Rumah kontrakan satu lantai dengan lahan taman kecil di sekelilingnya. Di sisi kiri rumah terdapat garasi satu mobil yang beralih fungsi menjadi bengkel. Penuh peralatan dan barang, namun tertata.
Tidak ada yang aneh di bengkel yang gelap itu. Kecuali, sebuah bangku terbalik di tengah ruangan dan tepat di atasnya berayun tubuh seorang wanita. Kriet…kriet… suara tali mencekik lehernya.
Usia wanita tersebut sekitar 40 tahunan. Ia mengenakan kaos putih berlapis celana panjang kodok denim.
Tak jauh, cahaya mentari menembus kaca jendela, menyinari sebuah bingkai foto handmade dari besi, berornamen susunan gir. Frame itu bersandar di meja, membingkai momen indah wanita itu memeluk Linda remaja yang jutek. Ya, wanita itu tak lain dan tak bukan adalah….
Ceklek! Linda membuka pintu garasi. “Mama?!” pekiknya syok. Ia segera menyalakan lampu dan melempar tasnya.
Linda berlari mendekat. Alisnya mengernyit. Ia perhatikan kondisi mamanya dan tali itu dengan seksama. Lalu ia menghela nafas panjang. Kesal. Ia mendirikan kursi yang terbalik, duduk terdiam, menutupi wajahnya, menangis tanpa air mata.
Linda jadi teringat seorang pria di Jakarta Selatan yang gantung diri sambil live via F******k. Penyebabnya patah hati ditinggal oleh istrinya. Akan tetapi Linda tahu, motif mamanya gantung diri tak sama. Bahkan untuk sebagian besar orang, tak masuk akal.
“Sengggttt,” terdengar suara mekanik gir berputar dari sebuah alat potong yang terpasang di langit-langit. Tiba-tiba “TES!” tali gantung itu putus. “Gedebuk!” Tubuh mamanya Linda jatuh ke lantai. Sebuah AED (Automated External Defibrillator) yang terpasang di tubuhnya, bekerja otomatis mengantarkan kejutan listrik, mengembalikan detak jantungnya yang terhenti. Matanya langsung membelalak. Begitu tersadar, buru-buru ia melepaskan tali yang menjerat lehernya dan bergegas mengambil masker oksigen yang sudah ia siapkan. “Feeep!” ia hirup oksigen murni dari tabung O2 dalam-dalam. Ia ambil nafas berkali-kali sampai iramanya mulai teratur.
Sepuluh menit kemudian, sebuah senyum tersungging di wajah wanita itu. Lalu ia berseru, “Eureka! Aku telah menemukan solusinya!" Ia melompat menari-nari kegirangan.
Menyadari kehadiran Linda, ia menariknya dan mengajaknya menari juga. “Ketemu, ketemu, Linda...” Tapi ia lalu berhenti, mengecek pantatnya. "Ah, mama cepirit mesti ke WC dulu nih."
Setelah selesai urusan cepritnya, ia balik ke bengkel dan duduk di depan meja kerjanya. Wanita itu tak sabar untuk melanjutkan penemuannya. Ia mengambil sebuah kacamata pintar untuk membantunya bekerja. Tangannya menyolder dan mengutak-atik komponen sirkuit di hadapannya. “Srtt!” bunyi korslet. “Ach!”
Linda memeluk mamanya dari belakang dan berkata, “Ma, memang gak bisa cari ilham pakai cara lain? Harus pakai acara gantung diri segala? Bisa kan shower air dingin, boker, atau jalan-jalan keluar?”
Mama Linda dengan bersemangat berkata, “Masalah ekstrim, butuh solusi ekstrim. Menurut teori, pada saat kondisi manusia di antara hidup dan mati. Otak kita akan mengeluarkan potensi terbaiknya. Dan di saat itulah kita akan bisa melihat jawaban yang kita cari. Akan tetapi tentu saja kita tidak bisa berlama-lama dalam kondisi kekurangan oksigen, karena….”
kekurangan oksigen, karena….”
Mama Linda sadar pelukan anaknya mengecang. Ia berbalik dan mengusap rambut anaknya beberapa saat, “Kenapa?”
Linda diam dan memeluknya semakin erat.
“Kamu mengkhawatirkan mama?”
Linda mengangguk. Wanita itu memeluknya. “Oh, maafkan mama.”
Mama Linda, Jeni memang orang yang eksentrik. Cara kerja Otaknya sedikit berbeda dengan manusia lain, selalu meletup-letup dengan ide. Ide-idenya terbilang aneh atau bahkan ekstrim.
Kemudian Jeni menyadari sesuatu. Ia mengangkat wajah Linda. “Kemana mocem-mu?”
Mocem singkatan dari Moisture Chamber.
“Rusak.”
“Aduh, apakah matamu baik-baik saja?” Jeni memeriksa keadaan mata Linda.
“Perih ma.”
“Wah, iritasi merah. Kok bisa rusak?” tanya Jeni segera mengambil obat mata dari kotak P3K.
“Kena bully lagi di sekolah.”
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Jeni was-was.
Linda terdiam sesaat dan menunduk. “Tidak ada murid lain yang terluka, jika itu yang mama khawatirkan,” jawab Linda pelan.
Jeni menatap Linda dalam-dalam. “Linda, mama secara spesifik bertanya tentang kondisi kamu, bukan orang lain.” Ia mengecek tubuh Linda memastikan tidak ada luka yang berarti. Setelah itu baru Jeni bertanya, “Benar, tidak ada murid yang terluka?
Linda mengangguk.
Jeni lega mendengar itu. Karena itu artinya mereka tak harus pindah rumah, pindah sekolah, atau pindah kota lagi. Situasi keuangannya sedang tidak bersahabat.
Entah sudah berapa kali mereka harus berpindah-pindah seperti manusia nomaden. Itulah alasan mereka kini tinggal di kontrakan, agar mudah lebih pergi jika diperlukan.
“Aku hampir melakukannya lagi, sih, ” aku Linda.
Jeni menghela nafas. Kemudian dia memeluknya. Setelah itu ia menyandarkan keningnya di kening Linda. “Itu bukan seluruhnya salahmu. Suatu hari kita akan menemukan solusi untuk masalahmu.”
Jeni mengambil sebuah mocem dari laci. “Ini.”
Linda mengambil kacamata itu dari tangan mamanya dan memakainya. Akhirnya matanya bisa terasa lebih nyaman.
Setelah itu Linda melirik ke alat yang sedang dikerjakan mamanya. “Apa itu?”
Jeni menengok ke benda yang dimaksud oleh Linda. Lalu ia balik ke mejanya dan kembali mengenakan kacamata pembesarnya. “Ini… Pintu Doraemon.”
Linda menaikkan alisnya mendengar jawaban itu. Mamanya memang suka membuat barang-barang aneh, misal saja Sarung Tangan Perogoh Sukma – S.T.P.S. Terakhir kali alat itu dites ke kucing jalanan. Alhasil kucingnya malah mati.
Kata Jeni arwah kucingnya yang enggan balik. Jadi itu keputusan si kucing, bukan salah alat dia. Semenjak itu menjelang magrib sering terdengar suara mengeong di bagian tertentu dari sudut rumah. Mungkinkah berasal dari hantu kucing itu?
Linda berjalan menuju lemari baju mamanya. Lemari itu juga korban daya kreativitas Jeni. Dari luar lemari itu seperti lemari pada umumnya, terbuat dari kayu, berbentuk kotak dan memiliki dua daun pintu. Setelah Linda menggeserya. Viola isinya sebuah tempat tidur seperti di film Doraemon, melintang di tengah-tengah lemari. Inilah selera mamanya Linda yang lebih memilih untuk tidur satu ruangan dengan pekerjaannya.
“Hei, Linda, kamu baru dari luar belum ganti baju. Jangan naik ke ranjang mama. Kotor, ih, jorok! Mandi dulu dan ganti baju,” protes Jeni.
“Udah mah tadi, cuci muka.”
“Cuci muka itu bukan mandi.”
Waktu SMP Linda suka masuk ke dalam lemari itu. Ia menyukai aromanya, ada wangi kayu manis. Selain itu mamanya kada membuat kompartmen rahasia di dalamnya. Cara bukanya pun berbeda-beda. Terkadang juga di dalam satu kompartmen tersembunyi kompartmen rahasia lainnya.
Mencari tahu cara membukanya, merupakan sesuatu yang menarik bagi Linda. Terkadang ia juga menemukan barang-barang yang tak kalah menariknya, seperti DVD berjudul Tarzan dengan gambar sampul pria kekar dan wanita cantik yang seksi.
Linda menghiraukan mamanya, melepas sepatunya, dan memanjat naik ke atas tempat tidur. Iseng, ia meraba-raba sisi dalam lemari itu untuk mencari-cari sesuatu yang baru. Dan ternyata benar saja, di bawah matras, ada sesuatu yang mencurigakan. Kalau permukaannya diketok terdengar bunyi kopong. Sebelumnya tidak begitu. Jika benar itu kompartment rahasia baru, bagaimana membukanya?
Hemm… mungkinkah hiasan magnet kulkas - pembuka botol yang menempel di dinding kayu tepat di depan mukanya merupakan jawabannya. Pasti kuncinya pakai mekanisme magnet. Terlalu sederhana teka-teki ini. Ia pun mencabut benda itu.
Seketika itu juga pintu lemari menutup rapat dengan sendirinya. “BRAK!”
“Loh, ma, kok lemarinya tidak bisa dibuka,” panggil Linda dan menggedor-gedor pintunya.
“Ha..ha..ha… rasakan anak usil, terperangkap seperti tikus. Kamu pikir akan mama biarkan terus kamu mengutak-utik lemari mama yang sakral?”
“Ah, kontol! Bukain!”
“Buahahahaha… kalau memang kamu suka teka-teki, carilah cara untuk keluar dari situ.”
Linda kesal dan menendang-nendang pintu lemari itu.
“Heh! Heh! Kalau pintu lemari mama rusak, tak ada makan malam untukmu!” ancam Jeni.
Linda terdiam. Ancaman perut lapar, memaksanya mencari jalan lain. Gak mungkin mamanya tidak membuat jalan keluar. Kalau dia sendiri yang tak sengaja terjebak, bagaimana?
“Maaa… kasih petunjuk!”
“Baiklah…. daripada kamu jadi tengkorak di dalam sana. Ini petunjuknya. Kalau kamu bisa kembalikan waktu, apa yang akan kamu lakukan dalam situasi ini?”
“Tidak mencabut hiasan magnetnya.”
“Nah, itu.”
Semudah itukah? Linda memasang kembali hiasan magnet – pembuka tutup botol kembali ke tempatnya. “Cklak!” Setelah ditunggu, tidak terjadi apa-apa.
“Maaaa….. masih belum kebuka!”
“Ya pikir donk, jangan malas ah.”
“Aaa, kasih tahu aja deh.”
“Ogah.”
Linda berpikir keras. Hemm…. kembalikan waktu… kembalikan waktu…. kembalikan waktu… waktu yang kembali akan berputar berlawanan jarum jam… apakah…?
Linda menjajal dugaannya, ia putar hiasan magnetnya kulkas itu ke kiri. “Klik!” terdengar sesuatu masuk pada tempatnya.
“Slep!” suara pintu lemari terbuka. DAN.... “Srek!” suara kompartment rahasia berukuran 30 x 20 terbuka.
“Eureka!” ucap Linda.
“Dah? Anak tikus dah bisa keluar, sekarang mandi sana, jangan kotori tempat tidur mama lebih lama lagi. Tapi lagi-lagi Linda menghiraukan mamanya dan mengecek isi kompartment baru itu. Ternyata di dalamnya hanya terdapat sebuah hape usang. Samsung model lama. Cat body-nya sudah memudar dan baret-baret. Anti goresnya pun sudah banyak goresan. Layarnya agak retak. Di belakangnya ada stiker lambang ghostbuster.
Hemm… buat apa mama menyimpan hape sudah jelek seperti ini?
Linda menyalakannya. Mungkin isinya ada sesuatu yang menarik. Ia membuka folder foto. Isinya hanya foto-foto tempat yang terlihat seram. Tidak ada yang spesial. Kemudian terlintas di benaknya untuk merekam mamanya yang sedang sibuk.
Linda angkat dan arahkan kamera itu ke mamanya. Tetapi ia langsung kaget, karena tiba-tiba ia melihat seekor kucing yang bergerak melintas, tanpa menggerakkan kakinya. Ia turunkan kamera itu untuk memastikan penglihatannya. Ternyata tidak ada kucing. Ia angkat lagi. Juga tetap tidak ada. Dia coba arahkan kamera itu ke sekeliling, tapi ia sudah tidak bisa menemukan kucing ajab itu.
Linda hendak mengecek rekamannya untuk memastikan apakah ia benar-benar melihat kucing. Akan tetapi sebelum ia sempat memeriksanya, Jeni mengerek Linda keluar dari tempat tidurnya. “Keluaaarrrrr….!” Lalu ia merebut hape itu dari tangannya.
“Bentar, ma mau cek sebentar.”
“Hush, hape orang main cak cek cak cek.”
“Mama juga suka cek hape Linda.”
“Itu tugas orang tua memonitor anaknya.”
“Orang tua juga perlu dimonitor anaknya,” ucap Linda dengan pandangan mengingatkan DVD temuannya dulu.
“Hush, kalau sudah dewasa kamu baru bisa gak perlu dimonitor. Kamu bebas menentukan pilihan hidup dan menanggung resikonya sendiri. Sebelum waktu itu tiba, aturan mama yang harus kamu ikuti.”
Setelah itu Jeni menyimpan hape itu di kantongnya.
Linda jadi penasaran banget. Ugh! Apa iya, itu kucing yang mati dites sarung tangan dirogoh sukmo? Atau ia cuma salah lihat.
Selagi Linda penasaran sendiri. Raut wajah Jeni berubah agak sedih. Hape itu menyimpan suatu kenangan di masa lalu.
Kedua bibir Mbah Moen mengatup rapat, alisnya mengernyit, matanya menatap lekat mayat istrinya yang hancur untuk terakhir kali. Suami mana yang tak pedih melihat tubuh istrinya dikoyak-koyak tanpa hormat. Keparat! Akhirnya ia berbalik dan pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan. “Hei! Mau kemana kau!?” hardik si Janggut melihat Mbah Moen melarikan diri. “Jangan pergi sebelum kau kasih tahu rahasiamu!” Amarah Mbah Moen berkobar seperti hutan rimba kebakaran akibat terik. Ia menyalahkan dirinya atas ketidakmampuan menyelamatkan istrinya. Semua itu harus ia tebus dengan penghukuman diri. Berlari Mbah Moen ke atas gunung secepat mungkin. Tapi langkahnya berat seperti tergandul bola besi. Nafasnya terengah-engah tak seperti biasa. Akibat perkara dunia memenuhi relung hatinya.
Meskipun dalam keadaan sekarat Mbah Asih masih bisa mengenali ekspresi suaminya. Mata yang teralih ke sana kemari, berfokus hanya kepada pendengarannya seakan ada suara datang dari berbagai arah. Setan laknat itu pasti sedang menggoda suaminya. Setan terkuat Gunung Wijen dikunci di dalam kerajaan gaibnya sendiri oleh Mbah Moen. Bukan karena Mbah Moen lebih kuat darinya melainkan makhluk itu telah salah langkah hingga terjebak. Sejak itu sosoknya tak dapat pergi meninggalkan kerajaannya sendiri. Namun demikian ia masih bisa melakukan kontak batin dari kejauhan dan kekuatannya masih bisa sedikit menggapai keluar. Itu alasan Mbah Moen mencegah orang-orang untuk naik ke gunung ini. Agar tidak ada manusia terjebak jeratan tipu muslihatnya yang sehalus jaring laba-laba dan menggoda hati manusia yang lemah. Hati yang haus dengan keinginan-keinginan yang tak tergapai. Selayak air menggoda kerongkongan yang kering. Bertetangga dengan makhluk astral semacam itu
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana. Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup. Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya. Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali. “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang.“Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar.Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!”Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirianteguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu