SINOPSIS Lei Tian, seorang pemuda yatim piatu, hidup sebagai petarung jalanan di Kota Wushan. Hidupnya berubah ketika ia menemukan Kitab Seribu Bayangan, sebuah teknik kungfu kuno yang memungkinkan penggunanya menciptakan bayangan kloning diri sendiri. Namun, kitab ini menyimpan sejarah kelam—dulu milik Sekte Bayangan yang dibantai oleh aliansi sekte besar di dunia persilatan. Setelah menguasai teknik tersebut, Lei Tian menjadi target berbagai sekte yang ingin menguasai kitab legendaris itu. Dalam perjalanannya, ia mengungkap rahasia asal-usulnya—ternyata orang tuanya adalah murid tingkat tinggi Sekte Bayangan yang dibunuh secara keji. Dengan tekad membalas dendam dan membangun kembali warisan sektenya, Lei Tian harus menghadapi musuh yang jauh lebih kuat, mengungkap konspirasi dunia persilatan, dan memilih antara kekuatan atau keadilan.
view morePemilik Kitab Seribu Bayangan
------ Kota Wushan tidak pernah tidur. Di gang-gang sempit dan pasar yang hiruk-pikuk, suara pedagang bercampur dengan teriakan petarung jalanan yang mencari nafkah dari pertarungan ilegal. Bau asap dari kedai arak memenuhi udara, bercampur dengan wangi dupa dari kuil tua di ujung kota. Di antara kerumunan yang riuh, seorang pemuda bertubuh kurus namun berotot berdiri di tengah arena tanah yang dikelilingi oleh puluhan penonton. Pakaiannya lusuh, wajahnya berdebu, tapi matanya menyala penuh semangat. Dia adalah Lei Tian, seorang yatim piatu yang hidup dari pertarungan jalanan. "Lima perak untuk yang bisa menjatuhkan bocah ini dalam sepuluh jurus!" seru seorang pria gempal yang bertindak sebagai bandar taruhan. Tantangan itu langsung disambut oleh seorang pria berbadan besar dengan tato naga di lengannya. "Aku akan menghancurkan bocah ini dalam lima jurus!" pria bertato itu menyeringai sambil memutar bahunya. Lei Tian menghela napas pendek. Ini bukan pertama kalinya dia bertarung melawan orang yang jauh lebih besar darinya. Ia tahu satu hal—kekuatan saja tidak cukup untuk menang. Pertarungan Dimulai Begitu gong kecil dipukul, pria bertato langsung melompat ke depan dengan tinju mengarah ke wajah Lei Tian. Tapi Lei Tian bergerak cepat, tubuhnya miring ke samping dengan gesit, membiarkan pukulan lawan melewati udara kosong. "Cepat juga bocah ini," gumam seorang penonton. Pria bertato tidak menyerah. Ia menyerang dengan kombinasi pukulan beruntun. Lei Tian menghindari satu per satu, tubuhnya meliuk seperti ular. Lalu, dengan satu gerakan cepat, ia menendang lutut lawannya dari samping. Duk! Pria bertato kehilangan keseimbangan. Kesempatan itu tidak disia-siakan Lei Tian. Ia melompat, memutar tubuh di udara, dan menghantamkan sikunya tepat ke pelipis lawan. Bugh! Pria bertato ambruk ke tanah, tak sadarkan diri. Penonton terdiam sejenak, lalu riuh dengan sorakan. "Gila! Bocah ini benar-benar cepat!" "Aku kehilangan uang!" Lei Tian mengatur napas, menyeka keringat dari dahinya. Satu pertarungan lagi selesai, satu langkah lebih dekat untuk bertahan hidup di kota yang kejam ini. Setelah menerima hadiahnya—sepuluh keping perak—Lei Tian meninggalkan arena dan berjalan ke pasar. Ia duduk di sudut jalan, menikmati sepotong roti kering saat suara lirih memanggilnya. "Anak muda ... sedikit makanan ...." Lei Tian menoleh. Seorang lelaki tua dengan pakaian compang-camping duduk bersandar di dinding. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh keriput, tapi sorot matanya tajam seperti elang. Tanpa berpikir panjang, Lei Tian memotong setengah rotinya dan menyerahkan kepada pengemis itu. Orang tua itu tersenyum samar. "Kau petarung yang bagus." Lei Tian mengangkat alis. "Bagaimana kau tahu?" Orang tua itu menggigit roti dan menjawab pelan, "Langkah kakimu ringan, gerakanmu cepat. Kau bukan sekadar petarung jalanan biasa." Lei Tian tertawa kecil. "Aku hanya mencoba bertahan hidup." Pengemis itu mengangguk pelan, lalu menatap Lei Tian dalam-dalam. "Aku punya sesuatu untukmu. Tapi ... kita akan lihat apakah kau pantas menerimanya." Lei Tian menyipitkan mata. Ia tidak tahu, pertemuan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Lei Tian menatap pengemis tua di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Bukan hanya sorot matanya yang tajam, tapi juga cara bicaranya yang tenang, seolah dia lebih dari sekadar orang tua biasa. "Apa maksudmu, sesuatu untukku?" tanya Lei Tian sambil tetap waspada. Pengemis itu mengunyah sisa rotinya dengan lambat sebelum akhirnya berbisik, "Ikuti aku." Meskipun ragu, Lei Tian merasa penasaran. Ia sudah terbiasa hidup di jalanan, bertemu berbagai macam orang, dan tahu kapan harus berhati-hati. Tapi ada dorongan dalam hatinya untuk mengikuti lelaki tua itu. Mereka berjalan melewati gang-gang sempit Kota Wushan, semakin jauh dari keramaian pasar hingga sampai ke sebuah kuil tua yang sudah lama terbengkalai. "Tempat ini ..." Lei Tian bergumam, mengingat bahwa kuil ini sudah lama dianggap angker oleh warga sekitar. Pengemis tua tersenyum kecil. "Tempat ini dulunya adalah rumah bagi mereka yang memiliki ilmu yang jauh lebih besar dari sekadar mitos." Lelaki tua itu berjalan ke altar yang sudah berdebu, lalu menekan sebuah batu di sampingnya. Dengan suara klik, lantai kuil perlahan bergeser, membuka jalan menuju lorong bawah tanah yang gelap. Lei Tian menelan ludah. "Apa sebenarnya tempat ini?" "Warisan yang telah terlupakan," jawab pengemis itu sebelum melangkah masuk. "Jika kau ingin tahu siapa dirimu, maka ikuti aku ke dalam." Lei Tian melangkah masuk ke lorong itu dengan hati-hati. Cahaya remang-remang dari obor tua di dinding menerangi jalan mereka. Udara di dalam terasa lebih dingin, dengan aroma tanah yang lembap. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan luas. Di tengahnya, terdapat sebuah meja batu dengan sebuah kitab kuno tergeletak di atasnya. Lei Tian mendekati kitab itu dan melihat judulnya. "Kitab Seribu Bayangan?" Pengemis tua itu mengangguk. "Ini adalah ilmu tertinggi dari Sekte Bayangan, sekte yang telah dibantai bertahun-tahun lalu oleh aliansi sekte besar dunia persilatan." Lei Tian menyipitkan mata. "Kenapa kau menunjukkannya padaku?" Pengemis itu menatapnya dengan serius. "Karena kau adalah anak dari pemimpin terakhir Sekte Bayangan. Kau satu-satunya pewaris yang tersisa." Jantung Lei Tian berdegup kencang. "Itu tidak mungkin. Aku hanya seorang yatim piatu yang tumbuh di jalanan." "Tidak ada yang kebetulan dalam dunia ini, anak muda," jawab pengemis itu. "Orang tuamu dibunuh karena kitab ini. Tapi mereka berhasil menyembunyikanmu sebelum mereka mati. Sekarang, kau punya pilihan. Kau bisa tetap hidup sebagai petarung jalanan, atau kau bisa belajar ilmu ini dan menuntut balas." Lei Tian menatap kitab di depannya. Seumur hidupnya, dia tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Dan sekarang, tiba-tiba dia diberi kesempatan untuk menemukan jawaban. Dengan tangan gemetar, dia membuka halaman pertama kitab itu. Begitu halaman pertama terbuka, hawa dingin menyelimuti ruangan. Tulisan-tulisan dalam kitab itu bergetar, seolah memiliki nyawa sendiri. Lei Tian membaca dengan saksama. "Teknik Seribu Bayangan, memungkinkan pengguna menciptakan kloning bayangan dari dirinya sendiri untuk mengelabui musuh." Pengemis tua tersenyum. "Tapi tidak semudah itu. Ilmu ini hanya bisa dikuasai oleh mereka yang memiliki kemauan baja. Jika kau tidak cukup kuat, kau hanya akan menjadi budaknya." Lei Tian mengepalkan tangannya. "Ajari aku." Pengemis itu menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Baik. Tapi ingat, sekali kau mempelajari ini, tidak ada jalan kembali. Sekte besar akan memburumu. Dunia persilatan tidak akan membiarkanmu hidup dengan tenang." Lei Tian menatap lurus ke mata lelaki tua itu. "Aku tidak peduli. Jika mereka ingin mengambil sesuatu dariku, aku akan melawan mereka semua." Pengemis tua tertawa kecil. "Bagus. Mulai sekarang, kau bukan lagi hanya seorang petarung jalanan. Kau adalah pewaris Sekte Bayangan.": Tiga makhluk berjubah asap melesat dari balik reruntuhan. Mereka mengeluarkan raungan bernada rendah, seperti dengung tanduk dari dunia arwah. Bo Ren segera berlutut, menggambar segel di tanah dengan darah dari luka di telapak tangannya, dan dalam sekejap, perisai cahaya berbentuk prisma terbentuk di depan mereka."Jangan biarkan mereka menyentuh kulitmu!" seru Bo Ren. "Itu makhluk Penenggelam Jiwa—sekali disentuh, jiwamu tercerabut perlahan."Mei Lin tak menjawab. Kedua tangannya sudah memegang gulungan mantra dari Perpustakaan Cahaya Keempat. Ia melemparkan gulungan itu ke udara, membacakan kalimat cepat dalam bahasa kuno. Dari gulungan itu, muncullah bayangan sepasang burung phoenix merah muda yang melesat menghantam dua makhluk asap. Ledakan sinar membutakan langit sesaat.Makhluk pertama langsung terurai menjadi gumpalan asap pekat. Tapi dua lainnya berputar, menghindar, dan mengendap di atas bebatuan. Dari tubuhnya muncul tangan-tang
: Angin musim gugur menyapu lembah, membawa guguran daun-daun merah keemasan saat Mei Lin dan Bo Ren melangkah keluar dari gua tempat Perpustakaan Cahaya Keempat berada. Mereka kini melangkah ke utara, menuju wilayah yang dulu dikenal sebagai pusat kekuasaan Kaisar Langit—sebuah kerajaan besar yang lenyap ratusan tahun lalu tanpa meninggalkan pewaris maupun jejak yang jelas. Namun menurut gulungan penawar dan petunjuk Pemburu Jiwa, rahasia Gerbang Malam ke-13 tersembunyi di tanah itu.Di atas punggung kuda, Bo Ren membaca gulungan peta tua yang diberikan Tuan Mu sebelum mereka berangkat. "Menurut peta ini, kita harus menyeberangi Sungai Langit Retak sebelum mencapai reruntuhan kota Shanhai, bekas istana Kaisar Langit. Tapi jalan ini dikenal sebagai jalur terkutuk."Mei Lin menggenggam kendali kudanya. “Terkutuk atau tidak, kita harus ke sana. Jika Gerbang Malam benar-benar ada, kita tak punya pilihan.”Bo Ren memandangnya sejenak. “Kau yakin
Langit malam tampak berbeda saat Mei Lin dan Bo Ren melangkah melewati gerbang batu yang dibuka perlahan oleh Tuan Mu. Awan-awan seolah terbelah, dan bintang-bintang bersinar lebih terang, seperti menyambut kedatangan mereka ke tempat yang terlupakan oleh waktu. Cahaya lembut berpendar dari dinding-dinding batu kuil kuno yang tersembunyi di balik lereng pegunungan, memantulkan warna-warna keemasan. Aroma dupa, akar kering, dan debu tua memenuhi udara, menyelinap ke dalam paru-paru mereka dengan lembut namun mengingatkan bahwa tempat ini bukan tempat biasa.Tuan Mu berjalan di depan dengan langkah tenang. Tongkat bercahayanya menyala lembut seperti lentera, memantulkan bayangan-bayangan kecil yang menari-nari di dinding lorong."Tempat apa ini?" tanya Bo Ren, suaranya pelan, nyaris berbisik."Perpustakaan Cahaya Keempat," jawab Tuan Mu tanpa menoleh. "Salah satu dari tujuh tempat suci yang didirikan untuk menyimpan serpihan sejarah, sebelum Sekte
_ Angin musim gugur menyapu padang tandus di luar gerbang barat Fei Zhao, membawa debu dan bau daun kering. Mei Lin berdiri di samping kuda hitam milik Bo Ren, memandangi jalan bebatuan yang melintasi ladang dan hutan. Jubah hitamnya berkibar, menyembunyikan sebilah pisau kecil yang terselip di balik pinggangnya.“Menurut peta yang ditinggalkan Yara,” ujar Mei Lin, “kuil yang kita cari ada di balik Pegunungan Liangshan.”Bo Ren memegang tali kekangnya erat. “Kuil Sembilan Bayangan. Tempat yang bahkan para biksu di barat pun takut menyebutnya.”Mei Lin menoleh padanya. “Takut? Kenapa?”“Dulu sekali, kata mereka, tempat itu menjadi markas kecil Sekte Langit Terbalik. Para pengikut Bayangan Asli berkumpul di sana setelah Kitab pertama dikunci oleh Jin Wu dan Yara. Tapi mereka tak pernah benar-benar musnah.” Bo Ren menatap langit. “Kau percaya pada ramalan, Mei Lin?”Ia menggeleng. “Aku percaya pada petunjuk dan bukti. Ramalan bisa diben
: Bertahun-tahun telah berlalu sejak cahaya terakhir menyinari negeri Fei Zhao, memupus bayang-bayang kelam yang selama ini membelenggu jiwa manusia. Namun, legenda tentang Kitab Seribu Bayangan tak pernah benar-benar lenyap. Ia bertahan—bukan lagi sebagai alat ketakutan yang diceritakan untuk menakut-nakuti anak-anak, melainkan sebagai pelajaran berharga yang diwariskan dari generasi ke generasi.Anak-anak tumbuh besar dengan mendengarkan kisah Jin Wu, Yara, dan Lian Tian. Tentang keberanian, pengkhianatan, dan harga dari kekuatan sejati. Dari mulut para tetua mereka belajar, bahwa bayangan terdalam bukan datang dari luar, melainkan bersumber dari dalam diri manusia sendiri. Dan bahwa kekuatan sejati bukan untuk menguasai dunia, tetapi untuk mengerti, dan menerima—baik cahaya maupun kegelapan.Nama Yara pun kini menjadi nyanyian sunyi yang diceritakan kala senja. Ia tak pernah terlihat lagi sejak pertempuran terakhir. Konon, ia menjelajah dunia untuk men
Pagi menyingsing dengan tenang. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti berabad-abad, langit bersih tanpa retakan, dan tanah berhenti merintih. Sisa-sisa bayangan lenyap, dan keheningan yang tersisa bukan lagi tanda kehancuran—melainkan awal dari sesuatu yang baru.Jin Wu berdiri di tepi tebing, memandangi cakrawala yang mulai dihiasi warna-warna hangat matahari pagi. Di tangannya, selembar potongan kitab yang entah bagaimana tersisa, kosong tanpa tulisan, tapi masih hangat—seakan menyimpan napas terakhir Lian Tian.Yara berdiri tak jauh di belakangnya, rambutnya ditiup angin pagi. “Dunia ini akan butuh waktu lama untuk pulih,” ucapnya pelan.Jin Wu mengangguk. “Tapi kita punya waktu sekarang. Tak ada lagi perang. Tak ada lagi bayangan yang menghantui.”Beberapa warga mulai keluar dari tempat perlindungan. Mereka menatap langit seolah tak percaya mereka masih hidup, masih memiliki dunia untuk mereka tinggali.Mou
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments