Situasi di Kekaisaran Bìxiāo kembali tegang setelah Perburuan Roh berakhir dengan tragedi yang tak terduga. Lembah Xīngyè yang semula dipenuhi semangat kompetisi kini berubah menjadi saksi bisu kepergian seorang pangeran muda.Tiga hari kemudian, di halaman istana yang luas, Kaisar Yǔhàn berdiri dengan pakaian berkabung berwarna putih tulang. Kedua tangannya memegang kertas kimcoa yang akan dibakar untuk menghormati arwah sang putra. Api kecil berkobar di tungku perunggu di hadapannya, menari-nari bagai jiwa yang gelisah.Di sampingnya berdiri Putra Mahkota Jìng Jūnlán Wángyé dengan wajah yang tampak lebih tua dari usianya. Mata yang biasanya tajam dan penuh percaya diri kini redup tertutup bayangan kesedihan. Putra ketiga, Jìng Jué Wángyé, menundukkan kepala dalam-dalam, bibir tipisnya terkatup rapat menahan tangis yang tidak boleh tumpah di depan sang ayahanda.Cucu pertama kaisar, Jìng Yan Wángyé, berdiri dengan kaku.
Perburuan Roh yang seharusnya menjadi ajang persahabatan antar kultivator muda kini berakhir dengan tragedi yang mengerikan. Lembah Xīngyè yang semula dipenuhi tawa dan semangat bertarung, kini terbungkus dalam kesunyian yang mencekam. Hanya suara tangisan Qing Yǜjiā yang memecah keheningan malam berbintang itu.Langit malam seakan ikut berduka. Awan-awan tebal bergerak menutupi bintang-bintang, menciptakan bayangan kelam di atas lembah yang kini menjadi saksi bisu kematian seorang pangeran.Kaisar Yǔhàn tiba dengan kecepatan tinggi bersama rombongan pejabat istana dan kultivator Klan Jìng. Sosok yang biasanya berwibawa dan tenang itu kini tampak kehilangan kendali saat melihat pemandangan yang menyambut kedatangannya.Putra keduanya, Jìng Zhenjun Wángyé, terbaring kaku dalam dekapan Qing Yǜjiā. Darah yang mengering telah mengotori pakaian sang pangeran, wajahnya pucat seperti kertas putih di bawah cahaya bulan.
Qing Héng Zhì bangkit dengan gerakan yang goyah, kedua matanya kembali kosong dan penuh kebencian. Aura kegelapan di sekelilingnya mengental seperti kabut hitam yang mencekam. Pemuda itu bergerak seperti boneka yang dikendalikan, pedang Yuán Shēng Jiàn berkilau mengerikan di tangannya."Mundur!" teriak Huànyǐng sambil mengangkat pedang Fēnglíng di hadapannya.Namun, Qing Héng Zhì tidak mendengar. Dia menyerang siapa saja yang berada dalam jangkauannya dengan gerakan brutal yang tidak terkendali. Beberapa kultivator dari Klan Jìng yang terlambat menghindar tersungkur dengan luka sayatan di lengan dan kaki mereka.Tiānyin dengan sigap mengeluarkan guqin-nya. Instrumen musik berwarna putih gading itu melayang di udara di hadapannya, senar-senarnya bergetar menunggu sentuhan jari-jari yang akan menciptakan melodi penenang.Jari-jari pemuda bermata biru itu mulai memetik dawai dengan gerakan yang terukur dan penuh perhitungan. Melodi yang mengalir buka
Jìng Zhenjun Wángyé tiba di area utama Perburuan Roh dengan kecepatan tinggi, pedang Léi Lián Jiàn miliknya berkilau terang di bawah cahaya sore yang meredup. Pemandangan yang menyambutnya membuat dadanya sesak—para kultivator berhamburan mencari perlindungan sementara satu sosok berambut hitam legam berdiri di tengah kehancuran dengan aura kegelapan yang mencekam.Putra kedua Kaisar itu mendarat dengan mulus, kemudian terbang mendekati pemuda yang tengah mengamuk itu dengan gerakan hati-hati."A Zhì!" panggilnya dengan suara lembut namun tegas, menggunakan panggilan akrab yang biasa dipakainya sejak mereka kecil.Qing Héng Zhì menoleh perlahan. Tatapan matanya kosong dan suram, seakan tidak ada kehidupan di balik kedua bola mata yang biasanya jernih itu. Pedang Yuán Shēng Jiàn, di tangannya masih meneteskan darah segar, berkilau mengerikan di bawah cahaya yang pudar."A Zhì, ini Gēge!" Jìng Zhenjun Wángyé melangkah pelan mendekatinya, kedua tanga
Di Panggung Kehormatan yang megah, suasana menjadi mencekam ketika para pengawas Perburuan Roh melaporkan insiden yang terjadi di medan pertandingan. Kaisar Yǔhàn berdiri dengan wajah memerah, amarah terpancar jelas dari kedua matanya yang menyala."Mowang! Tiānyù Jiànzhàn!" serunya dengan suara menggelegar yang menggema di seluruh ruangan. "Bukankah kalian telah menjamin Heibing Hùfú?"Mo Chén yang duduk dengan tenang di kursinya tersenyum tipis lalu berdiri perlahan, sikap tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan ketegangan. "Apa yang terjadi, Bìxiā?" tanyanya dengan santai yang justru semakin membakar amarah sang Kaisar."Jangan berpura-pura!" Kaisar Yǔhàn menunjuk ke arah Mo Chén dengan jari yang bergetar karena marah. "Qing Héng Zhì muncul di medan Perburuan Roh dan mengacaukan semuanya! Dia melukai banyak kultivator!"Mo Chén mengangkat bahu dengan sikap yang hampir konyol. "Apa hubungannya dengan Heibing Hùfú?" sahutnya sambil melirik Ji
Angin sore bertiup kencang ketika ketiga sosok itu melesat dengan kecepatan penuh menuju Lembah Xingye. Cahaya pedang mereka meninggalkan jejak berkilauan di langit yang mulai meredup, seperti meteor jatuh yang bergerak melawan gravitasi.Huànyǐng menoleh pada Qing Yǔjiā yang terbang di sampingnya dengan berdiri di atas pedang pendek hijau pucat. Wajah gadis itu pucat dan tegang, kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh untuk menjaga keseimbangan."Qing Gūniang, kau tidak apa-apa?" tanya Huànyǐng dengan nada yang lebih lembut dari biasanya."Aku baik-baik saja," sahut Qing Yǜjiā singkat tanpa menoleh. Meski begitu, tubuhnya bergetar sedikit—entah karena angin atau karena kekhawatiran.Tiānyin yang terbang di depan mereka di atas pedang Xīn tiba-tiba melambat dan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti. Ketiga sosok itu mendarat dengan mulus di atas sebuah puncak bukit yang tinggi, pedang-pe