Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Ibu Susu untuk Bayi Gaib

last updateLast Updated : 2025-10-31
By:  Hayisa AaroonUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 ratings. 4 reviews
51Chapters
2.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Sebuah kisah gelap tentang keputusasaan, kengerian, dan harga sebuah keibuan Tini, ibu muda berusia 19 tahun, terpaksa menerima tawaran menjadi ibu susu di rumah Joglo mewah milik Nyonya Arini. Keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Di balik kemegahan ukiran kayu jati dan aroma melati yang memabukkan, tersimpan rahasia kelam tentang keluarga ningrat yang terobsesi memiliki keturunan. Saat Tini menyadari bahwa bayi yang harus disusuinya tak seperti bayi pada umumnya, ia sudah terlanjur terikat kontrak mistis yang tak bisa dibatalkan. Kisah horor Jawa ini akan membawa pembaca menyusuri lorong-lorong gelap rumah Joglo, menghadapi pertanyaan mengganggu tentang makna keibuan, dan harga yang harus dibayar untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan kehadiran seorang anak. --- "Setiap wanita memiliki lukanya sendiri. Jangan tambah dalam dengan pertanyaan yang tak perlu." Sebuah pengingat bahwa di balik senyum sopan dan jawaban klise "belum rejeki" dari mereka yang belum dikaruniai anak, mungkin tersimpan kepedihan dan pergulatan batin yang tak pernah kita pahami. Novel ini mengajak kita merefleksikan kembali sensitivitas dalam berinteraksi dengan sesama, terutama terkait isu kesuburan dan keibuan yang begitu personal. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini diplagiat, tolong lapor ke Ig/fb: @hayisaaaroon. Terima kasih, selamat membaca, semoga menghibur dan bermanfaat. 

View More

Chapter 1

1. Hari Pertama Bekerja

Tangan Tini mengetuk udara saat pintu berdaun ganda dipenuhi ukiran rumit itu tiba-tiba terbuka, nyaris buku-buku jarinya mengenai perut besar sang nyonya rumah

“Masuk!” perintah perempuan luar biasa cantik dalam balutan kebaya sutra zamrud. Suaranya berat, tak selaras dengan lembut lakunya. 

Nj–jjiih … Nyonya.”

Aroma dupa cendana dan melati menguar pekat, menyeruak dari arah dalam rumah. 

Mata Tini tak sanggup lepas dari pesona sang calon majikan yang melangkah masuk, setiap gerakannya mengalir anggun seperti tarian sakral.

Terlalu terpesona, Tini tak memperhatikan langkah. Kakinya tersandung undakan pintu. 

Namun sebelum tubuhnya oleng ke depan, sebuah tangan kokoh dan hangat menahan lengannya. Sensasi hangat itu begitu nyata, kontras dengan hawa dingin pagi khas pegunungan.

Jantung Tini nyaris berhenti berdetak saat menoleh ke belakang dan tak mendapati siapapun di sana. 

Hanya hembusan angin dingin yang membelai kebaya hijaunya yang lusuh, menggoyang helaian rambut yang lolos dari sanggul sederhananya. 

Bulu kuduknya meremang ketika sensasi hangat di lengannya masih terasa, seolah ada jejak tak kasat mata yang tertinggal.

Tini menoleh cepat ke kanan kiri, tapi teras rumah Joglo yang menghadap Gunung Ungaran itu lengang dan suram. 

Dedaunan pohon asam yang rimbun berdesir lirih. Pintu pagar berukir masih tertutup rapat, mengurung Tini dalam pusaran perasaan aneh yang tak bisa dijelaskannya.

Tini ingin menepis peristiwa ganjil itu, namun sensasi hangat pada lengannya bahkan masih jelas terasa dan gambaran sekilas tangan kokoh pria yang menahannya sungguh nyata.

“Sampai kapan kamu mau berdiri di situ …?!”

Suara Nyonya Arini yang membentak memecah keheningan, membuat Tini terlonjak. Aroma melati yang tadi tercium kini bercampur dengan wewangian bunga kenanga dan setanggi yang mengambang di udara.

"Nga-ngapunten, Ndoro ...! Tadi ... seperti ada orang di belakang saya."

Tini membungkuk dalam-dalam, lalu dengan langkah ragu melintasi ambang pintu. Matanya menyapu ruang tamu yang didominasi furniture jati berkualitas tinggi. 

Ukiran-ukiran rumit bermotif bunga dan sulur-sulur daun menghiasi setiap sudut perabot, berkilau ditimpa cahaya temaram dari lampu gantung.

Tini duduk bersimpuh di lantai tegel dingin, sementara Nyonya Arini duduk anggun di kursi dengan sandaran bantal putih bersulam benang emas. 

"Tumini sudah kasih tahu kan, akan kerja apa kamu di sini? Jadi, saya mau periksa badan kamu. Tidak boleh ada koreng atau penyakit kulit sedikitpun."

“Sudah Nyonya.”

"Bagus ...!" Nyonya Arini beranjak. "Tumini bercerita kalau dia sudah memeriksa badan kamu, tapi saya ingin memastikannya sendiri. Ayo sekarang masuk kamar, lepas semua baju kamu ...!"

Tini terhenyak mendengar perintah majikan barunya. Dalam keheningan yang mencekam, hatinya seakan berbisik lirih, memperingatkan untuk tidak mengambil pekerjaan itu.

Desas-desus tentang keluarga Nyonya Arini yang penuh keganjilan kembali terngiang, membuat bulu kuduknya meremang.

Namun bayangan gubuk reyot ibunya yang tanpa sebutir beras pun tersisa, memaksa Tini menelan kembali keraguan yang menggelayut di dadanya. Ia tak punya pilihan selain mengikuti sang majikan.

Kedua tangannya yang kasar saling meremas gelisah di depan perut, jemarinya yang gemetar mencengkeram ujung kain kebaya lusuhnya. Matanya terpaku pada pola lantai tegel yang dingin.

Tapi entah dari mana, tiba-tiba ada dorongan kuat dari hati Tini untuk mencoba menawar. “Ngapunten, Nyonya.”

Nyonya Arini menghentikan langkah, kepalanya menoleh dengan tatapan tidak senang. "Ada apa?" 

"Nyonya, kalau boleh lancang saya berbicara, apa boleh saya bekerja di bagian yang lain?" Suara Tini pelan, bergetar, nyaris tak terdengar.

Dengkus sinis meluncur dari bibir tipis sang nyonya yang dipoles gincu merah gelap. "Duh ... duh ...! Tini ... Tini ...! Kamu itu sudah dikasih hati malah melunjak. Pilihannya cuma satu, jadi ibu susu anak saya. Bagaimana? Mau lanjut atau tidak? Mumpung belum saya periksa badan kamu. Kalau sudah saya periksa, nanti kamu tidak boleh mundur. Jadi tidak buang-buang waktu saya!"

Kata-kata itu menghantam Tini, membuat pikirannya semakin linglung. Sedari tadi ada sesuatu yang mengusik fokusnya, sesuatu yang tak kasat mata namun begitu nyata kehadirannya.

Tini menelan ludah, tenggorokannya terasa kering, tatapannya semakin tertunduk.

"Kamu jadi kerja di sini atau tidak ...?" bentak Nyonya Arini.

Tini tersentak, menyadari telah mengabaikan majikannya—sesuatu yang tak pernah dilakukan pelayan lain pada perempuan ningrat itu.

"I-iya, Nyonya ...!"

Nyonya Arini menatap kesal pembantu yang mematung di hadapannya, bibirnya mendesis saat berkata, “Sudah cepat ikut, saya!”

Sang nyonya berbalik dengan gerakan anggun namun tergesa, gelungan rambutnya yang sempurna tak bergerak sedikitpun. 

Langkahnya yang tak bersuara menyusuri koridor remang-remang, hanya diterangi cahaya temaram dari beberapa lampu dinding warna hangat.

Dinding kayu berpelitur cokelat tua di sepanjang lorong mengkilat samar, memantulkan bayangan-bayangan yang seolah bergerak. 

Bingkai-bingkai lukisan oval keemasan berjajar rapi, berisi wajah-wajah para sesepuh berwajah angkuh.

Namun baru beberapa meter mereka melangkah, Nyonya Arini tiba-tiba berhenti dan membalik badan dengan gerakan cepat, membuat Tini yang terlalu serius mengamati lukisan-lukisan itu nyaris menabrak perut sang majikan yang sedang hamil tua. 

Sontak Tini mundur, hampir terjengkang ke belakang.

"Jalan kamu berisik, Tini ...!!" Nyonya Arini kembali membentak. "Kaki kamu jalan yang bener, jangan pakai suara …! Apalagi kalau nanti ada tamu dari keluarga suami saya, jangan sampai kamu membuat malu …! Biarpun pembantu, kamu harus punya toto kromo …!"

"Njih ... Nyonya ...!" Tini mengangguk cepat, tak ingin memancing amarah majikannya lebih jauh. 

Dengan hati-hati Tini melangkah di atas lantai tegel yang dingin, berusaha menirukan cara berjalan tanpa suara sang nyonya. 

Namun anehnya, meski telah mencoba cepat, tapi Tini tetap tertinggal. Ia terheran dengan gaya berjalan majikannya. 

Kaki bersandal selop beludru merah itu bisa berjalan cepat namun tak meninggalkan kesan anggun, dan yang lebih mengagumkan, perempuan bersanggul rapi itu seperti tak keberatan dengan beban di perut besarnya. 

Jika dipandang dari belakang, sang majikan seperti tidak sedang hamil. Lekuk tubuhnya begitu sempurna.

Aroma badan perempuan itu pun amat menyenangkan, seperti wangi manis melati. Tini semakin gugup jika badannya yang tak harum diperiksa perempuan nyaris sempurna itu. 

Nyonya Arini berhenti di sebuah pintu berukir di ujung koridor, membuka kuncinya dengan tergesa sebelum berkata, "Masuk!" 

Pintu ganda berpelitur cokelat gelap itu terbuka lebar, namun sejenak, kepala Nyonya Arini menoleh ke belakang. 

Mata indahnya sendu menatap pintu di seberang ruangan—sebuah pintu dengan ukiran sulur-sulur bunga yang begitu halus. 

Anehnya, sorot mata itu berubah cepat, menyala dengan kebencian yang dalam, membuat Tini penasaran dengan ruangan itu.

"Tutup pintu …!” seru Nyonya Arini sembari melangkah masuk.

Tini bergegas mengikuti, namun matanya tak bisa lepas dari pintu di seberang, di mana terdengar teriakan marah dari suara laki-laki.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
ade qurrota
bagus sekali
2025-06-08 13:32:31
0
user avatar
ade qurrota
kereen bangt
2025-06-07 11:41:47
0
user avatar
Ratu Demit
mana lanjutnya thor
2024-02-03 14:36:26
0
user avatar
Dwi Apriyana
bagus dan selalu bikin penasaran , semangat nulis kakak ......
2023-09-08 11:17:43
2
51 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status