Senapati Utama Buntala telah kembali ke kemahnya. Ia perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga setelah pertarungan tadi.
Setelah Buntala pergi, Sadnya memilih beristirahat di bawah pohon tembesu yang rindang. Beberapa orang prajurit menemaninya.Sambil beristirahat, Sandya ingat, hari ini adalah tanggal tujuh Jesta.Hari ini tepat 27 hari setelah berangkat dari Kutaraja Sriwijaya, Minanga Tamwan, yang terletak di Sungai Komering.Sadnya adalah salah satu dari 20.000 prajurit yang ikut dalam rombongan bala tentara yang mengawal Dapunta Hyang melalui jalur sungai. Selain itu, 1312 prajurit berjalan kaki mengiringi di sepanjang Sungai Komering hingga Sungai Musi.Tujuan perjalanan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah melakukan siddhayatra atau perjalanan suci. Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa melakukannya setelah mendapat firasat baik.Di sisi lain, perjalanan besar ini akan merebut Mukha Upang dari tangan Tumenggung Balin. Jika semua rencana itu lancar, maka kehendak Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa memindahkan Kutaraja Sriwijaya dari Minanga Tamwan ke Mukha Upang akan jadi kenyataan.Sadnya ingat, perjalanan ke Mukha Upang di Sungai Musi bukan pekerjaan mudah. Dua bulan penuh Sadnya mengumpulkan warga. Keluar masuk dusun mengumpulkan perbekalan, juga menyiapkan perahu-perahu yang dipakai untuk mengangkut prajurit dan perbekalan.Dua ratus peti perbekalan berhasil dikumpulkan oleh senapati-senapati Sriwijaya.Kemampuan Sadnya mengorganisir ribuan pemuda dusun untuk menjadi prajurit dan keberhasilannya mengumpulkan berton-ton perbekalan membuat hati Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa terpikat.Menjelang keberangkatan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa dan prajuritnya, Sadnya mendapat tugas sebagai senapati madya, panglima menengah yang memimpin 180 orang prajurit. Tugas yang membuat Sadnya girang bukan kepalang.Sebelumnya, Sadnya hanya seorang anak muda yang saat kanak diselamatkan Senapati Utama Buntala. Ibu asuhnya, seekor harimau betina, mati terkena tombak prajurit Kandra Kayet[1].Kandra Kayet adalah seorang senapati Sriwijaya yang berasal dari Danau Ranau. Kala itu, Kandra Kayet berontak. Tandrun Luah dan Buntala di tugaskan untuk memadamkannya.Pertama kali ditemukan oleh Buntala, Sadnya baru berusia sepuluh tahun. Buntala menemukannya saat sedang menangis dan memeluk seekor harimau betina yang mati tertombak. Ketika Buntala hendak menanyakan tentang harimau betina itu, Sadnya sempat melawan.Dengan jurus bertarung aneh dan gerakan mirip seekor harimau, Sadnya sempat melukai beberapa prajurit Sriwijaya. Sadnya tak lagi menyerang ketika Buntala dengan sabar menggunakan isyarat tangan menjelaskan kalau ia dan prajurit Sriwijaya bukan orang jahat.Ketika Sadnya mulai tenang, Buntala mulai mengetahui bahwa bocah kecil yang mengenakan cawat kulit kayu itu sama sekali tidak bisa bicara dalam bahasa manusia. Sadnya kecil hanya mampu bicara bahasa harimau. Dengan isyarat tangan dan auman.Dari puluhan orang yang menyaksikan, hanya Buntala yang memahami. Itupun tak banyak. Sehingga, Buntala yang sejak awal tertarik pada Sadnya, berhasil membujuk Sadnya untuk ikut ke Minanga Tamwan. Untuk hidup bersama manusia. Sejak itulah Buntala memanggil Sadnya, anak harimau.Sadnya ternyata seorang anak cerdas. Ia mampu beradaptasi dengan cepat. Buntala dengan sabar dan telaten mengajarkan semua hal pada Sadnya. Terutama bahasa manusia.Karena daya tangkap yang baik, dalam waktu sebulan Sadnya sudah bisa bicara bahasa manusia. Tidak itu saja, Sadnya juga mulai hidup seperti manusia kebanyakan. Sadnya tak lagi makan daging mentah seperti seekor harimau. Ia juga mulai terbiasa makan menggunakan tangan. Bukan makan menggunakan mulut seperti kebiasaan lamanya.Buntala, yang menggantikan peran harimau betina juga perlahan mengasah dan menghaluskan ilmu silat yang diwarisi Sandya dari Ibu harimaunya. Berkat Buntala, Sadnya mampu mengembangkan tiap gerakan ilmu harimau dan bisa mengontrol emosi dengan baik.Kebahagiaan juga menghinggapi Buntala. Hari-hari mendung Buntala karena enam tahun lalu harus kehilangan seorang anak perempuan, Laksmi, kini mulai berubah. Sadnya pelan-pelan bisa menggantikan Laksmi yang hilang terbawa arus Sungai Komering. Tawa dan canda telah muncul kembali di rumah Senapati Sriwijaya itu.Ketika usianya beranjak remaja, Sadnya terlihat menonjol di antara anak-anak lain. Hal itu bisa diukur dari kemampuan Sadnya mengalahkan mereka ketika latihan atau saat ikut lomba olah keprajuritan. Sadnya selalu jadi juara. Maka, karena bakatnya tersebut, Buntala memasukkan Sadnya ke kesatuan pasukan Sriwijaya.Pertempuran di Mukha Upang hari ini merupakan tugas tempur pertama Sadnya. Tugas yang ia akhiri dengan kemenangan gilang gemilang. Tapi, dibalik semua keberhasilan dan kebahagiaannya kini, Sadnya masih memendam pertanyaan besar. Sebuah pertanyaan tentang asal-usul dirinya. Tak mungkin ia lahir dari seekor harimau yang telah menjadi ibunya selama sepuluh tahun.Lamunan Sadnya akan masa lalu lalunya buyar oleh teriakan seseorang."Senapati! Senapati!" seorang prajurit muda berlari tergopoh-gopoh ke arah Sadnya."Ada apa prajurit?" tanya Sadnya pada prajurit yang menghampirinya dengan nafas terengah-engah."Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa berkenan memanggil Senapati ke tendanya.""Ada apa kira-kira?""Hamba tak paham senapati.""Baiklah. Aku segera ke sana," ujar Sadnya sambil membenahi baju tempurnya yang lusuh dan bergegas menuju tenda Sang Dapunta Hyang.Di depan pintu tenda Sang Dapunta Hyang, empat prajurit menghentikan langkah Sadnya. Mereka memeriksa Sadnya. Semua senjata yang Sadnya bawa harus ditinggalkan. Termasuk Golok Melasa Kepappang.Di dalam tenda, Sang Dapunta Hyang telah menunggu. Datu Sriwijaya itu duduk di kursi kayu ulin berlapis kulit harimau. Di hadapannya, Senapati Utama Buntala bersimpuh menundukkan kepala. Senapati tua itu urung beristirahat. Baru saja ia sampai ditenda, Sang Dapunta Hyang sudah memanggil."Masuklah Sadnya!" Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa memanggil Sadnya. Sadnya masuk ke dalam tenda dengan jalan berjongkok. Pada jarak lima tombak dari Sang Dapunta Hyang, ia bersujud."Senapatiku Sadnya, bangunlah.""Hamba Yang Mulia," Sadnya bangun dari sujud dan duduk bersila. Kepalanya menunduk. Tak berani ia melihat wajah Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa.Sadnya dan seluruh rakyat Sriwijaya percaya jika berani melihat wajah Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah kesalahan besar. Siapapun yang melakukannya, konon akan mendapat kutukan yang berujung kematian atau paling tidak kesengsaraan seumur hidup."Sadnya.""Hamba Sang Dapunta Hyang.""Bagaimana keadaanmu?""Hamba baik-baik saja Tuanku.""Aku senang kau bisa mengalahkan Balin hari ini.""Hmba Sang Dapunta Hyang.""Kudengar kau berhasil merebut Golok Melasa Kepappang?""Hamba Sang Dapunta Hyang.""Lalu kemana pusaka itu?""Hamba tinggalkan pada prajurit penjaga di depan Tuanku.""Aku ingin melihatnya. Buntala, kau panggilkan prajurit jaga. Bawa Golok Melasa Kepappang kehadapanku," perintah Sang Dapunta Hyang pada Buntala."Hmba Tuanku," Senapati Utama Buntala beringsut pergi memanggil prajurit jaga. Tak lama kemudian, Buntala kembali bersama seorang prajurit dengan membawa Golok Melasa Kepappang. Golok itu langsung diserahkan pada Sang Dapunta Hyang."Demi Sang Hyang Adi Buddha!" seru Sang Hyang Adi Buddha memekik saat menarik Golok Melasa Kepappang dari sarungnya.Mendengarnya Senapati Utama Buntala dan Sadnya jadi bertanya-tanya. Ada apakah gerangan hingga Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa terkejut melihat Golok Melasa Kepappang? Keduanya tak berani bertanya. Bau anyir darah memenuhi tenda. Sang Dapunta Hyang telah menyarungkan kembali Golok Melasa Kepappang."Golok Melasa Kepappang ini haus darah. Aroma Kematian begitu kuat. Golok pusaka ini harus dipegang seseorang yang benar-benar punya hati kuat. Hanya orang itu yang bisa mengendalikan roh haus darah Golok Melasa Kepappang ini," ujar Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ia melanjutkan kalimatnya. Kali ini ia bertanya pada Sadnya."Sadnya, bagaimana perasaanmu saat memegang Golok Melasa Kepappang?""Amba Sang Dapunta Hyang. Amba merasa tenaga hamba tersedotkekuatan dari dalam golok. Seperti ada kekuatan gaib yang menarik roh Amba ke dalam lubang hitam panjang Sang Dapunta.""Sadnya, kau pantas bersyukur pada Sang Hyang Adi Buddha. Kau bisa menguasai Golok haus darah ini. Memang benar, ada roh penasaran di dalamnya. Roh itu berasal dari orang-orang yang jadi korban keganasan Golok Melasa Kepappang. Terutama roh sepasang bujang dan gadis yang dijadikan tumbal di Batu Kepappang. Darah mereka digunakan untuk mencuci golok ini," Sang Dapunta Hyang menjelaskan. Sadnya dan Buntala yang mendengarkan cerita jadi bergidik."Sadnya. Aku yakin kau berjodoh dengan Golok Melasa Kepappang. Bawalah ia sebagai pusakamu."Mendengar titah Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Sadnya terdiam.Kalau bisa jujur, hati Sadnya sedikit berontak. Karakter Golok Melasa Kepappang begitu haus darah dan bertentangan dengan nuraninya. Namun, ini adalah perintah Sang Dapunta Hyang. Menentang perintahnya sama saja mengingkari kehendak Sang Pencipta.Dalam diam, akhirnya Sadnya menerima pusaka keramat haus darah tersebut dan pamit mundur.Catatan:[1] Dalam riwayat masih simpang siur siapa sebenarnya Kandra Kayet. Ada sumber yang menyebutkan Kandra Kayet adalah salah satu Datu Melayu yang dikalahkan Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ada juga yang menyebutkan jika Kandra Kayet adalah salah senapati Sriwijaya yang memberontak.Sepeninggal Sadnya, suasana tenda Sang Dapunta Hyang kembali sunyi. Sang Dapunta Hyang terlihat meneguk air minum dari sebuah cangkir Tiongkok yang terletak di sebelah kursi yang ia duduki. Senapati Utama Buntala yang duduk di hadapannya sama sekali tak bergeser.Di awal kemunculannya, asal usul lelaki bertubuh tinggi tegap dengan wajah tampan itu seperti misteri. Misteri yang tidak bisa dijawab hingga hari ini. Sampai akhir hayat, rakyat Sriwijaya percaya sepenuhnya bahwa Datu pertama Sriwijaya itu merupakan titisan Sang Hyang Adi Buddha.Rakyat Sriwijaya mengenal Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai seorang sakti yang mampu menguasai ilmu alam, bahasa hewan, dan perubahan cuaca. Datu pendiri Kedatuan Sriwijaya itu juga dikenal memiliki sifat arif. Karena kesaktian dan sifatnya itu, semua rakyat Sriwijaya mempercayai jika Sang Dapunta Hyang adalah titisan Sang Hyang Adi Buddha.Kesaktian dan sifat welas Sang Dapunta Hyang makin lengkap dengan kehadiran Putri Sobakencana sebagai pe
Abad ke-7 Masehi. Minanga Tamwan merupakan sebuah kota yang sibuk, tertib, dan bersih. Letak di pinggir Sungai Komering, menyebabkan Minanga Tamwan dilayari kapal-kapal berukuran sedang dan kecil. Selain menjadi transportasi manusia, kapal-kapal tersebut juga mengangkut hasil hutan, rempah-rempah, dan hasil tambang. Di antara sekian banyak kapal itu terlihat satu dua kapal-kapal dagang asing yang berasal dari India dan Tiongkok.Hampir semua kapal asing itu mengangkut pinang. Pinang memang menjadi salah satu komoditi perdagangan penting dunia saat itu. Beberapa kapal dan perahu juga mengangkut damar, gaharu, gading gajah, emas, dan lainnya.Pinang yang diperjualbelikan kebanyakan berasal dari daerah sepanjang sungai Komering dan anak-anak sungainya. Banyak juga yang didatangkan dari daerah Danau Ranau yang diangkut melalui Sungai Selabung.Waktu memasuki seperempat malam. Saat itu, di pinggir Minanga Tamwan, dua sosok tubuh manusia berjalan di antara rumah-rumah panggung. Keduanya tamp
Bagi Rajaputra Aruna, persekutuannya dengan Balin selama ini tak lepas dari sebuah siasat licik belaka. Rajaputra memerlukan Balin sebagai sekutu hanya untuk meruntuhkan ayahnya semata. Tak lebih. Jika ayahnya berhasil diruntuhkan, maka sesegera mungkin ia juga akan menumpas Balin. Ia harus jadi penguasa tunggal di Kedatuan Sriwijaya.Pengaruh arak enau malam ini membuat Rajaputra Aruna cukup liar. Ia tak lagi peduli posisinya sebagai seorang anak Datu Sriwijaya.Sarpa mampu dengan cepat menangkap kegembiraan hati Rajaputra Aruna itu. Ia juga harus memanfaatkan situasi dan mendapatkan keuntungan besar untuk dirinya sendiri. Maka, saat Rajaputra Aruna menanyakan persiapan prajurit dan persenjataan yang diperlukan untuk memberontak nanti, Sarpa harus membuat hati Rajaputra Aruna semakin gembira dengan semua ucapannya."Sarpa. Bagaimana persiapan dan latihan pasukan kita?" kali ini Rajaputra Aruna bertanya pada Sarpa dengan mimik serius."Amba Tuanku. Semua berjalan sesuai rencana.""Bag
Hampir tengah malam Sadnya kembali ketendanya. Setibanya di tenda, Sadnya langsung tertidur pulas. Tak sempat lagi ia berganti pakaian. Golok Melasa Kepappang tergeletak sampingnya. Menjelang dini hari, saat ayam hutan jantan berkokok, Sadnya bermimpi. Dalam mimpinya, Sadnya didatangi oleh sepasang bujang gadis berkebat pakaian putih. Keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. Si Bujang yang berbadan tegap dan tampan, mengaku bernama Arutala. Sedang Si Gadis yang berwajah rupawan bernama Leena. Yang mengherankan, keduanya mendatangi Sadnya sambil menangis. "Sadnya. Aku bernama Arutala. Kekasihku ini bernama Leena. Kami berdua adalah ruh penghuni Golok Melasa Kepappang yang kini kau miliki" "Apa maksud kalian berdua datang padaku?" "Kami mohon kau bisa membantu kami Sadnya." "Aku? Aku tak kenal siapa kalian berdua? Terus kenapa aku harus membantu kalian berdua?" "Sadnya. Jika kau tak mau menolong kami, kami akan selalu jadi arwah penasaran yang menghuni golok haus darag ini. Ruh
Sebenarnya, waktu Sadnya lebih banyak dihabiskan dengan bersantai di tendanya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena Mukha Upang telah ditaklukan. Oleh sebab itu, dia hanya tidur dan berputar-putar di sekitar perkemahan saja. Pertemuannya dengan Ruh Arutala dan Leena seakan membangkitkan gairah hidupnya. Namun, itu tidak bertahan lama karena Sadnya akhirnya menyerah untuk mencari jawaban mimpinya. Namun, sejak saat itu, dari hanya mengelilingi perkemahan, Sadnya memutuskan untuk pergi berkeliling Mukha Upang. Ia pergi sendiri, tanpa siapapun menemaninya. Mukha Upang pada Abad Tujuh Masehi, adalah kota yang dibangun sebagian besar di atas rawa-rawa yang dikeringkan. Apabila dilihat sekilas, Mukha Upang adalah sebuah kota yang semrawut. Hampir seluruh rumah di Mukha Upang mengapung di sepanjang tepi aliran Sungai Musi. Rumah-rumah itu sengaja dibuat terapung agar bisa menyesuaikan diri dengan pasang surut air sungai. Dengan begitu rumah-rumah apung itu tak akan tenggelam atau hanyut
"Senapati, aku berasal dari Bintan. Salah satu pulau di antara beribu pula di Selat Malaka. Aku yakin kau belum pernah ke sana. Aku adalah anak dari Suku Laut. Kami, Suku Laut, adalah penguasa laut sesungguhnya. Kami orang-orang merdeka yang selalu dipersekutu oleh Datu-Datu dari Melayu, Tarumanegara, dan Sriwijaya. Bahkan panglima perang dan pedagang dari negeri jauh seperti India dan Tiongkok juga mempersekutu kami. Mereka sadar apa yang akan terjadi jika menganggap kami angin lalu. Kami hapal setiap teluk dan tanjung di sepanjang Pantai Timur Swarnadwipa beserta hantu dan peri penunggunya." Rampog benar. Leluhur sukunya, suku laut adalah orang-orang pemberani penguasa lautan. Desas-desus mengatakan bahwa leluhur mereka adalah sisa dari orang-orang purba yang telah hidup di dunia sejak tiga ribu dua ratus sebelum Sadnya dilahirkan. Sekitar tahun dua ribu lima ratus sebelum Masehi. Walaupun pengetahuan Sadnya belum sejauh itu, ia yakin bahwa leluhur Rampog digjaya di samudera. Setah
Di sisi lain ....Pada siang hari, kesibukan tengah terjadi di sebuah tempat rahasia di Gunung Batu. Daerah yang terletak agak jauh dari Minanga Tamwan itu tampak menggeliat dalam beberapa hari terakhir. Ratusan laki-laki hilir mudik membawa tombak dan pedang. Tanah lapang di tengah perkampungan prajurit ramai oleh prajurit yang berlatih. "Trang...! Trang...!" Suara tombak dan pedang yang beradu, makin membuat hari semakin panas. Semua prajurit tampak tak mengenakan pakaian bagian atas. Memamerkan otot-otot yang kekar dan menonjol keluar. Peluh mengalir deras di dada dan punggung mereka. Berkilau-kilau tertimpa sinar matahari. Tidak hanya berlatih silat, mereka juga berlatih membentuk formasi tempur. Formasi bertahan atau menyerang. Formasi tempur yang terus menerus mereka latih dengan disiplin adalah cakrabyuha. Cakrabyuha merupakan salah satu bentuk formasi tempur yang berasal dari formasi tempur India kuno. Cakrabyuha bermakna formasi lingkaran dan pertama kali dipelajari dari K
Persiapan pemberontakan Rajaputra Aruna sudah disusun sejak jauh hari. Itu terbukti oleh kekuatan tempur yang dibangun. Hidup Rajaputra Aruna yang terbiasa melanglang buana membuatnya memiliki banyak teman dan jaringan. Apalagi dengan status sebagai anak Datu Sriwijaya, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Semua orang dari berbagai lapisan sudah tentu ingin dekat dengan anak Selir Laksita itu. Sayangnya, kesempatan luas itu malah membuat Rajaputra Aruna keliru menempuh jalan hidup. Jalan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Budha. Perilaku tak senonoh Rajaputra Aruna makin menjadi. Ditambah dengan rasa iri terhadap Putra Mahkota Sriwijaya, Pangeran Indrawarman. Rasa iri Rajaputra Aruna terhadap Pangeran Indrawarman, melahirkan sikap antipati terhadap ayah dan saudara laki-lakinya itu. Sampai suatu saat, Rajaputra Aruna berniat merebut kekuasaan dari Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Niat jahat yang mendorong Rajaputra Aruna membangun kekuatan militer dan menghimpun pendekar-pendekar al