Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Ibu Susu untuk Bayi Gaib

last updateLast Updated : 2025-02-26
By:  Hayisa AaroonOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
0 ratings. 0 reviews
26Chapters
2.2Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Sebuah kisah gelap tentang keputusasaan, kengerian, dan harga sebuah keibuan Tini, ibu muda berusia 19 tahun, terpaksa menerima tawaran menjadi ibu susu di rumah Joglo mewah milik Nyonya Arini. Keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Di balik kemegahan ukiran kayu jati dan aroma melati yang memabukkan, tersimpan rahasia kelam tentang keluarga ningrat yang terobsesi memiliki keturunan. Saat Tini menyadari bahwa bayi yang harus disusuinya tak seperti bayi pada umumnya, ia sudah terlanjur terikat kontrak mistis yang tak bisa dibatalkan. Kisah horor Jawa ini akan membawa pembaca menyusuri lorong-lorong gelap rumah Joglo, menghadapi pertanyaan mengganggu tentang makna keibuan, dan harga yang harus dibayar untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan kehadiran seorang anak. --- "Setiap wanita memiliki lukanya sendiri. Jangan tambah dalam dengan pertanyaan yang tak perlu." Sebuah pengingat bahwa di balik senyum sopan dan jawaban klise "belum rejeki" dari mereka yang belum dikaruniai anak, mungkin tersimpan kepedihan dan pergulatan batin yang tak pernah kita pahami. Novel ini mengajak kita merefleksikan kembali sensitivitas dalam berinteraksi dengan sesama, terutama terkait isu kesuburan dan keibuan yang begitu personal. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini diplagiat, tolong lapor ke Ig/fb: @hayisaaaroon. Terima kasih, selamat membaca, semoga menghibur dan bermanfaat. 

View More

Chapter 1

1. Mengetuk Udara

Tangan Tini mengetuk udara saat pintu berdaun ganda dipenuhi ukiran rumit itu tiba-tiba terbuka, nyaris buku-buku jarinya mengenai perut besar perempuan luar biasa cantik dalam balutan kebaya mewah. 

Tini yang tertegun sampai tergagap ketika perempuan itu memerintah masuk. Pandangannya tak sanggup lepas, terkagum pada sang calon majikan yang melangkah anggun menuju ruang tamu sembari menyelimutkan selendang batik ke perut buncitnya. 

Sampai-sampai Tini tak memperhatikan langkahnya, terjagal undakan pintu. Namun beruntung, perempuan itu urung terjerembab ketika sebuah tangan dengan cepat menahan lengannya. 

Sontak Tini menoleh dan napasnya tertahan saat tak mendapati seorang pun di belakangnya. 

Sedang yang bisa dirasakannya, hanya angin dingin menyapa, membelai kebaya hijau bercorak daun usang dan jarik motif semen rantai yang membalut pas tubuhnya. 

Lantas Tini menengok cepat ke kanan kiri, tapi teras rumah Joglo yang dibangun tepat menghadap Gunung Ungaran itu begitu sepi dan suram. Pintu pagar pun masih tertutup rapat dan tubuhnya meremang dengan perasaan aneh.

Tini ingin menepis peristiwa ganjil itu, namun sensasi hangat pada lengannya bahkan masih jelas terasa dan gambaran sekilas tangan kokoh pria yang menahannya sungguh nyata.

“Sampai kapan kamu mau berdiri di situ …?!”

Sontak suara Nyonya Arini membuat Tini tersentak, lalu dengan tergagap ia berkata,

Nga-ngampunten, Nyonya …! Tadi … seperti ada orang di belakang saya.”

Tini cepat-cepat membungkuk, memohon maaf. Lantas melangkahi ambang pintu seraya menyapukan pandangannya pada ruang tamu didominasi furniture apik, bahan kayu jati kualitas terbaik. 

Sedang keseluruhan bufet serta meja dan kursi dihias ukiran rumit bunga-bunga cantik berlapis pelitur cokelat tua.

Perempuan itu kemudian duduk bersimpuh di lantai, tepat di depan meja, sedang majikannya duduk di kursi bersandarkan bantal putih. 

“Tumini sudah kasih tahu kan, akan kerja apa kamu di sini? Jadi, saya mau periksa badan kamu. Tidak boleh ada koreng atau penyakit kulit sedikitpun.”

“Sudah Nyonya.”

“Bagus …!” ucap Nyonya Arini seraya beranjak dari duduknya. “Tumini bercerita kalau dia sudah memeriksa badan kamu, tapi saya ingin memastikannya sendiri. Ayo sekarang masuk kamar, lepas semua baju kamu …!”

Tini pun terhenyak mendengar perintah majikan barunya. Hatinya seakan membisik untuk tidak mengambil pekerjaan itu.

Sementara desas-desus tentang keluarga Nyonya Arini yang penuh keganjilan terngiang di telinganya. 

Namun mengingat tak sebutir pun beras tersisa di gubuk ibunya, Tini tak punya pilihan. 

Perempuan itu pun semakin bimbang, dua tangannya saling meremas di depan perut, sementara pandangannya tertunduk ke bawah. 

“Kenapa lagi kamu, Tini?” geram sang majikan seraya memandang sengit perempuan kurus yang hanya berdiri, tak membuntutinya. “Bener-bener kamu leletnya bukan main!” 

“Apa boleh saya kerja di bagian yang lain, Nyonya?”

Permintaan bernada sangat halus itu kemudian ditanggapi oleh majikannya dengan mendengkus sinis. 

“Duh … duh …! Tini … Tini …! Kamu itu sudah dikasih hati malah ngelunjak. Pilihannya cuma satu, jadi ibu susu anak saya. Gimana? Mau lanjut atau tidak. Mumpung belum saya periksa badan kamu. Kalau sudah saya periksa, nanti kamu tidak boleh mundur. Jadi tidak buang-buang waktu saya!”

Mendengar itu, Tini pun semakin bingung mengambil keputusan. Pikirannya seperti linglung, sebab sedari tadi sesuatu mengganggu fokusnya.

Entah apa itu, yang dirasakan Tini adalah hawa panas menjalar dengan sangat perlahan dari tengkuk menuruni tulang punggungnya, dan kini berhenti di sekitar tulang ekor. 

Padahal udara sedang dingin dan tidak ada siapapun di belakangnya. Lalu bagaimana temperatur hangat itu terus berputar-putar di sekitar bokongnya?

Sedang hawa dingin berembus dari pintu ganda yang dibuka lebar-lebar, begitu kontras dengan udara tepat di belakang punggungnya, menggerak-gerakkan beberapa helai rambutnya yang keluar dari gelungan, membuat perempuan itu meremang di sekujur tubuhnya.

“Kamu jadi mau kerja di sini atau tidak, Tini …?!” 

Sang majikan yang menjerit kesal membuat Tini tersentak. Tak biasanya perempuan kaya itu diabaikan. 

“I-iya, Nyonya …!”

Lalu sang majikan buru-buru berbalik dan menyusuri koridor rumah yang tampak gelap karena penerangan tak dinyalakan di beberapa bagian. 

Dinding kayu berpelitur cokelat di sepanjang lorong semakin menambah kesan mengerikan karena dipenuhi bingkai lukisan para ningrat berwajah tak ramah. 

“Jalan kamu berisik, Tini …!!” 

Sang majikan tiba-tiba berhenti dan membalik badan, membuat Tini yang sedari tadi berjalan dengan mengamati bingkai-bingkai berbentuk oval emas itu hampir menabrak majikannya. 

“Kaki kamu jalan yang bener, jangan pakai suara! Apalagi kalau nanti ada tamu dari keluarga suami saya, jangan sampai kamu malu-maluin! Biarpun pembantu, kamu harus punya toto kromo!” 

Njih … Nyonya …!” Tini pun mengangguk, mengiyakan perkataan majikannya, tak ingin membuat Nyonya Arini marah lagi.

Lantas Tini berjalan dengan mencoba tak menimbulkan suara sama sekali di lantai tegel warna merah bata. 

Ia semakin terheran dengan gaya berjalan majikannya. Kaki bersandal selop beludru merah itu bisa berjalan cepat namun tak meninggalkan kesan anggun dan yang lebih mengagumkan, perempuan bersanggul rapi itu seperti tak keberatan dengan beban di perut besarnya. 

Jika dipandang dari belakang, sang majikan seperti tidak sedang hamil. Lekuk tubuhnya begitu sempurna.

Aroma badan perempuan itu pun amat menyenangkan, seperti wangi manis melati. Tini semakin gugup jika badannya yang tak harum diperiksa perempuan nyaris sempurna itu. 

“Masuk!” seru Nyonya Arini sembari membuka pintu. 

Lalu kepalanya menoleh ke belakang, menatap pilu pintu tepat di seberang ruangan yang dipenuhi ukiran cantik sulur-sulur bunga. 

Tapi dalam satu kejapan mata, ekspresinya ganti penuh kebencian seraya memerintah, “Tutup pintu!”

Tini pun memasuki kamar dengan memandang ke arah pintu di seberang ruangan, tepat saat terdengar lirih suara laki-laki menggeram dari dalam sana.

“Tini …!” Suara melengking sang majikan seketika membuyarkan perhatian Tini pada ruangan itu. “Apa yang kamu lihat, hah?!”

Sontak Tini yang masih menahan daun pintu agar tetap terbuka cepat-cepat menutupnya dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara berisik. 

“Pintunya bagus, Nyonya …!” sahut Tini mencari alasan sembari memperhatikan Nyonya Arini menarik lepas kain jarik Sido Asih yang menutup sebuah cermin lemari besar dibingkai ukiran bunga melati. 

“Jadi pembantu di rumah orang, harus pandai jaga pandangan. Apa yang kamu lihat, dengar di rumah ini, jangan pernah kamu umbar di luar sana. Itu etika jadi pembantu, hargai saya yang kasih kamu gaji besar. Saya tidak mau mata kamu jelalatan lagi. Mengerti?”

Njihhh … Nyonya!” balas Tini dengan mengangguk seraya mendekat kepada majikannya. 

“Sekarang, buka baju. Semuanya!”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
26 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status