Share

Rewrite The Star

Dalam hati Azmi memang sudah memastikan bahwa yang memencet bel pintu apartemen adalah Jean, atau Azmi lebih suka memanggilnya Joana. Namun untuk memastikan Azmi tetap mengintip melalui lubang pengintip. Tidak ada siapapun disana, Azmi terdiam, menduga memang ada orang usil yang memencet bel pintunya.

Azmi bersiap untuk berbalik, teringat bahwa kalau saja itu Joana, tentu dia sudah membuka pintu menggunakan kunci miliknya. Bel kembali berbunyi, Azmi kembali mengintip dari lubang pintu. Kejadian kembali berulang, tidak tampak siapapun dan apapun di depan pintu. Azmi menjadi sedikit kesal, menduga bahwa jelas-jelas ada yang sedang mempermainkannya.

Sekarang dia tidak beranjak, melainkan menununggu diam-diam di depan pintu. Beberapa waktu, bel tidak berbunyi. Azmi sungguh bukan perempuan yang penakut. Rasa-rasanya dia ingin keluar dan memeriksa.

Kali ketiga bel berbunyi, kali ini Azmi tersenyum. Dia tetap diam senyap di tempat, berencana akan membuka pintu secepatnya. Bel berbunyi berulang-ulang pertanda tak sabar. ‘Kena kau kali ini’ kata Azmi dalam hati. Dalam hitungan ketiga Azmi membuka pintu secepatnya. Sahabatnya itu berdiri dii depan pintu, tertawa terbahak-bahak melihat wajah Azmi yang tegang bercampur geram.

“Joana! Ini benar-benar tidak lucu!”, Azmi berbalik, berjalan menghentakkan kakinya ke arah balkon kemudian duduk di balkon kecil apartemen mereka. Joana mengikuti Azmi dari belakang.

“Aku disini sendirian, dan kamu sungguh tega mempermainkan begitu”, katanya penuh kekesalan.

“Hey, perempuan Indonesia yang cantik jelita. Kalau kau tahu kau sendirian disini, kenapa kau masih membuka pintu?” Joana berkata lantang.

“Entah berapa kali sudah aku mengingatkanmu, kalau kau sendirian, dan ada yang mengetuk pintu, atau memencet bel di pintu itu, dan tidak ada siapapun diluar, abaikan saja. Abaikan dan pergi ke kamarmu, kunci pintu yang rapat, dengarkan dengan seksama apa yang terjadi di luar, bersiap menepon bantuan”, sekarang Joana yang menyerangnya dengan kata-kata.

“Iya, iya, aku lupa. Tapi tadi aku benar-benar sudah menduga bahwa itu adalah kamu”, Azmi berkata bersungut-sungut.

Joana sangat paham bahwa Azmi berada jauh dari negaranya. Sebagai sahabat, dia berusaha menjaga Azmi. Walaupun di tengah tawa dan canda diantara mereka. Joana benar-benar merindukan segala canda dari sahabatnya itu. Satu-satunya sahabat yang dia rasa mampu memahaminya.

Joana ikut menjatuhkan badannya di kursi santai yang terdapat di balkon tersebut, tepat disamping kursi yang diduduki Azmi. Bulan tampak jelas melatari menara Eiffel yang menjulang, melukiskan siluet yang indah di tengah panorama kota yang gemerlap di bawahnya.

Joana terdiam, memandangi bulan yang bergerak semakin tinggi. Azmi sugguh memahami sahabatnya itu, dia tidak ingin membangunkan lamunannya ketika memandang bulan. Namum sekilas Azmi melihat ada raut kepedihan di wajah Joana.

“Kau melihat pelangi itu?” kata Joana tiba-tiba seraya menunjuk ke salah satu sisi langit, membuyarkan keheningan mereka. Azmi melihat garis cahaya berwarna lembut ditimpa sinar bulan, melengkung bagaikan kaca pelindung menutupi Kota Paris.

“Ya, itu pelangi? Sungguh cantik. Baru kali ini aku melihat pelangi di malam hari”, Azmi terpesona.

Joana tersenyum, “Kamu baru melihatnya kali ini, karena kamu tidak pernah mencoba menunggu, mengamati, dan melihatnya sebelumnya. Pelangi tetaplah pelangi, tetap berwarna walaupun dalam gelap. Kamu bisa melihatnya, hanya kalau kamu mau mengamatinya”. Azmi memahami ada sisi melankolis dari setiap kakta-kata yang dilemparkan Joana. Dirinya memang bagaikan pelangi di langit malam. Pudar, namun tetap berwarna, tak terhitung dan tak terdengar keindahannya bagi orang yang tidak menyediakan hati untuk menatapnya.

Azmi menyadari, jangankan di negaranya sendiri, di berbagai negara maju yang memiliki pemikiran cenderung bebas pun tetap ada diskriminasi kepada pribadi yang lahir dan membawa takdir berbeda seperti Joana. Joana juga mendapatkan pertentangan dari kedua orangtuanya. Berbagai jenis terapi dan hal-hal yang dilabeli sebagai ‘pengobatan’ sudah coba dilaluinya atas keinginan orang-orang yang mengaku menyayanginya. Namun dimanakah rasa sayang tanpa pemahaman dan pengertian? Bukankah wujud paling tinggi dari rasa sayang adalah memahami dan mengerti.

Tapi ada banyak hal yang sebenarnya dikagumi Azmi dari sahabatnya itu. Di tengah kemelut yang dihadapinya bahkan mengenai kebingungan atas identitasnya, sahabatnya tetap tampil cemerlang di kelas, mampu belajar dan menyelesaikan tugas dengan baik. Berbeda dengan Azmi, Joana memang ingin menjadi seorang dokter, terlebih dokter dengan spesialisasi kejiwaan. Keinginannya adalah untuk membaktikan diri pada kemanusiaan. Sungguh mulia, jauh dari keinginan sebatas memperoleh nama baik, dan memenuhi pundi-pundi materi.

“Joana, apa kamu sedang sedih?” Azmi mencoba mengulik perasaan sahabatnya. Mendung yang biasanya memang sudah bergelayut di dalam matanya tampak semakin berat di mata Azmi.

“Apakah kamu dimarahi?” Azmi bertanya dengan hati-hati.

“Papa mengatakan bahwa dirinya merasa gagal karena aku, gagal mendidik dan membesarkan”, Joana mengeluarkan kata-katanya. Suaranya bergetar menahan perih.

“Aku sungguh merasa bersalah kepada mereka”, Joana melanjutkan, suaranya mulai tercekat, terasa masuk jauh ke tenggorokannya.

“I wish I can rewrite the star, seandainya saja aku sanggup merubah takdirku”, kepedihan, penyesalan, kebingungan terasa begitu kental menguap dari kata-kata yang terlepas dari mulutnya.

Azmi mencoba menghibur Joana, tapi rasanya kata-kata saja tentu tidak mampu menghapus segala kegundahan hatinya. Kalau saja semua mampu memandang Joana dengan hati, kalau saja semua mampu memahami rasanya terjebak di dalam tubuh yang salah, kalau saja semua paham bahwa setiap kali terbangun di pagi hari Joana merasa melihat orang asing mendiami tubuhnya, kalau saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status