Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib

By:  Hayisa Aaroon  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
2 ratings
20Chapters
910views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Tini baru menginjak 19 tahun saat ia harus menjadi tulang punggung keluarga dan menjadi ibu tunggal karena dinodai majikan sebelumnya. Perempuan itu kemudian melamar pekerjaan sebagai pengasuh bayi di keluarga misterius paling kaya di desanya, di mana sang majikan selalu hamil setiap tahun hingga membutuhkan perempuan lain untuk menyusui bayinya. Namun keganjilan demi keganjilan yang dialaminya kian hari semakin merong-rong rasa penasarannya pada keluarga majikannya. Ada apa dengan keluarga ningrat itu?

View More
Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Ratu Demit
mana lanjutnya thor
2024-02-03 14:36:26
0
user avatar
Dwi Apriyana
bagus dan selalu bikin penasaran , semangat nulis kakak ......
2023-09-08 11:17:43
2
20 Chapters
1. Mengetuk Udara
Tangan Tini mengetuk udara saat pintu berdaun ganda dipenuhi ukiran rumit itu tiba-tiba terbuka, nyaris buku-buku jarinya mengenai perut besar perempuan luar biasa cantik dalam balutan kebaya mewah. Tini yang tertegun sampai tergagap ketika perempuan itu memerintah masuk. Pandangannya tak sanggup lepas, terkagum pada sang calon majikan yang melangkah anggun menuju ruang tamu sembari menyelimutkan selendang batik ke perut buncitnya. Sampai-sampai Tini tak memperhatikan langkahnya, terjagal undakan pintu. Namun beruntung, perempuan itu urung terjerembab ketika sebuah tangan dengan cepat menahan lengannya. Sontak Tini menoleh dan napasnya tertahan saat tak mendapati seorang pun di belakangnya. Sedang yang bisa dirasakannya, hanya angin dingin menyapa, membelai kebaya hijau bercorak daun usang dan jarik motif semen rantai yang membalut pas tubuhnya. Lantas Tini menengok cepat ke kanan kiri, tapi teras rumah Joglo yang dibangun tepat menghadap Gunung Ungaran itu begitu sepi dan su
Read more
2. Pria Lumpuh
Majikan Tini kemudian menuju jendela yang terbuka, lalu menutupnya rapat-rapat, begitu juga semua gorden, hingga kamar itu hanya mendapatkan penerangan minim dari celah ventilasi. Tini yang mulai menanggalkan pakaian sesekali mencoba melirik ke belakang, semakin dilanda kengerian yang tak dimengertinya. Seakan ada pasang mata lain yang memperhatikan bagaimana satu per satu pakaiannya dilucuti. Sementara sang majikan sibuk menyalakan lilin di depan meja rias yang senada warna peliturnya dengan furniture di kamar luas itu. Lalu sebuah wadah pembakaran dupa dari tanah liat juga dinyalakan, sedangkan di sisinya ada satu mangkuk tanah liat yang dipenuhi kuncup melati segar, di mana sang majikan sesekali memasukkan beberapa kuncup ke mulutnya seperti sedang memakan camilan. “Angkat tangan kamu, Tini! Rentangkan ke samping! Kaki kamu juga buka lebar-lebar!” perintah sang majikan sembari membawa wadah pembakaran dupa yang telah mengepulkan asap wangi. Kulit kuning langsat Tini yang s
Read more
3. Jadi Laki-Laki Jangan Menyusahkan!
"Ayo ditelan makanannya! Jadi laki-laki jangan menyusahkan!" Nyonya Arini masih terus menjajalkan bubur ke mulut suaminya, bahkan memencet hidung pria itu agar mau menelan makanannya. Lalu tatapan Nyonya Arini berganti pada Tumini yang menundukkan kepala. "Tum! Suap sampai habis. Awas kalau tidak habis! Saya potong gaji kamu! Omong-omong, kamu belum dapat gantinya Jumiati?" "Ngampunten, Nyonya. Belum. Jumiati yang hilang tiba-tiba dan tidak ada kabarnya sampai sekarang, membuat orang-orang takut kerja di sini." "Memangnya kamu tidak cerita ke orang-orang kalau Jumiati minggat sama selingkuhannya?!" "Sudah Nyonya." Tumini semakin membungkukkan punggungnya, agak takut menyampaikan kabar tak sedap selanjutnya. "Tapi ... banyak yang meragukan karena Jumiati tidak pernah terlihat punya selingkuhan selama ini. Yang orang-orang tahu, Jumiati pagi itu masih datang ke sini untuk mengurus Tuan Ario." "Ya sudah! Selesai menyuapi Tuan, kamu balik lagi ke dapur. Tadi bagian dapur bilang kekur
Read more
4. Jangan Suka Penasaran!
Langkah kaki Tumini yang hampir melewati kamar mandi sontak terhenti mendengar nada suara Tini yang menuntut jawaban. Rasanya perempuan paruh baya itu ingin berlalu begitu saja, namun hati kecilnya tak bisa mengabaikan Tini yang merupakan keponakannya. Lalu dengan mengusap ke belakang anak-anak rambut di dahinya yang bandel mencuat, Tumini kembali mendekat. "Sudah to Nduk ...! Jangan banyak tanya. Apa yang jadi tugas kamu di sini kerjakan. Di luar itu, sudah jangan penasaran. Mbok De tuh paling anti bawa orang kerja yang masih muda. Kayak Jumiati gitu. Kebanyakan tanya. Kalau bukan karena keluarga, Mbok De nggak akan mau bawa kamu. Di rumah ini memang sesekali kelihatan ular, tapi udah biarin aja. Mereka nggak akan gigit. Kamu belum pernah denger to ada orang kerja di sini mati digigit ular? Di sini kan jauh dari pemukiman, masih deket hutan, jadi wajar ada ular sesekali nyasar ke sini." Mendengar itu, Tini pun semakin mengerutkan dahi. "Tapi kan bahaya, Mbok De. Memangnya Nyonya
Read more
5. Weton Kamu Apa?
"Kenapa kamu tanya begitu?" Nada suara Tumini yang terdengar ceria sedari tadi tiba-tiba menjadi serius, membuat Tini semakin dirongrong rasa penasaran. "Ahh ... enggak, Mbok De. Cuma saya kayak pernah lihat di mana gitu." Tini tak menuturkan apa yang dilihatnya, ia sendiri tak terlalu yakin dengan itu. "Yo cuma mirip aja mungkin." Suara Tumini kini kembali menjadi ceria. "Tuan Ario nggak punya kembaran. Orang beliau aja anak tunggal." Tumini pun kembali sibuk memasangkan stagen, sementara Tini mengamati bagaimana Bibinya itu memasang jarik dengan sangat rapi, hingga kain bercorak motif sawat itu membalut indah tubuhnya. "Ini semua baru ya, Mbok De?" tanya Tini dengan memperhatikan motif dua sayap yang terlihat baru tenunannya. "Iya. Nyonya Rini tuh baik banget orangnya. Makanya kamu jangan bikin Nyonya jengkel. Nyonya kan lagi hamil, jadi gampang marah." Perempuan itu kemudian merapikan kebaya brokat hitam yang semakin mempercantik tampilan sederhana namun anggun itu. "Ja
Read more
6. Suami Istri yang Berkelahi
Pertanyaan itu akhirnya menolong Tini yang sesak dadanya melawan kenangan buruk di kepala. "E-enam bulan, Nyonya." Usai jeritan melengking yang membuat perempuan hamil itu terengah, kini ia menghela napas panjang. Lalu Nyonya Arini terdiam, menyandarkan punggungnya ke bantal kursi seraya mengelus ikat perut yang membalut kehamilannya yang besar. Setelah agak teratur napasnya, kemudian perempuan itu memerintah lagi, "Angkat wajah kamu, Tini!" Tini perlahan mengangkat wajah, namun pandangannya hanya tertuju pada meja di mana buku saku yang sedari tadi ada di tangan majikannya itu terbuka setelah dilempar dengan kasar. Tini pun agak penasaran dengan apa yang dituliskan oleh Nyonya Rini, karena coretan tinta merah itu bukan hanya sebuah catatan, tapi ada seperti gambar-gambar yang tak dimengertinya. Sementara sang majikan yang mengamati lebih teliti wajah pekerjanya kemudian mengangguk, kini ada kilatan senang di wajahnya yang cemberut sedari tadi. "Meskipun bodo tapi kamu cantik.
Read more
7. Kamu Kebanyakan Tanya
Saking ngerinya, Tini hampir-hampir menghambur keluar, namun mengingat Tuan Ario bahkan tak mampu berpindah, ia mencoba melawan ketakutannya. "Nyu-nyuwun sewu, Tuan ...! Saya balik badannya, nggihh ...!" Ragu-ragu tangannya terulur, menyentuh bahu Tuan Ario yang masih diam. Saat pria itu tak melawan, Tini kemudian membalik tubuhnya, hingga pria itu kini terlentang di lantai. Ia bersyukur tatapan mata pria itu tak setajam di awal. Tuan Ario yang sekarang terlihat lebih ramah, namun masih belum selesai mengamati Tini dari sela-sela rambut di wajahnya. "Duhh ... ini gimana mindahnya ke atas?" Kini Tini dipusingkan dengan tubuh Tuan Ario yang berat. Perempuan itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di ketiak pria itu dan susah payah menyeretnya. Sampai napasnya terengah dan lehernya dibanjiri keringat, namun Tini hanya sanggup memindahnya hingga ke sisi depan ranjang dan dengan sangat hati-hati menyandarkan punggung pria itu. "Tunggu ya, Tuan. Biar saya panggil yang lain bu
Read more
8. Lebih Baik Kamu Jangan Balik Lagi Besok!
Lalu ragu-ragu kakinya kembali mendekat pada majikannya dengan beberapa potong pakaian di tangannya, namun tatapan menilai Tuan Ario yang masih memandangnya dari sela-sela rambut di wajah membuat Tini kembali dilanda gugup. "Tuan Ario kok ngeliatinnya gitu, sih?" gumam perempuan itu sembari menoleh ke arah pintu ketika rumah itu kembali dikuasai keheningan. "Tapi dia kan lumpuh, nggak akan bisa macem-macem." Pandangannya kemudian beralih pada jam dinding, tak terasa waktu bergulir begitu cepat dan hari mulai merangkak siang. Perempuan itu kemudian teringat pada putrinya seraya meraba dadanya yang terasa penuh. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga ada waktu untuk sekejap pulang menyusui putrinya. Kemudian dengan menepis segala ketakutannya pada Tuan Ario, perempuan muda itu mulai menghamparkan selimut ke tubuh majikannya dan dengan telaten melucuti pakaian kotor pria itu tanpa memandang wajah yang sedari tadi menyulut ketakutan di hatinya. Hingga sang majikan kin
Read more
9. Sedikit Gila
Tini pun terdiam, mencoba mencerna kata-kata aneh majikannya itu. Lantas ia terngiang pesan Nyonya Arini tentang suaminya yang mungkin akan menyampaikan hal buruk tentang perempuan itu, membuatnya semakin yakin bahwa Tuan Ario sedikit gila. Tini kemudian mengabaikan ucapan Tuan Ario dan kembali meraih mangkuk di atas nakas saat pria itu berucap lagi, “Kamu bisa mati kalau kerja di sini. Cepat pergi!” Kali ini nada suara Tuan Ario meninggi, membuat Tini terhenyak. “Maaf, kalau saya pulang dan berhenti bekerja, yang mati mungkin bukan hanya saya, Tuan. Tapi ibu saya yang sedang sakit, juga bayi saya. Maaf, apa maksud Tuan berkata seperti itu? Tolong Tuan jangan apa-apakan saya, ya. Saya di sini cuma mau kerja.” Kewaspadaan Tini sontak meningkat, takut, mungkin saja pria itu akan melukainya, namun mengingat Tuan Ario lumpuh, perempuan itu pun agak tenang. “Bukan saya yang akan mencelakakan kamu, tapi Arini,” bisik Tuan Ario sembari melirik ke arah pintu yang masih tertutup. “Cepat
Read more
10. Bertambah Gila
Tuan Ario pun terhenyak mendengar pertanyaan Tini. Pembantu yang semula sopan kepadanya, kini nada suaranya mulai terdengar menyebalkan seperti Tumini. "Saya menyuruh Jumiati membeberkan ritual sesat yang dilakukan istri saya, agar istri saya mau berhenti. Karena saya sudah berulang kali memperingatkan istri saya, tapi dia tidak mau mendengar. Saya hanya ingin istri saya sadar, kalau apa yang dia lakukan tidak benar." Pria itu lantas menjeda kata-katanya sejenak, memperhatikan ekspresi Tini yang masih tampak tak percaya pada ucapannya. Lalu dengan menghela napas, pria itu menambahkan, "Semenjak saya kecelakaan, saya tidak pernah menyentuh istri saya, Tini. Tetapi beberapa bulan setelah itu, justru istri saya hamil. Sebelumnya istri saya tidak pernah melakukan ritual-ritual dan membuat sesaji. Jadi antara kehamilan istri saya dan kelakuannya yang mulai aneh-aneh hampir berbarengan. Awalnya saya curiga dia selingkuh. Tapi dia tidak pernah terlihat dengan laki-laki lain. Bahkan di ruma
Read more
DMCA.com Protection Status