Xiao Jing Wu adalah sosok anak laki-laki yang cerdas dan sangat tertarik dengan ilmu beladiri. Namun, keinginan untuk belajar bela diri tak direstui oleh pamannya, Yang Zhou, karena tak ingin Xiao Jing Wu seperti mendiang ayahnya yang menyalahgunakan ilmu bela diri demi ambisi. Akibatnya, Xiao Jing Wu tak luput dari penyiksaan yang dilakukan oleh anak seusianya, termasuk anak dari Yang Zhou, bernama Yang Zi. Suatu ketika Xiao Jing Wu bertemu dengan Kanibal, salah satu iblis dari lembah sepuluh iblis. Kanibal tertarik akan kecerdasan dan tingkah jenaka Jing Wu. Jing Wu memilih kabur setelah melukai Yang Zi dan ikut bersama Kanibal ke lembah sepuluh iblis dan belajar bela diri kepada lima iblis terkuat di lembah itu hingga Jing Wu berusia remaja. Kanibal mengatakan pada Jing Wu bahwa Jing Wu tak akan menjadi lebih hebat jika ia tetap berada di lembah iblis, oleh karena itu ia menasehati Jing Wu untuk keluar dari lembah iblis dan bertemu dengan pendekar hebat lainnya.
view more"Ahahaha!" Tawa para anak-anak itu menggema saat mereka memborongi seorang anak laki-laki tampan yang tak berdaya.
"Dasar Jing Wu bodoh!" seru salah satu anak di sana, "ini akibatnya kau terus mencari muka ke guru! Apa kau berani melapor ke pamanmu yang pendekar hebat itu?" Jing Wu hanya bisa pasrah. Dia bukan anak bodoh yang harus melakukan perlawanan sia-sia. Dipukul oleh teman-temannya sudah menjadi makanan sehari-harinya. Setelah kejadian itu, Jing Wu pulang ke rumah paman dan bibinya. "Bibi Zuu!" panggilnya sambil mengetuk pintu agak keras. Tidak lama kemudian wanita cantik bernama Shu Zuu itu membuka pintu dan alangkah kagetnya ia melihat Jing Wu dalam keadaan babak belur. "Apa kau habis berkelahi lagi?" tanya Shu Zuu agak keras. Jing Wu langsung masuk tanpa merespon bibi Zuu, ia sudah terbiasa pulang dalam keadaan babak belur namun ia malah dituduh berkelahi. "Xiao Jing Wu, jawab Bibi!" "Ada apa ini?" Suara bariton pria milik Yang Zhao tiba-tiba muncul. Jing Wu tampak kesal, dalam hati ia menyalahkan pamannya yang seorang pendekar yang terkenal sebagai pendekar terkuat itu malah sama sekali tak pernah mengajarkannya ilmu bela diri. Yang Zhao lalu menoleh ke arah istrinya. "Kenapa anak itu?" "Biasalah ... anak itu pasti berkelahi lagi," kata Shu Zuu. Jing Wu langsung masuk ke kamarnya, meletakkan tas kainnya ke sembarang tempat dan berbaring santai. Tidak lama kemudian Yang Zhao masuk ke kamar Jing Wu. "Xiao Wu, apa kau tadi berkelahi dengan temanmu?" "Kenapa Paman bisa bilang begitu?" balas Jing Wu. "Luka-lukamu itu!" "Itu karena Paman tak mau mengajarku jurus satu pun!" teriak Jing Wu, "aku harus menerima pukulan dari teman-temanku!" Yang Zhao terhenyak, tak menyangka ternyata keponakannya itu adalah korban kekerasan. "Siapa yang melakukan ini ke kamu, Nak?" "Kenapa? Paman mau protes ke sekolahku?" Jing Wu tampak sinis, "percuma!" Yang Zhao terdiam. Dalam hati ia meminta maaf ke keponakannya itu. Ia pun keluar dari kamar Jing Wu. "Jangan merasa bersalah, kelak dia besar, dia akan mengerti maksudmu," kata Shu Zuu, "besok aku akan ke sekolah dan bicara dengan gurunya." Yang Zhao menghela napas lega. Benar kata istrinya, apalagi sifat Jing Wu yang keras kepala tak berbeda jauh dengan ayahnya, akan lebih baik jika ia hidup sebagai orang biasa. Dan sore itu, Jing Wu hanya bisa melihat Yang Zi, sepupunya belajar ilmu bela diri bersama ayahnya. Jing Wu hanya bisa memperhatikan dari kejauhan bagaimana Yang Zi mencoba mengikuti gerakan ayahnya. "Bukan begitu!" seru Jing Wu ketika melihat gerakan Yang Zi yang terus-terusan salah. Jing Wu bangkit dari duduknya lalu ia menghampiri Yang Zi dan Yang Zhao. "Kau harus memperkuat kuda-kudamu dulu, memusatkan tenaga di tapak tanganmu lalu ...." Jing Wu menapaki dahan pohon hingga pohon itu bergetar. Yang Zhao kaget bukan main, dalam hati ia merasa senang karena ponakannya itu begitu cerdas memahami jurus tapak penghancur tingkat dasar. "Dari mana kau mempelajarinya?" Yang Zhao tampak takjub memandang Jing Wu. "Aku hanya memperhatikan dan melihat bagaimana paman melakukannya." "Xiao Jing Wu!" Terdengar teriakan bibi Zuu hingga mereka bertiga terkejut. "Masuk dan kerjakan pekerjaan rumahmu!" perintahnya. Jing Wu langsung murung dan mau tak mau ia harus mengikuti perintah bibinya dan masuk dalam rumah. "Aku lihat Jing Wu berbakat dalam bela diri," kata Yang Zhou pada istrinya. "Ingat bagaimana dulu Jing Huei, kau mengajarkannya ilmu bela diri dan dia malah mengkhianatimu." "Kurasa ... Jing Wu tidak akan melakukan itu ...." "Iya, jika kita mendidiknya dengan cara yang beda. Yang Zhou ... percayalah padaku ... dia anak yang cerdas dan kurasa dia bisa menjadi saudagar kelak daripada berurusan dengan dunia bela diri." Jing Wu yang mendengar pembicaraan paman Yang dan Bibi Shu secara diam-diam terkejut. Jadi, selama ini ... itu alasan mereka melarang Jing Wu Mempelajari ilmu bela diri. Jing Wu merasa kecewa, ia tak tahu apa yang sudah terjadi pada orang tuanya hingga paman dan bibinya begitu takut ia mempelajari ilmu bela diri. Malam itu Jing Wu terbangun karena ia ingin buang air kecil. "Xiao Zi, cepat! Aku mau kencing!" teriak Jing Wu di depan pintu WC tapi Xiao Zi tak mau mengalah, ia malah sengaja berlama-lama berada di WC. Jing Wu kesal, ia lalu keluar rumah dan buang air kecil di depan pohon. Ia pun menguap karena mengantuk. Setelah itu ia menoleh dan berjalan terhuyung-huyung. "Aduh!" Tiba-tiba ia menambrak sesuatu yang besar namun tak sekeras pohon. Ia menengadahkan kepalanya dan alangkah kagetnya Jing Wu melihat orang setinggi dan sebesar itu. Pria itu menoleh ke arah Jing Wu, tampak matanya merah dan terlihat kejam. "Sedang apa bocah sepertimu ada di sini malam-malam?" Jing Wu yang ketakutan berniat lari namun orang itu malah menarik belakang baju Jing Wu. "Bocah ... sepertinya kau enak dimakan!" kata pria itu sambil terkikik. "Tolong!" jerit Jing Wu. "Ahahaha! Kau tampak bersih dan gagah, kau pasti enak!" Paham akan kondisinya, Jing Wu langsung memusatkan tenaga dalamnya ke telapak tangannya kemudian ia menoleh ke arah orang itu dan menapaki lengan pria itu. Pria itu pun terpental karena merasa sakit di tulang lengannya. "Huh, jurus tapak penghancur. Bocah ... kau lumayan juga!"Angin malam berhembus kencang di lembah pertempuran itu. Cahaya rembulan tersembunyi di balik kabut pekat. Hanya suara desir dedaunan dan gelegar petir di kejauhan yang menjadi saksi pertarungan maut para pendekar malam ini. Pria berwajah pucat itu terpental jauh ke belakang, menghantam bebatuan keras setelah terkena jurus Tangan Iblis milik Jing Wu. Debu berhamburan. Jing Wu berdiri tegak dengan kedua tangan mengepal, napasnya memburu. Di balik sorot matanya yang tajam, menyala amarah. Li Shuwang yang sedang bertarung di sisi lain menoleh cepat dan terbelalak. “Tangan besar yang mengerikan... itu jurus apa?” batin Li Shuwang tak percaya. Di atas batu tinggi, seorang pria berjubah hitam dengan tubuh kekar menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pertarungan itu dengan senyum tipis di wajahnya. “Huh... sepertinya anak Jing Huei itu lumayan juga,” gumamnya pelan, suaranya berat. “Tapi sayang... lawannya juga tangguh.” Li Shuwang menyipitkan mata, tak suka dengan nada itu. “Kau b
Kereta kuda kecil itu melaju perlahan di jalan berbatu, diapit pepohonan tinggi yang merunduk ke arah jalan, seakan menyembunyikan rahasia gelap di antara daun-daunnya. Jing Wu duduk bersandar di pojok, matanya menatap kosong ke luar jendela, sementara Ming Yue duduk di sampingnya, sesekali mencuri pandang ke arah wajah pemuda itu. Bao Yu duduk di seberang mereka, pelipisnya berkeringat meskipun udara cukup dingin.Li Shuwang yang duduk di depan, menggenggam gagang pedang panjang di pinggangnya, seakan merasakan sesuatu. Dan tiba-tiba…“Li Shuwang,” suara berat Jing Wu memecah keheningan. “Sepertinya kau tahu banyak tentang dunia persilatan.”Li Shuwang menoleh pelan. “Mengapa kau bertanya begitu?”Jing Wu menarik napas panjang. “Beberapa waktu lalu, aku mengikuti turnamen yang diadakan oleh Perguruan Teratai Putih… entah apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku bertemu dengan orang-orang yang menyebut dirinya… dari Dongfang.”Begitu nama itu disebut, Li Shuwang
Udara pagi di kediaman Li Shuwang terasa sejuk. Burung-burung kecil berkicau di antara pepohonan rindang, dan aroma teh hangat menguar dari ruang tengah. Jing Wu duduk bersila di serambi, menatap ke arah pegunungan jauh di utara yang samar terlihat. Ming Yue sibuk merapikan rambutnya, sementara Li Shuwang menuangkan teh ke dalam cawan tanah liat. Li Shuwang akhirnya memecah keheningan. “Sebenarnya… kalian mau ke mana?” tanyanya, sembari menyeruput teh perlahan. Ming Yue langsung mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Aku mau ke utara, ke Istana Peri Utara,” katanya dengan nada penuh semangat. “Aku ingin bertemu dengan nenek dan kerabatku yang lain di sana. Sudah lama sekali aku tak melihat mereka.” Li Shuwang mengangguk pelan. “Begitu ya… Istana Peri Utara. Tempat itu terkenal misterius. Tak semua orang bisa keluar masuk sesukanya.” “Aku tahu,” balas Ming Yue, tersenyum tipis. “Tapi aku punya hak sebagai keturunan di sana.” Li Shuwang kemudian menoleh ke arah Jing Wu. “Lalu,
Cahaya matahari sore menembus celah-celah dedaunan lebat, menciptakan pola-pola keemasan di tanah hutan yang lembap. Di sebuah gubuk kayu sederhana yang nyaris tertutup rimbunan semak, asap tipis mengepul dari tungku tanah liat. Jing Wu sedang berjongkok di depan bara api, membalik seekor ikan sungai besar yang mulai menghitam di beberapa bagian. Aromanya menggoda, meski udara sekitar masih basah oleh embun. Di sisi lain, Ming Yue duduk menyandar pada dinding kayu, memeluk kedua betisnya. Wajahnya serius, pandangannya menerawang. “Jing Wu…” “Ya?” sahut Jing Wu tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada ikan yang hampir matang. “Sebenarnya… siapa kedua orang kemarin yang menyerang kita, ya?” Jing Wu menghela napas, lalu mengibas-ngibaskan daun lebar ke atas bara, menimbulkan semburat asap dan percikan kecil. “Entahlah,” katanya pelan. “Tapi kurasa mereka mengincarku. Dan semuanya… mungkin ada hubungannya dengan orang tuaku.” Ming Yue menoleh cepat. “Orang tuamu?” “Ya. Kata
Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternya
Ming Yue!” teriak Jing Wu begitu melihat gadis itu duduk di ranjangnya, mengayun-ayunkan kakinya dengan santai. “Kenapa kau ada di sini?!” Ming Yue menatapnya dengan senyum penuh arti. “Ya... kenapa ya...?” sahutnya dengan nada menggoda. Jing Wu mengerutkan kening, masih belum percaya dengan pemandangan di depannya. “Kemarin bukannya seharusnya kau menikah? Lalu kenapa kau malah ada di sini?!” Wajah Ming Yue seketika cemberut. “Siapa juga yang mau menikah?” jawabnya kesal. “Tapi... bagaimana dengan calon suamimu itu? Kau meninggalkannya saat upacara pernikahan kalian. Dia pasti kecewa,” lanjut Jing Wu dengan nada lebih pelan. Ming Yue mengebaskan tangannya seolah mengusir masalah itu jauh-jauh. “Ah! Siapa yang peduli?” Jing Wu menghela napas panjang. “Apa?!” “Sudah ah, aku mau tidur dulu,” kata Ming Yue sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, tampak tak peduli dengan kegelisahan yang ditimbulkannya. “Tunggu, itu ranjangku!” protes Jing Wu. “Sekarang sudah jadi ranjang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments