:
Cahaya dari dunia kesadaran masih membekas di tubuh Qian Mu saat ia mendarat di tengah formasi altar. Tanah bergetar, dan langit yang sebelumnya kelabu berubah menjadi lebih pekat—bergelombang, seakan-akan permukaan air sedang dilanggar oleh sesuatu yang hendak muncul dari dalam.Xian Rong berdiri beberapa langkah darinya, tubuhnya bersimbah keringat. Di belakangnya, para tetua dari klan gunung dan tiga biksu suci sudah duduk bersila, menjaga formasi segel yang mulai retak.“Kau kembali tepat waktu,” ujar Xian Rong dengan nafas berat. “Tapi… mereka juga.”Qian Mu menoleh. Di balik lembah, gelombang bayangan menyapu rerumputan, pohon-pohon tua tumbang tanpa suara, dan hawa kematian menyelimuti setiap sudut gunung. Di atas langit, burung-burung besi, roh-roh langit, dan bahkan awan mulai menjauh, seperti takut akan sesuatu yang mengancam keseimbangan dunia.“Makhluk dari dalam gerbang?” tanya Qian Mu.“Belum sepenuhnya,” ja: Langit masih mendung, namun tak setetes pun hujan turun.Qian Mu berdiri di puncak batu karang yang menjulang di tengah Lembah Tertutup. Rambutnya yang kini separuh putih dan hitam berkibar tertiup angin. Di sekitarnya, aura yin dan yang mengalir seakan telah menjadi bagian dari alam itu sendiri. Tubuhnya masih terasa nyeri—bukan dari luka fisik, tapi dari proses penyatuan dua warisan darah yang selama ini bertarung di dalam dirinya.Di bawah sana, para tetua dan pengawal sekte berdiri diam, menatapnya dengan campuran hormat, gentar, dan kebingungan.Xian Rong melangkah pelan ke depan, membawa tongkat panjangnya yang kini tampak retak di bagian tengah. Satu langkah, dua langkah, lalu ia berhenti hanya beberapa tombak dari Qian Mu.“Kau telah melampaui ujian yang bahkan para leluhur tidak pernah bayangkan,” katanya dengan suara serak. “Tapi setiap kekuatan baru… membawa beban baru.”Qian Mu mengangguk pelan. Matanya menyap
: Kilatan petir melintasi langit yang bergolak. Di dunia nyata, tubuh Qian Mu menggantung di udara seperti wayang di tengah badai takdir. Matanya terbuka, putih dan hitam seperti yin dan yang saling berebut dominasi. Sekujur tubuhnya bersinar aneh—kadang terang menyilaukan, kadang gelap sepekat malam tanpa bulan.Di bawahnya, Xian Rong menahan formasi penyangga dengan kekuatan terakhirnya. Para tetua lain mulai goyah, beberapa sudah roboh dengan napas terengah. Aura dari dalam tubuh Qian Mu meluap, memancar seperti pusaran tak terkendali.“Ini… bukan hanya pertarungan di dalam jiwanya,” gumam Xian Rong. “Tapi tubuhnya juga mulai menjadi medan perang.”Dan itu benar.Di dimensi gelap tempat kesadaran Qian Mu melayang, ia berdiri di depan sosok raksasa yang telah sepenuhnya menampakkan diri. Sosok itu menjulang, tubuhnya terdiri dari puluhan wajah, ratusan mata, dan tangan-tangan menjulur keluar seperti akar pohon tua yang hidup.
: Cahaya dari dunia kesadaran masih membekas di tubuh Qian Mu saat ia mendarat di tengah formasi altar. Tanah bergetar, dan langit yang sebelumnya kelabu berubah menjadi lebih pekat—bergelombang, seakan-akan permukaan air sedang dilanggar oleh sesuatu yang hendak muncul dari dalam.Xian Rong berdiri beberapa langkah darinya, tubuhnya bersimbah keringat. Di belakangnya, para tetua dari klan gunung dan tiga biksu suci sudah duduk bersila, menjaga formasi segel yang mulai retak.“Kau kembali tepat waktu,” ujar Xian Rong dengan nafas berat. “Tapi… mereka juga.”Qian Mu menoleh. Di balik lembah, gelombang bayangan menyapu rerumputan, pohon-pohon tua tumbang tanpa suara, dan hawa kematian menyelimuti setiap sudut gunung. Di atas langit, burung-burung besi, roh-roh langit, dan bahkan awan mulai menjauh, seperti takut akan sesuatu yang mengancam keseimbangan dunia.“Makhluk dari dalam gerbang?” tanya Qian Mu.“Belum sepenuhnya,” ja
Langkah Qian Mu menginjak ambang pintu bercahaya membawa tubuh kecilnya menembus lapisan waktu dan ruang yang tak bisa dijelaskan dengan logika manusia. Kabut tebal menyelimuti pandangan, dan dunia yang ia masuki bukan seperti dunia roh yang ia kenal, apalagi dunia manusia. Langitnya bergolak seperti tinta yang diteteskan ke dalam air. Tanah di bawah kaki terasa hidup—berdenyut pelan seperti nadi raksasa. Di kejauhan, gunung melayang di udara dan sungai mengalir ke atas, menuju langit. Ini bukan dunia. Ini adalah kesadaran. “Selamat datang di Ranah Keempat,” bisik suara yang ia kenali dari altar tadi—suara Ye Qian, lembut namun dalam, seperti gema dari hati semesta. Sosok itu muncul perlahan, membentuk wajah dan tubuh dari partikel cahaya. Ia mengenakan jubah perang putih berlapis cahaya, dan di punggungnya tersarung pedang panjang bercahaya ungu kebiruan. Q
Sepuluh tahun telah berlalu sejak Gerbang Ketiga ditutup dan Ye Qian mengorbankan dirinya untuk menjadi penjaga batas dunia roh dan manusia. Namun dunia tidak pernah kembali benar-benar sama. Di seluruh negeri, bunga roh yang dulunya hanya tumbuh di sekitar Kuil Hening kini bermekaran di banyak tempat. Pohon-pohon suci mulai tumbuh dari tanah yang dulunya tandus. Beberapa anak-anak terlahir dengan mata yang bersinar samar, mampu mendengar bisikan dari dunia lain. Di Kota Lan Yue, sebuah kota kecil yang terletak di antara lembah kabut dan sungai jernih, hidup seorang bocah laki-laki bernama Qian Mu. Ia baru berusia sembilan tahun, namun sejak usia tiga tahun, ia bisa memanggil roh kupu-kupu dengan hanya berbisik di bawah cahaya bulan. Tak seorang pun tahu siapa orang tuanya. Ia ditemukan di depan gerbang kuil kecil dengan secarik kertas tua bertuliskan: "Jaga dia. Ia membawa
: Langit di atas Puncak Kuil Hening berubah kelabu pekat. Kabut hitam menebal, menyelimuti tanah dan udara seperti kabus dari dunia kematian. Dari kejauhan, nyanyian lirih mulai terdengar—datar, berulang, dan memilukan. Irama itu menyelinap ke dalam hati, menusuk hingga ke sumsum jiwa. Ye Qian menggenggam pedang panjangnya erat. Suara-suara itu, yang mula-mula hanya ratapan, kini menjadi lantunan mantra dalam bahasa kuno yang tidak ia kenal, namun entah bagaimana… ia pahami. Di hadapan mereka, pasukan roh yang dikendalikan Shi Mo melangkah maju. Wajah-wajah mereka tetap sama: kosong, penuh luka, namun kini berubah menjadi sosok-sosok menyeramkan bersenjata tombak dan pedang bayangan. Shi Mo berdiri tenang di depan gerbang batu raksasa yang setengah terbuka. “Ini dia… akhir dari segalanya,” ujarnya pelan. “Gerbang Ketiga… akan kembali hidup. Dan dengan itu, dunia baru akan kubent