Share

Golok Melasa Kepappang

Kekuatan utama Balin ada di Golok Melasa Kepappang, Sadnya menyadarinya. Golok itu mengandung racun yang mampu membunuh manusia dalam waktu singkat. Tak sampai sehela nafas! Dalam pertempuran di Mukha Upang ini, Sadnya sudah melihat sendiri kebuasan Golok Belasa Kepampang.

Dengan golok pusaka itu, Balin berhasil membunuh puluhan prajurit. Begitu kulit mereka tergores Golok Belasa Kepampang, mereka lalu kejang-kejang, muntah darah, dan tewas dengan mulut berbusa!

Bergidik tubuh Sadnya melihat korban-korban keganasan Golok Melasa Kepappang.

Golok Melasa Kepappang kebanggaan Balin memang bukan pusaka sembarangan. Golok Melasa Kepappang diwariskan turun temurun oleh moyang Balin yang berasal dari Kerajaan Sekala Bghak. Sebuah kerajaan tua yang merupakan muasal pohon bertuah, Melasa Kepappang.

Pohon Melasa Kepappang merupakan sebuah pohon bercabang dua. Kedua cabang itu memiliki perbedaan yang aneh. Satu cabang adalah nangka dan satunya lagi merupakan kayu sebukau.

Kayu sebukau merupakan sejenis kayu bergetah. Keistimewaan yang dimiliki cabang kayu sebukau akan bisa menimbulkan penyakit koreng atau penyakit lain. Jika racun getah kayu sebukau itu dioleskan pada sebuah senjata, asalkan diiringi ritual tertentu, maka senjata itu akan jadi senjata pusaka yang mematikan.

Penawar racun getah kayu kayu sebukau hanyalah getah dari kayu nangka. Cabang lain dari pohon Melasa Kepappang. Karena keanehan ini, maka pohon Melasa Kepappang diagungkan dan dijadikan salah satu dewa oleh Suku Tumi.[1]

Racun yang ada pada Golok Melasa Kepappang, merupakan racun yang diambil dari getah kayu sebukau. Penempatan racun getah sebukau pada Golok Melasa Kepappang melalui ritual mengorbankan sepasang bujang gadis di Batu Kepappang[2]. Sebuah batu yang dijadikan alas bagi ritual penyembelihan tumbal bagi dewa-dewa suku Tumi.

Darah dan nyawa mereka dipersembahkan kepada dewa-dewa agar racun getah sebukau bisa diserap senjata pusaka yang dibuat. Dari sekian banyak usaha membuat senjata pusaka tersebut, hanya pembuatan Golok Melassa Kepappang yang berhasil.

Kita kembali ke pertarungan Sadnya dan Balin.

Sadnya menggeser badannya dua langkah ke kanan. Ia berhasil menghindari tebasan Golok Melasa Kepappang. Sadnya harus cepat menyelesaikan pertarungan ini. Jika tidak, tenaganya akan terkuras habis dan gerakannya jadi lamban. Kondisi itu memungkinkan Balin punya kesempatan membenamkan racun ganas Golok Melasa Kepappang dalam aliran darahnya.

Kini giliran Sadnya menyerang balik Balin.

Pedang buntung di tangannya terangkat sampai di atas ubun-ubun. Ia siap menebaskan pedang itu ke leher Balin. Ia menunggu Balin terhuyung dan lengah satu detik ke depan. Tapi Balin bukan anak kemarin sore. Setelah serangan pertama hanya mengenai angin, ia langsung menyerang kembali. Seperti kilat, ia sudah membangun kuda-kuda dan langsung menyerang Sadnya.

"Wuussss....!" suara golok Balin menimbulkan kesiur angin. Teriakan keras Balin mengikuti tebasan goloknya, "Mampus kau senapati ingusan!"

"Trang...!" suara dua senjata beradu keras terdengar. Sadnya menangkis serangan Balin sambil melompat mundur. Ia sama sekali tak menduga Balin dengan cepat menyerang kembali. Hampir saja ujung Golok Melasa Kepappang menggores pelipisnya. Untung saja dengan kecepatannya, Sadnya masih bisa menangkis serangan Balin.

"Tahu rasa kau! Hahaha...!" teriak Balin.

"Sebentar lagi racun Golok Melasa Kepappang ini akan mengantarmu ke Neraka!" gertak Balin pada Sadnya sambil tertawa.

Sadnya berang bukan kepalang. Sambil menyeka keringat di dahinya, Sadnya membenahi posisi. Matanya melotot menatap setiap gerakan Balin.

"Boleh juga monyet tua ini," gumam Sadnya pelan.

Sadnya menggeser posisi ke kiri. Ia menghendaki posisi Balin membelakangi rawa-rawa di sebelah kanannya. Dengan begitu posisi Balin lebih dekat dengan genangan air. Tanah di sekitarnya tak mungkin baik dijadikan pijakan karena licin. Jika tidak pada serangan pertama, pada serangan kedua Sadnya yakin bakal mengirim Balin ke neraka.

Balin masih kegirangan karena berhasil membuat Sadnya jerih. Ia lengah. Sebelum Balin menyadari, Sadnya telah merangsek menyerang. Balin yang menerima serangan tiba-tiba, tak sempat membenahi posisi. Ketika Balin sadar, semua sudah terlambat. Pedang Sadnya telah memecahkan batok kepalanya.

"Aggh...!" jeritan pendek keluar dari mulut tumenggung tua itu. Seketika darah muncrat dari kepalanya yang terbelah dua dari ubun-ubun hingga hidung bagian atas. Tubuh Balin roboh dalam posisi duduk. Lalu jatuh bergedebuk ke tanah. Tak bangun lagi. Sadnya masih berdiri satu Depa di depan tubuh Balin.

Setelah dirasa Balin benar-benar tewas, Sadnya baru mendekati tubuh Balin. Ditendangnya Golok Melasa Kepappang yang masih digenggam Balin. Sadnya lantas memungut dan mengambil sarung Golok Melasa Kepappang dari pinggang Balin. Pertama kali memegang Golok Melasa Kepappang, Sadnya merasakan suatu keanehan terjadi.

Sebuah tenaga sangat besar menarik ruh Sadnya masuk ke dalam Golok Melasa Kepappang. Hampir saja roh Sadnya tertarik masuk ke dalam Golok Melasa Kepappang. Baru setelah Sadnya berkonsentrasi dan menenangkan pikiran sebentar, tenaga besar yang menarik rohnya itu berangsur menghilang. Kini Golok Melasa Kepappang telah jadi ia kuasai sepenuhnya.

Tewasnya Balin yang merupakan Tumenggung Mukha Upang menyebabkan sisa-sisa prajurit Mukha Upang yang masih melawan otomatis menyerah. Mereka kemudian melemparkan senjata ke tanah dan mengangkat tangan. Sementara, sorak sorai kemenangan yang dipekikkan oleh prajurit Dapunta Hyang makin ramai.

"Hidup Sadnya! Hidup Sadnya!", kerumunan prajurit hiruk mengelu-elukan Sadnya.

Mendengar teriakan itu, Sadnya mengangkat tangan kanannya yang memegang Golok Melasa Kepappang. Seluruh prajurit Sriwijaya yang melihatnya sontak diam. Sadnya lalu menurunkan tangan.

"Prajurit Sriwijaya yang gagah perkasa! Tumenggung Mukha Upang telah kubunuh! Kemenangan ada di tangan Sriwijaya yang agung! Hidup Sriwijaya! Hidup Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa!"

"Hidup Sriwijaya!"

"Hidup Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa!"

"Hidup Sadnya!"

Sadnya kembali mengangkat tangannya. Lalu berkata.

"Pertempuran hari ini telah usai! Aku minta, rawat baik-baik mayat Tumenggung Balin! Juga perlakukan seluruh prajurit Mukha Upang dengan baik!"

"Siap Senapati!" perintah Sadnya dipatuhi oleh seluruh prajurit Sriwijaya. Mereka bubar dari kerumunan. Melakukan apa yang diperintahkan senapatinya. Sadnya sendiri berjalan mendekati Senapati Utama Buntala. Keadaan senapati tua Sriwijaya itu kini sudah lebih baik setelah beristirahat sebentar.

Setelah Sadnya sampai di hadapan Senapati Utama Buntala, Sadnya langsung menyembah. Rebah ke tanah. Lalu terdengar Senapati Utama Bunta berbicara.

"Sadnya! Anak harimau! Seharusnya kau tak selamatkan aku tadi. Bagi seorang prajurit, mati dalam pertempuran adalah kemuliaan. Sedangkan sekarang aku berdiri dengan rasa malu!"

Mendengar kalimat Buntala, Sadnya segara menjawabnya.

"Ampuni hamba. Bukan hamba bermaksud membuat malu Senapati. Tapi hamba rasa, Sriwijaya masih sangat memerlukan Senapati," ujar Sadnya seolah ia tak sedang berhadapan dengan seorang senapati utama Sriwijaya yang paling disegani.

"Anak Harimau. Kau bukan saja buat aku malu hari ini. Tapi juga membuatku berhutang nyawa padamu."

Sadnya terdiam. Tak ada jawaban dari mulutnya. Buntala kembali meneruskan kalimatnya.

"Bangunlah Anak Harimau"

"Hamba Senapati."

Sadnya lalu bangun. Saat ia berdiri tegak, Buntala telah berdiri di depannya. Buntala lantas tanpa sungkan memeluk Sadnya. Seperti seorang ayah memeluk anak sendiri.

"Anak Harimau, tak percuma aku menemukanmu beberapa tahun yang lalu. Kau anak yang mengerti bakti. Dengan kemampuan seperti tadi, aku yakin bukan hanya Balin yang bisa kau kalahkan. Apalagi bersama Golok Melasa Kepappang yang miliki kini. Ke depan, pasti akan lebih banyak prajurit dan pendekar hebat yang akan kau kalahkan!" puji Buntala pada Sadnya.

"Hamba Senapati," jawab Sadnya takzim. Jauh di dalam hatinya, Sadnya risau. Hati dan pikirannya selalu diganggu oleh pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Tak mungkin ia terlahir dari seekor harimau. Lalu, siapakah orang tua kandung yang melahirkannya?

Catatan:

[1] Suku Tumi adalah sebuah suku purba yang hidup di lereng Gunung Pesagi, Lampung Barat. Beberapa sumber mengatakan bernama suku Tumi suku Tumi kemungkinan berasal dari India Selatan dan merupakan bagian dari etnis Tamil.

[2] Batu Kepapang salah satu peninggalan dari peradaban Sekala Bghak kuno. Batu tersebut berfungsi untuk memenggal leher bujang dan gadis atau orang yang melakukan kesalahan untuk dipersembahkan kepada leluhur mereka. Situs Batu Kepappang terletak di Pekon (desa) Kenali, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erwin Hasyim
cereita yg bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status