“Kenapa kamu baru bilang sekarang Rio?” Ingin sekali Shaka menggampar Rio, yang tidak memberitahu perihal anaknya Kumi yang masuk ruang PICU. “Sorry Bos! Ini atas permintaan Kumi! Dia tidak ingin Bos Shaka jatuh sakit lagi,” kata Rio menenangkan Shaka. Shaka tertunduk. Di saat darurat pun. Kumi masih memikirkannya. Emosinya perlahan turun. Nenek menghela napas panjang. Meski Kaluna bukan cucunya, dia turut sedih. Bayi itu lucu dan cantik sekali dan telah menjadi malaikat penghiburnya. “Rio, tolong panggilkan Dokter Ridwan kemari. Nenek mau bicara dengannya,” pinta Nenek hangat. “Baik Nek.” Rio kemudian menghubungi Dokter Ridwan. “Rio, tolong kamu jaga Nenek. Aku mau melihat Kaluna dan Kumi.” Shaka tergesa-gesa memakai sandal selopnya. Di depan pintu dia bertubrukan dengan Rhea yang datang bersama Arka. “Sorry!” kata Shaka tanpa memedulikan kedatangan mereka. Ia cepat-cepat berlari.
“Oma… Oma… “ Kaluna tertawa-tawa memanggil Omanya. Dia cantik sekali dengan gaun putih dan bandana berenda menghiasi kepalanya. Disekelilingnya ada cahaya putih yang mengelilinginya. Ibu tercekat melihat ada perempuan cantik memakai gaun putih dengan model yang sama seperti Kaluna datang lalu menggandeng tangan Kaluna dan mengajaknya pergi. Sebuah mobil sedan hitam telah menunggu mereka. “Jangan dibawa cucuku! Jangan dibawa cucuku.” Ibu berteriak-teriak lalu mengejar Kaluna. Ia menarik bocah itu ke dalam dekapannya, sebelum perempuan cantik itu masuk ke mobil. “Bu, bangun… bangun!” Ayah menggoyang-goyangkan tubuh istrinya. Ibu terbangun dengan napas tersengal-sengal. Hatinya tiba-tiba tak tenang. “Kaluna… Kaluna. Antarkan Ibu ke Kaluna sekarang.” Ia lalu menarik tangan suaminya. *** Dokter Nuri bersama 3 orang perawat datang. Mereka mengecek keadaan Kaluna kemudian Dokter Nuri melakukan CPR pada Kaluna. “Kaluna, kembalilah pada kami, kasihan mom
Darah Kumi mendidih. “Dia bukan anakmu, dan aku tak pernah mengijinkan kamu maupun keluargamu untuk menengoknya!” tukasnya dingin. “Aku yakin aku papanya! Dan aku siap melakukan tes DNA!” kata Arka dengan percaya diri. Sebenarnya saat mencari Rhea, Arka tadi tanpa sengaja melihat keluarga Kumi tergopoh-gopoh berjalan. Karena penasaran ia mengikuti mereka. “Ayolah Kumi, itu sudah masa lalu. Aku mau memperbaikinya.” Arka mencoba memegang tangan Kumi. Tapi perempuan itu menepisnya. “Ngomong-ngomong siapa yang sakit?” “Gak usah sok akrab deh. Toh tidak ada untungnya sama sekali buat kamu.” Kumi membalikkan badannya dan ia kaget melihat Ayah berdiri di depannya. “Kumi, biarkan Arka melihat Kaluna,” kata Ayah mencoba menjadi penengah. “Untuk apa aku bermanis-manis di depan orang yang pernah menyakitiku?” balas Kumi acuh. Ia acuh dengan nasehat ayahnya. Shaka melihat perubahan mimik Kumi yang tak nyaman
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Kumi dengan nada geram saat melihat Arka kembali. “Arka memaksa Ayah Nduk.” “Nama yang pas untuknya adalah Ava Arabela artinya suara anak perempuan yang cantik.” Arka meneruskan omongannya yang tertunda tadi. Kumi semakin merengut, ia kesal sekali dengan ayahnya. “Sudah… sudah, kita kocok aja nama mana yang keluar.” Ibu mengambil jalan tengah. “Jika diteruskan perdebatannya ini tak bakalan selesai.” Kemudian ia mengambil bolpoin dan menulis nama untuk anak Kumi, lalu menggulungnya. “Kumi ambillah,” perinta Ibu. Kumi mengambil satu gulungan kertas itu. Senyumnya merekah. “Yashi Ayra!” - artinya kemenangan yang diberkati. *** Esok harinya, Kaluna dipindahkan ke kamar perawatan. Kesehatan Yashi semakin baik. Setelah 2 hari di kamar perawatan, Dokter Nuri mengijinkannya pulang. Kumi menciumi wajah anaknya dengan rasa bahagia. “Yashi, kamu sud
Minggu ke tiga. Kumi tergesa-gesa berjalan melintasi deretan kursi kosong yang tertata rapi di sebuah rumah makan Sunda. Musik gamelan Sunda lirih terdengar, sedikit meneduhkan hatinya yang panas. Suasana masih lengang. Hanya ada satu waiter yang sedang membersihkan meja. Mata wanita itu berkeliling dan menemukan sesosok lelaki yang telah menunggunya. Lelaki itu tersenyum saat melihat Kumi datang. Tapi Kumi menyambut senyumnya dengan dingin. Guratan-guratan kekesalan tampak jelas di wajah Kumi yang lelah. “Duduklah! Aku mau kamu menemaniku makan!” pinta Arka dengan senyumnya yang menawan. Perut Kumi kaku melihatnya. ”Tidak usah! Berapa nomor rekeningmu. Aku mau transfer uangmu sekarang!” Ia lalu merogoh tasnya dan mengambil ponsel. Arka memegang tangannya, dan memaksanya duduk. “Duduklah dulu, please. Kalau kamu tidak mau makan, biar kupesankan minum untukmu. Setelah itu aku janji akan memberikan nomor rekeningku.” Denga
Kumi kelabakan, dia mengejar Shaka. “Wait Shaka! Itu tidak seperti yang kamu pikirkan! Arka telah membayar uang rumah sakit Yashi tanpa sepengetahuanku. Aku tadi telah bertemu dengannya untuk mengembalikan uangnya, tapi dia menolak,” sanggah Kumi. “Kalau kamu tidak percaya ini uangnya.” Kumi mengeluarkan amplop coklat yang berisi uang. “Kenapa dia menolak?” tanya Shaka. Matanya mengamati mata Kumi yang berkaca-kaca. Emosi wanita kembali bergulir. Ia memalingkan muka pada serumpun bambu kuning yang tumbuh subur di samping coffee shop. “Dia mau aku dan Yashi kembali padanya,” imbuh Kumi lirih, suaranya tersangkut di tenggorokannya. Shaka mengepalkan tangan. “Kurang ajar! Semakin dikasih hati semakin belagu dia!” Kemudian dia mengambil ponsel dan menelpon seseorang. “Tolong kirimi saya nomor rekening Bapak Arka segera!” ia lalu menutup telponnya. “Berapa uang Arka?” mata Shaka fokus menatap layar ponselnya. Kumi memberitah
“Dia bukan temanku? Apakah dia temanmu?” tanya Shaka menoleh ke Kumi. Kumi terperangah! Ia mengumpulkan ingatannya saat melihat seorang gadis cantik berkulit eksotis dengan celana jeans ketat, dan tank top putih seksi berdiri di depannya. Penampilannya sangat mengundang mata lelaki melirik kepadanya. “Lo, Nora kan?” tanya Kumi gembira bisa bertemu dengan teman SMA-nya. Wajah Nora sangat cantik dan berbeda dari yang dikenalnya dulu. Nora adalah salah satu temannya waktu SMA. Dia termasuk salah satu anak popular di kelasnya yang suka menginap dan merecoki Kumi meminta contekan PR dan ulangan. Nora memiliki tubuh tinggi semampai seperti model dan sering menjadi incaran pencari talent dan lelaki. Saat kelas 3 SMA Nora pernah menjadi salah satu model di sebuah majalah remaja. Setelah itu Kumi tidak tahu ceritanya lagi setelah Nora pindah ke ke NTT mengikuti ibunya yang berdinas di sana. “Iya! Lama banget kita gak ketemu.” Nora melirik Sh
Kumi berpikir, lebih baik ia menghindar, daripada telinganya mendengar kata-kata pedas dari mulut wanita itu, pikir Kumi. “Aku pergi dulu ya,” pamit Kumi. Nora menahannya. “Sebentar! Aku kenalkan kamu dengan temanku, Rhea.” “Maaf aku harus pergi,” kata Kumi, dia hendak melangkahkan kakinya. Tapi keburu Rhea melihat Kumi bersama Nora. Mata Nora mengirimkan kebencian. “Nora, lo ngapain bertemu dengan kutu busuk itu!” teriak Rhea, jaraknya 1 meter dari posisi Kumi dan Nora. “Kenapa lo berisik banget sih! Dia Kumi, teman gue. Enak aja lo bilang dia kutu busuk,” sahut Nora tak terima. “Lo kenal dengan Rhea?” tanyanya pelan ke Kumi. “Bisa ya bisa tidak. Well, gue pergi dulu. Bye!” Kumi mencium pipi Nora. Dia berjalan dan berpapasan dengan Rhea. Kumi menganggukan kepala dan tersenyum tipis padanya. Tiba-tiba. Rhea menjambak rambut Kumi dengan keras, hingga wanita itu terjatuh. Tanpa ampun Rhea menindih tubuh Kumi lalu memukul-mukul wajahnya dengan tas selempang miliknya. Kumi menj