Indra berlari sekuat tenaga menyusuri hutan di tengah gelapnya malam, tubuh Rima terasa semakin panas. Bahkan kini Rima sudah tidak sanggup lagi menggerakan bibirnya, melihat kondisi Rima seperti itu Indra terus berlari kencang. Dia harap jauh di depan sana ada pemukiman penduduk, lebih baik lagi kalau ada seorang tabib.
Namun diluar dugaan ternyata setelah cukup lama Indra berlari, hutan yang dia telusuri masih belum terlihat ujungnya. Rima sendiri tampak sudah terdiam lemas tidak mampu berbicara seperti tadi lagi. Melihat hal itu Indra serasa dibodohi oleh kata-kata Ki Bisara tadi, jika seperti itu akhirnya mungkin dia sebaiknya tadi menitipkan Rima terlebih dahulu di tabib yang ada di Desa Rahong.
“Haduh..” gerutu Indra sambil berhenti sejenak, nafasnya sudah tersengal-sengal karena sejak tadi dia tidak berhenti berlari. Perlahan Indra menidurkan Rima di rumput, tubuhnya masih terasa panas.
“Bertahan
Indra terus berlari ke arah timur. Setelah cukup lama akhirnya di kejauhan dia bisa melihat rumah-rumah sederhana milik penduduk Desa Sakerta yang dia tuju. Indra langsung mempercepat langkahnya dan turun ke tanah mencari warga desa untuk menanyakan apakah ada tabib di sana atau tidak.“Maaf nyai. Apakah di sini ada tabib?” tanya Indra dengan nafas memburu.“Eh.. ada..” ucap wanita yang ditanya oleh Indra seakan ragu. Wanita itu tampak menggerakan lehernya melihat Rima yang digendong oleh Indra.“Di mana nyai? Teman saya harus segera di obati,” tanya Indra lagi dengan raut wajah senang.“Eh.. di sebelah sana..” jawab wanita itu tampak masih ragu-ragu sambil menunjuk arah dengan jari tangannya.“Terima kasih nyai,” kata Indra yang langsung berlari ke arah yang ditunjuk wanita tersebut. Setelah cukup jauh menyusuri pedesaa
“Aku akan kembali ke perguruan Pancasagara,” sambung Rima.“Kamu sendiri mau mencari para pendekar jahat itu ke mana?” tanya Rima sambil menatap Indra.Indra hanya terdiam cukup lama sambil menatap langit. Saat ini dia tidak memiliki tujuan yang pasti, entah kemana dia harus mencari para pendekar yang menyerang perguruannya. Satu-satunya petunjuk yang dia miliki hanyalah ikat pinggang hitam bergambar tengkorak itu, teringat juga olehnya bagaimana Saktiwaja malah salah paham kepadanya.Namun entah apa yang membuat Saktiwaja bersikap seperti itu, bahkan dia terlihat tidak mau mendengarkan penjelasannya sedikitpun. Dia pikir mungkin beberapa orang penting sudah tahu tentang kelompok pendekar dengan ikat pinggang seperti itu.“Argh.. kalau dipikir rasanya makin bingung,” gerutu Indra sambil menggaruk-garuk kepalanya.“Kamu bingung mau ke mana
“Kau ini tega banget,” gerutu Indra.“Kayaknya aku mulai ketularan ketengilanmu,” balas Rima sambil tertawa.“Memangnya penyakit,” ujar Indra sambil mulai menyantap ikan yang sudah mulai dingin.Setelah melepas rasa lapar akhirnya mereka berdua bersiap untuk melanjutkan perjalanannya kembali menuju Perguruan Pancasagara. Kini mereka hanya tinggal melewati Hutan Halimun dan mendaki Gunung Sagara saja. Mereka berdua mulai berjalan mendekati Hutan Halimun, sebuah hutan belantara yang rapat oleh pepohonan.Namun selain banyaknya pepohonan besar, di sana juga ada keanehan lainnya. Meski sudah siang hari namun Hutan Halimun terlihat masih saja diselimuti oleh kabut putih yang begitu tebal, padahal sinar sang surya sudah bersinar dengan teriknya. Udara dingin mulai mereka rasakan saat mulai mendekati hutan.“Indra kamu jangan sampai lengah dan j
Tanah kembali terasa bergetar, riuh angin yang bergemuruh kembali menderu kencang. Pepohonan besar di sekitar Indra terlihat bergerak karena guncangan tanah yang semakin lama semakin terasa kencang. Tapi tiba-tiba saja dada Indra seakan dihantam pukulan yang begitu keras, getaran tanah kembali mereda, riuh angin yang bergemuruh juga mulai lenyap seiring dengan tubuh Indra yang terpental ke belakang.“Uhuk..” Indra langsung memuntahkan darah dari mulutnya lalu menengadahkan kepalanya lagi ke depan, kini terlihat Rima sudah berdiri di depannya sementara kelima bayangan pendekar yang dihadapinya sudah lenyap.“Maafkan aku, tapi jika tidak seperti itu aku tidak bisa menyadarkanmu,” kata Rima sambil mendekat.“Apa maksudmu? Di mana mereka? Mereka adalah para pendekar yang aku cari selama ini,” tanya Indra sambil buru-buru bangkit.“Tidak ada siapapun di hutan ini.
“Kok tiba-tiba sepi ya?” tanya Indra sembari melirik ke arah Rima.“Mungkin mereka sedang beristirahat,” jawab Rima tanpa menoleh sedikitpun.Mereka berdua terus berjalan menuju lokasi perguruan, samar-samar di kejauhan terlihat beberapa orang pendekar sedang duduk-duduk di bawah pepohonan. Tak jauh dari tempat mereka duduk tampak ada sebuah lapangan besar, di sekitar lapangan terlihat banyak pondok-pondok sederhana berukuran sedang. Di tengah-tengah pondok-pondok tersebut tampak sebuah rumah sederhana dari bambu namun berukuran besar dengan teras luas menghadap ke arah lapangan.Di sekitar lapangan dan di beberapa pondok sederhana itu juga terlihat beberapa pendekar sedang berbincang bersama temannya, kebanyakan pendekar yang Indra lihat di sana adalah perempuan. Rima berjalan di paling depan sementara Indra berjalan di samping kanannya agak di belakang. Tiba-tiba saja para pendekar yang tengah d
“Hihihi.. memang benar aku bukanlah dari perguruan besar, aku juga tidak membawa kabar penting untuk disampaikan. Tapi ada satu hal penting bagiku yang harus aku tanyakan kepada Mahaguru kalian,” tukas Indra sambil tertawa.“Oh iya, mungkin saja kalian tahu. Apa kalian pernah melihat pendekar yang memakai ikat pinggang seperti ini?” tanya Indra sembari menunjukan ikat pinggang bergambar tengkorak dari sakunya.“Kami tidak peduli,” jawab Jatmika pendek.“Hihihi.. kalau tidak taumah bilang saja, pake jawab nggak peduli segala,” kata Indra sambil tertawa dan memasukan kembali ikat pinggang bergambar tengkorak itu ke saku celananya.“Kau meledek diriku?” tanya Jatmika dengan tatapan marah, tangan kanannya langsung mencengkram leher Indra.“Hihihi.. maaf kalau bajuku tidak memiliki kerah,” kata Indra dengan tetap
“Salam kenal mahaguru. Nama saya Indra Purwasena,” kata Indra.“Kami sudah mendengarmu tadi dari Rima. Aku benar-benar berterima kasih karena telah menyelamatkan cucuku,” tukas Pratiwi.“Silahkan duduk,” timpal Nisri. Saat itu juga Pratiwi langsung mundur lagi bersama Nisri dan duduk di teras, Rima juga duduk di sebelah ibunya. Namun tiba-tiba saja Indra langsung duduk di tanah yang ada di bawah teras.“Di sini saja,” ucap Pratiwi sembari menunjuk teras tempatnya berdiri.“Tidak Mahaguru, sebuah kehormatan bagi saya karena telah bertemu dengan anda. Karena itu saya tidak ingin mengotori peristiwa ini dengan sikap yang kurang sopan kepada anda,” jawab Indra. Mendengar perkataannya itu Pratiwi tampak tersenyum.“Kelihatannya gurumu mengajarkan ajaran yang baik,” puji Pratiwi.“Memang
“Kalau begitu, matilah disini!” tegas Pratiwi yang tiba-tiba sudah ada di depan Indra sambil melayangkan cakar tangan kanannya.Namun Indra yang sudah waspada langsung melompat mundur ke depan para murid Pancasagara, namun dada Indra terasa begitu perih. Saat dilihat ternyata di dadanya terdapat tiga goresan bekas kuku Pratiwi, Indra benar-benar terkejut padahal dia merasa sudah melompat secepat yang dia bisa.“Nenek? Ada apa ini?” tanya Rima sembari bangkit, tapi Nisri langsung menahan tubuh putrinya.“Mahaguru, apa yang terjadi?” tanya Indra dengan wajah bingung, jelas-jelas serangan Pratiwi tadi bisa saja membunuhnya.“Jangan pura-pura bodoh! Aku yakin si keparat Braja Ekalawya menyuruhmu datang kemari untuk menghancurkan Perguruan Pancasagara, sama seperti yang dilakukannya tiga puluh tahun yang lalu!” tegas Pratiwi sambil berdiri dengan tatapan pen