Pria besar bermata merah itu memandang Jing Wu yang memasang kuda-kuda sambil melemparkan tatapannya yang begitu berani tanpa ada rasa takut sama sekali. Pria itu mengedipkan matanya sekali, Jing Wu menguatkan kuda-kudanya, bersiap untuk membalas jika pria itu menyerangnya.
"Buahahahaha!" Tiba-tiba tawa pria itu meledak terpingkal-pingkal yang membuat Jing Wu keheranan. "Bocah ini beraninya mau melawan salah satu iblis terkuat di jagat ini!" ucap iblis itu sambil tertawa. "Huh, jangan anggap remeh aku, Paman!" cecar Jing Wu, "lihat ini!" Jing Wu maju dan menendang iblis itu namun sang iblis makin terpingkal-pingkal karena baginya tendangan anak itu tak berasa sama sekali. "Sudah sudah, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan bocah sepertimu." Akhirnya, iblis itu bisa menguasai dirinya. "Hm ... bagaimana kalau kau jadi santapanku saja?" mata Iblis itu menyala dan terlihat amat mengerikan. Jing Wu menggertakkan giginya, ia tahu bahwa Iblis di depannya itu tak main-main. Tapi apa yang bisa ia lakukan? "Padahal kau sangat menarik tapi aku juga lapar!" Iblis itu hendak menangkap Jing Wu namun Jing Wu dengan gesit menghindari iblis itu. "Huh, gesit juga," puji sang iblis, "sepertinya kau membuatku semakin tertarik, Bocah! "Jing Wu! Jing Wu!" "Paman Yang!" balas Jing Wu begitu mendengar suara Yang Zhao, "aku di sini!" "Cih!" Iblis itu mendecih, "sampai jumpa lagi, Bocah!" Jing Wu menoleh ke arah iblis itu namun iblis itu sudah tidak lagi berada di sana. "Jing Wu, sedang apa kau di sini?" tiba-tiba Yang Zhao muncul. Jing Wu menoleh ke arah Yang Zhao. "Paman, tadi aku bertemu pria besar bermata merah, dia bilang kalau dia salah satu iblis!" lapor Jing Wu. Yang Zhao terkejut mendengar ucapan Jing Wu tapi dia masih bisa menguasai dirinya. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru untuk memastikan apakah ada iblis di sekitar mereka, namun yang terasa hanyalah tiupan angin. "Jing Wu, ayo kita segera pergi!" Jing Wu mengangguk mengerti, "mengenai iblis yang kau lihat tadi, jangan ceritakan ke bibimu dan juga Yang Zi," lanjut Yang Zhao memperingatkan Jing Wu. Jing Wu terdiam sebentar lalu ia mengangguk. *** "Kenapa ya, Paman Yang melarangku menceritakan tentang iblis itu ke bibi dan Xiao Zi?" gumam Jing Wu di kursi belajarnya. Ia merenung sambil membayangkan iblis semalam. "Awas saja kalau iblis itu muncul di hadapanku lagi, akan kuhajar di ... hm?" Tiba-tiba Jing Wu melihat Yang Zhao keluar dan berjalan menuju hujan. Entah ada gerangan apa, Jing Wu langsung bergegas keluar dari kamarnya dan mengikuti Yang Zhao. Ternyata pria itu menuju air terjun dan Jing Wu yang bersembunyi di balik pohon diam-diam memperhatikan apa yang akan Yang Zhao lakukan. Yang Zhao berjalan mendekati air terjun itu dan kini ia berdiri di depan air terjun. Ia lalu memasang kuda-kuda yang Jing Wu tahu persis bahwa itu kuda-kuda jurus tapak penghancur. Jing Wu memperhatikan bagaimana Yang Zhao mengatur napasnya dan mulai memusatkan tenaga dalamnya ke telapak tangannya. Kemudian dia menapaki air terjun itu hingga terbentuk gelombang air yang sangat dahsyat. Jing Wu terkesimak melihat pemandangan itu, benar-benar menakjubkan dan ini adalah kesempatan langka untuknya. Setelah Yang Zhao bermeditasi sebentar, ia meninggalkan area air terjun itu. Jing Wu sendiri berusaha mengingat-ingat apa yang ia lihat, tepatnya apa yang Yang Zhao lakukan. Jing Wu melihat kedua telapak tangannya lalu ia memasang kuda-kuda seperti yang dilakukan Yang Zhao. Iya mulai mengatur napasnya seakan ia menyatu dengan alam lalu ia memusatkan tenaga dalamnya ke telapak tangannya. "Hiaaat!" Jing Wu menapaki batang pohon yang agak besar di hadapannya dan batang pohon itu hancur remuk di bagian yang ditapaki Jing Wu. Jing Wu tampak senang dengan hasilnya namun tiba-tiba terdengar seseorang menepuk tangan di belakang. Jing Wu terkejut dan langsung menoleh ke arah orang itu. Ternyata orang itu sang iblis yang Jing Wu temui semalam, sedang berbaring santai di atas pohon. "Kau!" sergah Jing Wu sambil memasang kuda-kuda bertarung dengan iblis itu, "kau mengikutiku dari semalam!" "Buahahahaha!" Iblis itu tertawa mendengar teriakan Jing Wu. "Sok sekali kau, Bocah!" kata iblis itu, "daripada aku mengikutimu, mending aku habisi nyawamu dari semalam dan memakanmu!" "Kau lihat tadi, kan, aku ini bukan anak kecil biasa!" Iblis itu meloncat dan kini berdiri di hadapan Jing Wu. "Coba serang aku!" "Hah?" "Serang aku, Bocah!" ulang iblis itu. Jing Wu berlari kemudian mengeluarkan jurus tapak penghancur miliknya namun entah mengapa kali ini jurusnya tak sehebat yang ia lakukan di pohon tadi. "Ti-tidak mungkin ...." Jing Wu menatap bingung telapak tangannya sementara iblis itu tertawa geli di hadapan Jing Wu. "Bocah, kau kenapa? Mana jurus hebatmu yang tadi itu?" Jing Wu kembali maju dan menapaki iblis itu namun hasilnya sama saja nihil. "Ahahahaha," tawa iblis itu, "tadi malam kau bahkan lebih jago dari sekarang!" hinanya, "kau tahu, Bocah, aku bisa mengajarkanmu bagaimana menggunakan jurus saat bertarung." Sejenak Jing Wu tertarik tapi tidak, ia masih ingat bagaimana Yang Zhao memperingatinya untuk jangan sampai bertemu dengan iblis manapun. "Maaf, Paman!" seru Jing Wu, "aku ini tidak bodoh! Kau bisa saja memakanku jika aku tertipu olehmu!" Iblis itu tertawa. "Bocah, kalau aku mau memakanmu, sudah kulakukan dari tadi atau semalam!" Jing Wu mundur selangkah, kali ini ia mati kutu. Apakah ia harus lari dan berteriak minta tolong, berharap paman atau bibinya menolongnya? Kalau pun ia ditolong, Yang Zhao maupun Shu Zuu pasti akan menanyainya mengapa ia ada di tengah hujan. "Kenapa? Kau mau lari? Lari saja! Tapi kalau kau tertarik belajar jurus bertarung, aku bisa mengajarimu." Jing Wu langsung berlari kencang meninggalkan iblis itu hingga ia sampai ke rumah Yang Zhao. Di halaman rumah ada Shu Zuu seperti sedang menunggu kepulangan Jing Wu. "Kau dari mana saja?" tanya Shu Zuu tegas. "A-aku ...." Melihat kondisi Jing Wu yang tampaknya baik-baik saja membuat Shu Zuu lega, setidaknya anak itu tidak berkelahi dengan anak lainnya. *** "Jing Wu bodoh!" teriak Yang Zi, ia kini berdiri di hadapan Jing Wu bersama teman-temannya. "Kau cari muka lagi di depan guru, huh!" "Kenapa memangnya? Jangan salahkan aku kalau aku pintar dan disukai guru!" "Dasar banyak tingkah!" Yang Zi ingin meraih baju Jing Wu namun Jing Wu mencoba menghindar. Sayangnya, teman-teman Yang Zi membantu Yang Zi dan mendorong Jing Wu ke hadapan Yang Zi. "Hajar saja anak itu!" teriak anak lainnya. "Huh, Jing Wu, kau ini cuma anak yatim piatu, anak sampah yang dipungut oleh orang tuaku!" "Tutup mulutmu!" "Kau tahu kenapa kau dipungut oleh orang tuaku? Itu karena ayahmu adalah pembunuh!" "Bohong!" sergah Jing Wu. Jing Wu marah dan gelap mata, ia mengeluarkan tenaga dalamnya dan menapaki dada Yang Zi sehingga Yang Zi terpental jauh ke belakang. Anak-anak yang lain kaget bukan main, begitu pun dengan Jing Wu, apalagi Yang Zi mengeluarkan darah di mulutnya saat anak itu mencoba bangun. Jing Wu bingung saat semua anak berlari melihat kondisi Yang Zi. Saking paniknya, ia pun berlari jauh hingga masuk ke hutan.Langit mulai berubah warna, semburat jingga membalut awan tipis yang perlahan ditelan bayang-bayang malam. Udara di sekitar hutan itu semakin dingin, seolah ikut merasakan getir yang menggantung di antara para sahabat yang berdiri di sana.Tanpa aba-aba, kedua orang misterius yang sejak tadi memburu mereka tiba-tiba menghilang. Seakan angin senja menelan kehadiran mereka tanpa suara. Jing Wu yang sedari tadi waspada, langsung berlari ke arah Li Shuwang yang terkapar dengan darah mengalir dari luka di dadanya.“Shuwang!!” seru Jing Wu, lututnya menghantam tanah berdebu saat ia berlutut di samping tubuh temannya itu.Bao Yu sudah di sana lebih dulu, tubuh mungilnya gemetar hebat, dan air matanya membasahi pipi. Ia meremas lengan baju Li Shuwang yang mulai kehilangan warna. Di sisi lain, Ming Yue berdiri terpaku. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, tapi tak sepatah kata pun bisa ia keluarkan.“Li Shuwang… jangan tinggalkan kami,” isak Bao Yu.Jing Wu meletakkan dua jari di pergelang
Angin malam berhembus kencang di lembah pertempuran itu. Cahaya rembulan tersembunyi di balik kabut pekat. Hanya suara desir dedaunan dan gelegar petir di kejauhan yang menjadi saksi pertarungan maut para pendekar malam ini. Pria berwajah pucat itu terpental jauh ke belakang, menghantam bebatuan keras setelah terkena jurus Tangan Iblis milik Jing Wu. Debu berhamburan. Jing Wu berdiri tegak dengan kedua tangan mengepal, napasnya memburu. Di balik sorot matanya yang tajam, menyala amarah. Li Shuwang yang sedang bertarung di sisi lain menoleh cepat dan terbelalak. “Tangan besar yang mengerikan... itu jurus apa?” batin Li Shuwang tak percaya. Di atas batu tinggi, seorang pria berjubah hitam dengan tubuh kekar menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pertarungan itu dengan senyum tipis di wajahnya. “Huh... sepertinya anak Jing Huei itu lumayan juga,” gumamnya pelan, suaranya berat. “Tapi sayang... lawannya juga tangguh.” Li Shuwang menyipitkan mata, tak suka dengan nada itu. “Kau b
Kereta kuda kecil itu melaju perlahan di jalan berbatu, diapit pepohonan tinggi yang merunduk ke arah jalan, seakan menyembunyikan rahasia gelap di antara daun-daunnya. Jing Wu duduk bersandar di pojok, matanya menatap kosong ke luar jendela, sementara Ming Yue duduk di sampingnya, sesekali mencuri pandang ke arah wajah pemuda itu. Bao Yu duduk di seberang mereka, pelipisnya berkeringat meskipun udara cukup dingin.Li Shuwang yang duduk di depan, menggenggam gagang pedang panjang di pinggangnya, seakan merasakan sesuatu. Dan tiba-tiba…“Li Shuwang,” suara berat Jing Wu memecah keheningan. “Sepertinya kau tahu banyak tentang dunia persilatan.”Li Shuwang menoleh pelan. “Mengapa kau bertanya begitu?”Jing Wu menarik napas panjang. “Beberapa waktu lalu, aku mengikuti turnamen yang diadakan oleh Perguruan Teratai Putih… entah apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku bertemu dengan orang-orang yang menyebut dirinya… dari Dongfang.”Begitu nama itu disebut, Li Shuwang
Udara pagi di kediaman Li Shuwang terasa sejuk. Burung-burung kecil berkicau di antara pepohonan rindang, dan aroma teh hangat menguar dari ruang tengah. Jing Wu duduk bersila di serambi, menatap ke arah pegunungan jauh di utara yang samar terlihat. Ming Yue sibuk merapikan rambutnya, sementara Li Shuwang menuangkan teh ke dalam cawan tanah liat. Li Shuwang akhirnya memecah keheningan. “Sebenarnya… kalian mau ke mana?” tanyanya, sembari menyeruput teh perlahan. Ming Yue langsung mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Aku mau ke utara, ke Istana Peri Utara,” katanya dengan nada penuh semangat. “Aku ingin bertemu dengan nenek dan kerabatku yang lain di sana. Sudah lama sekali aku tak melihat mereka.” Li Shuwang mengangguk pelan. “Begitu ya… Istana Peri Utara. Tempat itu terkenal misterius. Tak semua orang bisa keluar masuk sesukanya.” “Aku tahu,” balas Ming Yue, tersenyum tipis. “Tapi aku punya hak sebagai keturunan di sana.” Li Shuwang kemudian menoleh ke arah Jing Wu. “Lalu,
Cahaya matahari sore menembus celah-celah dedaunan lebat, menciptakan pola-pola keemasan di tanah hutan yang lembap. Di sebuah gubuk kayu sederhana yang nyaris tertutup rimbunan semak, asap tipis mengepul dari tungku tanah liat. Jing Wu sedang berjongkok di depan bara api, membalik seekor ikan sungai besar yang mulai menghitam di beberapa bagian. Aromanya menggoda, meski udara sekitar masih basah oleh embun. Di sisi lain, Ming Yue duduk menyandar pada dinding kayu, memeluk kedua betisnya. Wajahnya serius, pandangannya menerawang. “Jing Wu…” “Ya?” sahut Jing Wu tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada ikan yang hampir matang. “Sebenarnya… siapa kedua orang kemarin yang menyerang kita, ya?” Jing Wu menghela napas, lalu mengibas-ngibaskan daun lebar ke atas bara, menimbulkan semburat asap dan percikan kecil. “Entahlah,” katanya pelan. “Tapi kurasa mereka mengincarku. Dan semuanya… mungkin ada hubungannya dengan orang tuaku.” Ming Yue menoleh cepat. “Orang tuamu?” “Ya. Kata
Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternya