Share

Lelah

Azmi dan Joana memesan pizza untuk makan malam. Menyadari bahwa besok harus memulai kembali kegiatan di kampus sudah membuat Azmi merasa malas melakukan apapun. Dia juga masih memiliki beberapa tugas yang harus diselesaikan, beberapa materi yang harus dipelajari kembali sebagai persiapan, bila tidak ingin mempermalukan negaranya. Membayangkan itu semua, mempelajari segala sesuatu yang tidak membuatnya tertarik sungguh mengumpan rasa kantuknya. Azmi merasa ingin segera tidur saja.

“Hey, perempuan Indonesia yang cantik, kamu kelihatan mengantuk. Sudah pasti aku tidak salah menduga, pasti sepanjang liburan kamu hanya mengajak tidur buku-buku pelajaranmu dan melukis di balkon ini. Sekarang katakan kalau aku benar”, Joana tertawa geli memandang wajah sahabatnya itu.

Azmi mengibaskan rambut pendeknya yang sebahu, lalu mengikatnya secara asal. Tidak perlu mengatakan tidak, dia jelas tak bisa mengelak. Lukisan-lukisan barunya bergelantungan di dinding. Bekas-bekas kemasan cat minyak pun masih berserakan di salah satu sudut balkon. Dia tertawa menanggapi perkataan Joana.

“Kau tahu kan sobat, hanya itu yang bisa kulakukam untuk melewati waktu, membunuh sepi, bukan membunuh diri. Kau harusnya bersyukur aku masih bisa bahagia walau hanya melukis di balkon ini, menikmati sendiri lukisanku”, jawabnya pada Joana. Pantang terkalahkan, selalu memiliki alasan dan pembenaran untuk segala yang dilakukannya sudah menjadi ciri khas Azmi.

Mendengar jawaban itu, Joana menaikkan alis matanya. “Dengarkan aku, kau seharusnya mensyukuri kehidupanmu. Kau tahu siapa dirimu, wajahmu cantik, otakmu yang pemalas itu sebenarnya pintar, dan orangtuamu sudah meyekolahkanmu jauh-jauh ke negara lain, ya walaupun itu harus sesuai dengan apa yang mereka pilihkan untukmu”, Joana berkata pada Azmi, kali ini serius. Raut wajahnya tampak menegang. Azmi mendengarkannya dengan seksama.

“Kau tahu Azmi? Kadang di dalam hidup ini kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita terpaksa harus menyesuaikan dan menjalani, sejauh yang kita mampu. Sudah kubilang kepadamu sebelumnya, seandainya bisa, kita pasti sudah menyusun kembali bintang-bintang di langit itu, sesuai dengan susunan yang kita mau. Tapi bintang adalah bintang, mereka terhampar jauh di angkasa. Jangankan untuk menyusun kembali, meraihnya  pun kita tidak bisa. Begitulah takdir Azmi, tertulis seperti susunan bintang, bisa kau lihat arahnya, tapi tak akan bisa kau rubah. Apa yang menjadi takdirmu, harus kau jalani” Joana mengakhiri uraian panjangnya, Azmi tertegun menatapnya.

Bukan sekali ini saja sahabatnya itu begitu melankolis, tapi malam ini Joana berbeda. Azmi merasakan adanya keputusasaan dalam kata-katanya. Mungkin keputusasaan untuk menjelaskan apa yang dirasakannya. Keputusasaan atas ketidakmampuannya memohon pemahaman kepada orang-orang yang disayanginya.

Azmi mengangguk-angguk, gadis itu tak tahu harus berkata apa. Dia sungguh mengerti perasaan Joana, namun menyadari penuh bahwa kata-kata hiburan apapun sekarang ini seperti. Azmi kemudian melirik jam dinding yang tergantung di dinding ruang tengah, masih terlihat cukup jelas dari balkon tersebut. Malam cukup larut baginya untuk beranjak ke kamar, membaca sedikit buku-buku materi pelajarannya.

“Belajar dengan baik Az, kembali ke negaramu membawa kebanggaan untuk orangtuamu. Menjadi dokter yang bisa mambantu manusia lain, lukislah kebaikan sepanjang kehidupanmu Az, lukisan kebaikan akan selalu abadi”, Joana berkata padanya ketika Azmi berpamitan untuk berangkat tidur lebih dulu. Memang sudah menjadi kebiasaan Joana untuk menikmati langit malam, tak masalah ditemani Azmi ataupun sendirian. Azmi mengangguk lalu masuk ke kamarnya, mengambil salah satu buku kemudian membacanya dengan malas di tempat tidur.

Jam weker disamping tempat tidurnya berbunyi nyaring untuk ketiga kalinya. Berarti sudah terlambat lima belas menit dari waktu bangunnya yang seharusnya. Semalam dia membaca dan jatuh tertidur. Teringat bahwa dia harus pergi ke kampus hari ini, Azmi yang setengah sadar segera masuk ke kamar mandi. Dia berusaha mandi secepat kilat kemudian mengenakan pakaiannya dan sedikit menyisir rambutnya.

Ketika mengenakan pakaian, Azmi menyadari bahwa Joana sama sekali belum mengetuk pintunya sebagaimana kebiasaan Joana ketika Azmi bangun terlambat. Juga tidak ada tanda-tanda suara Joana sedang sarapan sembari menunggu Azmi selesai bersiap. Pada pagi hari biasanya, apabila tidak pada hari libur, Joana sudah menggerutu tidak karuan apabila Azmi berlama-lama.

Keluar dari kamar, tidak ada tanda-tanda bahwa Joana sudah bersiap. Pintu ke arah balkon masih terututp, begitu pula dengan tirainya. Tidak ada bekas piring ataupun gelas pertanda Joana sudah sarapan pagi. Sisa pizza semalam masih ada di atas meja pantry.

Azmi kemudian mengetuk pintu kamar Joana, sambil memanggil nama sahabatnya itu. Setelah tiga kali ketukan, tidak terdengar suara apapun dari kamar Joana. Azmi mencoba membuka pintu kamar Joana, tidak terkunci, pintu itu terbuka. Tempat tidurnya rapi, tidak ada tanda bekas ditiduri. Azmi bisa mendengar suara air dari kamar mandi yang ada di kamar Joana tersebut. Perasaannya sedikit lega, mungkin sahabatnya itu kesiangan dan sedang mandi.  

“Joana, apakah masih mandi? Apa kau bangun terlambat?” Azmi berteriak dari kamar, tidak ada jawaban, hanya suara air yang mengalir.

“Joana, kau tidak ketiduran di kamar mandi kan?” Azmi mendekat ke depan pintu kamar mandi Joana. Masih tidak terdengar jawaban dari temannya itu.

“Joana, apakah kau masih lama? Kita sudah terlambat, kau tidak suka terburu-buru kan?” Azmi berteriak lebih kencang, kali ini sambil mengetuk pintu tersebut. Sama sekali tidak ada jawaban. Azmi menempelkan telinganya di pintu kamar mandi. Suara air yang mengalir terdengar statis, tidak ada gemericik sewajarnya apabila ada sentuhan manusia.

“Joana, jawab aku, kau baik-baik saja?” Azmi mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres, dia mengetuk kencang pintu kamar mandi.

“Joana, jawab aku, jangan main-main, please. Aku kurang tidur tadi malam, sedang tidak mau bercanda, buka pintunya”, suara Azmi terdengar memohon. Dia tahu bahwa sahabatnya itu suka bercanda, tapi tidak pernah disaat mereka harus terburu-buru ke kampus untuk belajar. Azmi mencoba membuka pintu kamar mandi Joana, namun tidak bisa, pintu itu terkunci dari dalam.

“Kalau kau sedang bercanda, menyingkirlah dari pintu ini, karena aku akan segera mendobraknya”, kali ini Azmi serius, perasaannya tidak menentu, bingung dan khawatir bercampur kesal. Bingung dan khawatir terhadap kemungkinan apa yang terjadi pada sahabatnya, kesal kalau saja Joana mempermainkannya untuk bercanda seperti malam sebelumnya.

Azmi bukan gadis yang lemah. Kegiatan ekstrakurikuler beladiri yang diikutinya sepanjang masa sekolahnya di Indonesia cukup memberikan bekal kekuatan kepadanya. Dia bersiap mendobrak pintu kamar mandi tersebut. Ada sesuatu dalam diri Azmi yang memaksanya melakukan itu.

Azmi bersiap mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. Dia akan menendangnya menggunakan salah satu jurus beladiri andalan yang masih seringkali diperagakannya di depan cermin. Percobaan pertama gagal, Azmi tidak menyerah. Percobaan kedua pun juga gagal, dan Azmi juga masih belum menyerah.

Kali ini, dia mengambil ancang-ancang lebih sempurna, Azmi harus mendaratkan kakinya di bagian pintu yang biasanya membuka. Pada kali ketiga, pintu terbuka, tubuh Azmi terjatuh ke lantai, menghimpit pintu kamar mandi yang lepas. Kaki kanan yang digunakannya menendang pintu kamar mandi tersebut terasa sangat sakit. Namun rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dengan pemandangan yang disaksikannya di dalam kamar mandi. Azmi berteriak sekuat tenaga, memanggil nama sahabatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status