan?” tanyanya santai dan terus maju. Kaki Andrea refleks mundur selangkah. Tapi ia berusaha menutupinya kegelisahannya. Ia kembali melangkah maju dengan percaya diri dan menempelkan tubuhnya ke Beni. Jari tengahnya menyusuri dada Beni, perlahan berbelok ke samping menuju putingnya. Di sana ia memijit-mijit kecil. “Mengapa kita tidak bersenang-senang, kita bully cewek aneh itu bersama,” tawar Andrea, “Atau… mungkin lo lebih ingin bersenang-senang dengan cara lain, hem, bagaimana?” goda Andrea seraya melepas tiga kancingnya teratasnya.

“Krak!”

“AWWW!” Andrea bertekuk lutut meringis kesakitan memegangi jari tengah kanannya yang patah.

“Andrea!” teriak Dewi dan Siska dan segera menolong temannya.

“Ce..cepat, keluar dari sini,” ajak Andrea. “Iya, ayuk.” Mereka tidak lagi berani macam-macam.

“Awas kau Beni!” maki Siska dari jauh.

Setelah mereka pergi, Linda segera kembali menutup kepalanya dengan tudung hoodie dan menyembunyikan wajahnya.  Ia bersihkan wajahnya dan basahi matanya dengan air dari wastafel.

“Apakah kamu tak apa-apa?” tanya Beni kepada Linda. Linda diam saja. Beni membungkuk dan mengambil kacamata hitam yang sudah rusak di lantai. “Milikmu?” tanyanya sambil menyodorkannya ke Linda. Linda mengambilnya, namun tetap tak berucap sepatah kata pun.

Beni melihat hape Linda yang berada di pojok ruangan. Ia mengambilnya dan membukanya. Teryata di-password.

“Apa password hape mu?” tanya Beni.

Linda diam seribu bahas dan berusaha mengambil hape miliknya. Siapa pula mau kasih password hape ke orang tak dikenal. Namun Beni berkelit.

Beni mentatap tajam, setajam saat ia menatap Andrea tadi. Ia mendesak Linda sampai mundur ke pintu WC bilik keempat yang terkunci. “BANGK!” bunyi material kayu berlapis seng. Beni memukul pintu itu dengan telapaknya kirinya, tepat di samping kepala Linda. Tangan dan tubuhnya begitu dekat melewati batas intim, menguncinya. “Mau apa kamu?” tanya Linda agak takut.

“Password…”

“Gak tahu lupa,” jawab Linda.

Beni ketawa sinis. “Lupa? Oh, ok, gue ada cara untuk membuat lo ingat.” Ia berjalan ke pintu masuk WC dan menutup pintunya. Perlahan sinar matahari mulai menghilang dan WC menjadi gelap. Hanya samar-samar terlihat bayang-bayang keduanya.

“Mau apa kau?” tanya Linda gelisah.

Beni melangkah mendekat. “Kalau kamu tidak mau terjadi apa-apa denganmu, kasih aku password hapemu.”

Linda akhirnya mengalah dan membukakan akses hapenya.

Beni mengotak-atik hape itu.

Linda bergumam, “Tidak sopan!”

Beni tertawa sinis. “Aku tidak budek.”

Setelah beberapa selang berlalu.

“Masih berapa lama lagi, kembalikan!” Linda menyodorkan telapak tangannya, menuntutnya miliknya. 

“Sabar, sabar, anak zaman sekarang selalu ingin serba instan…,” ucap beni menirukan omongan para orang tua. Ia mengangkat hape Linda dan menunjukkan layarnya. “Aku sudah memasang aplikasi panggilan darurat. Tinggal geser tombol ini, maka kamu akan langsung terhubung denganku. Tanpa perlu lama-lama input password. Aku akan bisa mengetahui lokasimu dan mendengar suaramu. Gunakan ini kalau kamu di bully lagi. Sekarang minta surat izin dan pulanglah ke rumah. Gue antar ya ke ruang BK.”

Linda mencomot hapenya “Gue bisa sendiri, gak butuh bantuan lo,” tolak Linda. Ia buka hapenya dan mencari aplikasi yang baru saja dipasang oleh Beni dan hendak menghapusnya. Tapi tidak bisa. Aplikasi itu selalu meminta konfirmasi kepada hape lain yang terhubung.

“Apa yang kau lakukan dengan hapeku?” tanya Linda, “Ah sudahlah…” seraya berjalan ke luar WC sambil menabrak pundak Beni. Buk!

“Ayolah, tak usah sungkan,” kata Beni.

Linda tak menjawab dan membuka pintu WC.

“Linda, aku ingin mengenalmu! Jika ada kesempatan.”

Deg. Jantung Linda berhenti berdetak sedetik mendengar namanya dipanggil. Kontol! Lalu ia lanjut pergi meninggalkan Beni.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status