Begitu roda pesawat menyentuh landasan Zurich Airport, Zanitha mengembuskan napas panjang, seolah baru saja melewati fase besar dalam hidupnya.Ia menoleh ke jendela, matanya menatap takjub ke luar.Pegunungan Alpen yang jauh tampak membingkai kota dengan keindahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Langit Zurich bersih dengan awan tipis menggantung, memberi kesan sejuk yang kontras dengan kelembaban Jakarta yang biasa ia rasakan.Zanitha menoleh ke samping, menatap Ananta yang masih tampak santai seperti tidak ada yang spesial.Tentu saja, bagi pria itu, ini bukanlah pengalaman pertama. Namun, bagi Zanitha, ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Swiss.“Turun,” suara Ananta terdengar dingin, memecah lamunan Zanitha.Zanitha mengikuti langkahnya, menuruni tangga pesawat dengan anggun meskipun jantungnya berdebar-debar.Begitu kakinya menyentuh landasan Zurich, angin musim semi yang sejuk menyapa wajahnya. Ia menghirup napas dalam-dalam, membiarkan udara sega
Begitu mobil mereka memasuki halaman mansion, Zanitha terpana melihat pemandangan di depannya.Meskipun mansion ini tidak sebesar Mansion Sebastian, tetap saja ukurannya luar biasa besar jika dibandingkan dengan rumah mewah pada umumnya.Bangunannya didominasi oleh kaca dan elemen kayu gelap, menciptakan kesan modern dan elegan.Lampu-lampu eksterior yang dipasang dengan presisi memberikan nuansa hangat, sangat kontras dengan kesan aristokratik dan kaku yang ia rasakan di mansion sang kakek.Pintu besar berlapis kayu ek mewah terbuka begitu mereka turun dari mobil. Seorang pria paruh baya dengan setelan hitam berdiri di depan pintu, membungkuk dengan hormat.“Selamat datang, Tuan Ananta dan Nyonya Zanitha. Saya Klaus, kepala pelayan di mansion ini. Saya telah menyiapkan segala sesuatu sesuai instruksi Tuan.” Suaranya dalam dan penuh wibawa seperti Heinz. Apa kepalanya pelayan di keluarga Von Rotchschild memiliki standar yang sama?Zanitha melirik ke arah Ananta yang hanya memb
“Apa-apaan itu tadi, Ta? Aku seperti dikeroyok! Untung Kakek sangat ramah dan menerimaku dengan baik.”Zanitha berjalan mondar-mandir di dalam kamar, ekspresi wajahnya tampak frustrasi.Gaun elegan itu masih melekat di tubuhnya, namun ia sudah melepas heels yang tadi dia lempar ke sudut ruangan tanpa peduli.Sementara itu, Ananta duduk di tepi ranjang dengan ekspresi datar, membuka kancing atas kemejanya dengan santai. “Memangnya kamu mengharapkan mereka menyambutmu dengan bunga dan karpet merah?” tanyanya dengan nada setengah mengejek.Zanitha berhenti melangkah, menatapnya dengan sorot mata tidak percaya. “Seenggaknya aku berharap mereka bersikap netral! Bukan langsung menilaiku seperti aku ini orang asing yang mencoba merebut warisan keluarga mereka!”Ananta mendesah panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke headboard ranjang. “Itulah kenyataannya, Nitha. Aku udah bilang, mereka menginginkan posisi kakek dan meskipun kamu anak Ratu Inggris sekalipun, kamu akan mendapatkan skeptis
Pagi di mansion terasa begitu tenang, hanya terdengar kicauan burung di taman dan suara gemericik air dari pancuran kecil di halaman belakang saat Zanitha dengan langkah anggun menapaki anak tangga.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.Zanitha baru saja turun ke ruang makan ketika ia nyaris tersedak oleh pemandangan yang ia lihat.Meja makan sudah ditata dengan begitu rapi dan elegan. Taplak meja linen berwarna krem lembut, peralatan makan dari perak mengkilap, dan piring porselen dengan ukiran emas di pinggirnya tersusun sempurna. Di tengah meja, terdapat vas kristal berisi bunga putih segar yang tampak mahal.Namun yang paling membuatnya syok adalah bagaimana para pelayan berdiri di sisi meja dengan sikap penuh penghormatan, seolah ia adalah seorang putri kerajaan yang sedang menunggu suaminya untuk bersantap pagi.Zanitha menoleh ke pelayan yang berada paling dekat dengannya, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan wajah ramah.“Ini… benar-benar seperti ini
Setelah kesadaran Zanitha kembali, dia masuk ke dalam mansion dengan wajah masih terlihat linglung.Langkahnya tidak tentu arah karena masih memikirkan ciuman panas tadi bahkan bibir Zanitha terasa kesemutan.Lalu langkahnya berhenti di depan dinding kaca yang menyajikan pemandangan area kolam renang mansion yang luas dan mewah.Kolam renang infinity itu seolah menyatu dengan pemandangan pegunungan di kejauhan, airnya jernih berkilauan tertimpa cahaya matahari.Lantai di sekitar kolam terbuat dari marmer eksklusif yang terasa sejuk di bawah kaki, sementara di sekitarnya terdapat kursi-kursi santai berlapis kain linen putih, beberapa dengan payung besar untuk melindungi dari terik matahari.Taman tropis dengan pepohonan hijau tertata rapi di sekitar area, memberikan suasana yang lebih privat. Pancuran air kecil mengalir dari dinding batu alam di sisi kolam, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Di pojok, terdapat gazebo dengan sofa nyaman dan meja kaca, tempat sempurna untu
Zanitha menelan saliva ketika Ananta menatapnya tajam, seolah-olah dia sudah menjadi milik pria itu sepenuhnya.Tangan Ananta yang besar menggenggam dagunya dengan kuat, mengangkat wajahnya agar tidak bisa menghindar dari sorotan mata penuh dominasi.“Kamu pikir aku akan menunda-nunda? Setelah dua istri pamanku berniat menjatuhkanmu? Aku enggak bisa membiarkan kelemahanmu menghambat rencana ini, Nitha.”Sepertinya Ananta mendapat informasi dari Klause kalau tante Livia juga datang tadi pagi bermaksud mendekatinya.Napas Zanitha tersengal saat Ananta merunduk kian dalam membuat dada mereka kini benar-benar saling bersentuhan.Dia ingin melawan, ingin berteriak, tetapi tubuhnya beku di tempat. Aura pria itu terlalu kuat, terlalu mendominasi, dan Zanitha tidak bisa berpaling.Tangan Ananta bergerak ke belakang tengkuk Zanitha, jari-jarinya menekan ringan sebelum bibir pria itu menelusuri sisi rahang Zanitha, menciptakan sensasi panas yang membuat tubuhnya
Sinar matahari yang menyelinap melalui celah gorden menyentuh kulit Zanitha, membangunkannya perlahan dari tidur yang dalam dan lelap setelah semalaman digempur tanpa ampun oleh Ananta.Begitu matanya terbuka, ia segera menyadari sesuatu—tubuhnya terasa nyeri luar biasa. Setiap inci tubuhnya seperti habis dihantam badai, terutama di bagian intinya yang terasa perih dan ngilu sekaligus.Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari satu hal lagi ternyata masih berada dalam dekapan Ananta.Pria itu tidur dengan tenang di belakangnya, satu lengannya melingkari pinggangnya erat sementara satu tangannya lagi ada di bawah leher Zanitha seolah memastikan bahwa Zanitha tidak bisa pergi ke mana pun.Dadanya yang bidang dan hangat bersentuhan langsung dengan punggungnya, membuat Zanitha merasakan kehangatan yang menjalar dari kulit ke kulit.“Oh Tuhan… apa yang sudah kulakukan semalam?” Zanitha membatin sembari memejamkan mata erat.Kilasan kejadian tadi mal
Setelah berkendara selama beberapa menit dalam keheningan, akhirnya Ananta menghentikan mobil di sebuah kawasan yang tampak klasik dengan bangunan-bangunan tua khas Eropa yang berdiri kokoh.Udara sore di Zurich terasa sejuk, angin berembus lembut membawa aroma kopi dari kafe-kafe kecil di sepanjang jalan berbatu yang tertata rapi.Langit biru cerah dengan semburat oranye dari matahari yang mulai condong ke barat memberikan kesan hangat di tengah kesejukan musim semi.Zanitha turun dari mobil dengan hati berdebar, matanya berbinar melihat suasana sekitar. “Kita di mana?” tanyanya sambil melirik ke arah Ananta yang dengan santai memasukkan tangannya ke dalam saku celana linen-nya.“Altstadt,” jawab Ananta singkat, menutup pintu mobil dan berjalan mendahuluinya.Zanitha mengerjap, lalu mengerutkan kening. “Altstadt? Kota tua Zurich?” Dia mengejar langkah Ananta yang panjang dan sigap.Ananta mengangguk, lalu meliriknya sekilas. “Kamu bilang ingin jalan-jalan. Zurich punya banyak t
Keesokan harinya, Ananta berjalan di lorong mansion Sebastian dengan langkah mantap meski hati kecilnya berdegup tak menentu.Tadi saat sarapan, Klaus memberitahu kalau Sebastian memintanya datang untuk berdiskusi.Ananta masih berpikiran positif mungkin sang kakek ingin mendengar report dari pekerjaan yang dia selesaikan di Jakarta.Sesampainya di depan pintu kayu berukir ruang kerja Sebastian, Ananta mengetuk pelan. “Masuk,” terdengar suara bariton Sebastian dari dalam, tegas dan dingin.Ananta membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik meja kerja besar, Sebastian duduk dengan punggung tegak. Raut wajahnya keras tak terbaca emosi, namun sorot matanya tajam mengunci pada cucunya.“Kakek memanggilku?” Ananta memulai dengan suara tenang sambil mendekat ke meja. Ia berusaha menjaga sikap hormat, meski firasatnya mengatakan pembicaraan ini tidak akan mudah.Sebastian menghela napas perlahan sebelum berbicara, seakan menahan amarah yang menggelegak di dada
Di dalam mobil sedan hitam yang mengantar pulang dari bandara, Ananta menggenggam kedua tangannya gelisah. Perjalanan singkat dari bandara menuju mansion terasa begitu panjang baginya karena tak sabar ingin segera bertemu Ares. Hatinya berdebar kencang membayangkan putra kecilnya.“Baru beberapa hari saja Daddy meninggalkanmu, Nak, rindu ini udah tak tertahankan,” batinnya nelangsa.Lalu terbayang olehnya sosok Zanitha. Jika ia saja merasa sesak berpisah dengan Ares dalam hitungan hari, apalagi Zanitha yang sudah berminggu-minggu tak bisa menimang buah hati mereka.Dada Ananta terasa nyeri membayangkan kerinduan dan kesedihan istrinya selama ini. Jemarinya mengepal di atas pangkuan.“Aku harus segera memperbaiki semua ini, tekadnya dalam hati. Demi Ares….” Ananta berjanji di dalam hati.Kembali ke mansion ….“Hari ini cukup bermainnya, Ares,” gumam Sebastian lembut seraya menyerahkan Ares kembali ke gendongan Nanny yang ikut mengawasi Ares . “Mommy dan daddy sangat menyayangimu
Pagi itu di sebuah meja makan yang diterangi sinar matahari pagi, Ananta dan Mathias duduk berhadapan menikmati sarapan ringan. Aroma kopi hitam dan roti panggang tersaji di antara mereka, namun pikiran Ananta melayang entah ke mana.Setelah beberapa saat hening, ia mengangkat wajah dan menatap Mathias dengan sorot mata penuh tekad sekaligus kegelisahan.“Kemarin aku sudah pergi untuk menemui Zanitha di toko bunga miliknya,” ujar Ananta pelan, memecah keheningan. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh. “Tapi Zanitha… Zanitha tidak ada di sana.” Suara Ananta terdengar berat, kecewa karena harapannya bertemu sang istri pupus. “Aku meminta karyawannya untuk mengirim buket bunga mawar putih dan membelikannya es krim stroberi.”Mathias menurunkan koran yang sedari tadi dibacanya. Ia memperhatikan Ananta dengan tenang. “Es krim stroberi?” ulangnya, seakan memastikan ia mendengar dengan benar.Ananta mengangguk lirih. “Itu kesukaannya,” lanjutnya seraya tersenyu
Keesokan paginya, di dua kantor yang berbeda, dua pria terhubung dalam panggilan video. Layar datar di ruang kerja Mathias memunculkan wajah tegas Sebastian Von Rotchschild dari kantornya sendiri yang megah. Pagi baru saja menjelang, namun kedua pria itu sudah bersiap dengan urusan penting.Sorot mata Sebastian tampak dingin namun penuh kewaspadaan. Setelah membahas sepintas progres inspeksi proyek yang dilakukan Ananta kemarin, ia langsung menuju topik yang lebih personal namun tak kalah genting di benaknya. “Apakah Ananta menemui Zanitha selama di Jakarta?” tanyanya tanpa basa-basi. Suara Sebastian rendah berwibawa, menuntut kejujuran.Di sisi lain layar, Mathias duduk tegap. Pria paruh baya itu sempat melemaskan kerah batiknya sebelum menjawab. Ia tahu, Sebastian selalu menghargai keterusterangan. “Ya, Ayah,” jawab Mathias mantap. “Ananta sempat berusaha menemui Zanitha begitu dia sampai di Jakarta.”Alis tebal Sebastian berkerut tipis mendengar jawaban itu. Ada kilatan emosi en
Malam harinya, di penthouse Zanitha yang berada di puncak gedung apartemen mewah, suasana hening menyelimuti. Zanitha meringkuk di sofa ruang tengah dengan selimut menutupi tubuhnya. Tubuhnya masih lemas, bekas-bekas air mata pagi tadi tampak di sudut matanya yang sembap. Sejak petang menjelang, ia tertidur karena efek obat penurun demam, kelelahan setelah tangis semalam.Terdengar suara pintu terbuka kemudian tertutup dan langkah kaki mendekat,Di hadapannya berdiri Bella, membawa sebuah buket bunga besar nan indah, serta kantong kertas berlogo toko es krim terkenal. “Bella?” suara Zanitha serak, kaget namun lega melihat sahabatnya. “Kenapa kamu bawa bunga dan ini ice cream, tumben kamu beli ice cream.”Bella tersenyum hangat. “Ada kiriman untuk kamu, Zanitha,” ujarnya lembut sembari duduk di single sofa. Bella meletakkan buket bunga segar berwarna putih dan merah muda itu. “Bunga ini dikirim untukmu, juga es krim favoritmu. Tadi sore diantar ke toko, jadi sekalian kubawa ke sin
Pagi itu, di ruang rapat kantor Helvion Group Jakarta, Ananta memimpin inspeksi rutin proyek perluasan Pelabuhan Tanjung Mas. Dengan tenang ia duduk di ujung meja panjang, mengenakan setelan abu-abu rapi yang menegaskan wibawanya sebagai direktur. Berkas-berkas laporan tertata di depannya. Di sekelilingnya, beberapa manajer proyek dan insinyur memaparkan perkembangan terbaru proyek pelabuhan tersebut.Sinar matahari menembus jendela-jendela tinggi, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Ananta mendengarkan dengan saksama setiap laporan yang disampaikan. Sesekali ia mengangguk kecil, matanya tajam meneliti bagan progres di layar proyektor. “Jadi pengerukan kolam pelabuhan sudah mencapai 80%?” tanyanya memastikan, suaranya terdengar mantap namun bersahabat. Seorang manajer berseragam kemeja putih segera menjawab, “Betul, Tuan. Target kita bulan depan rampung, sesuai jadwal.”Ananta tersenyum tipis, sebuah ekspresi langka yang mengejutkan beberapa orang di ruangan itu. “Bagus. Pertaha
Sementara itu, di sudut kota yang lain, Petal Home tampak lengang dalam balutan malam. Dari luar, toko bunga kecil itu gelap tanpa penerangan etalase seperti biasanya. Hanya lampu temaram di bagian dalam yang masih menyala, memancarkan cahaya samar ke trotoar melalui celah tirai jendela.Bella baru saja tiba di depan Petal Home setelah bertemu dengan suplier. Ia merasa heran melihat pintu toko yang belum terkunci padahal hari sudah larut. Biasanya Zanitha selalu menutup tokonya tepat waktu.Dengan alis berkerut cemas, Bella mendorong pintu kaca berbingkai kayu itu. Sebuah lonceng kecil di atasnya berdenting pelan, mengumumkan kedatangannya. Begitu melangkah masuk, inderanya disambut aroma bunga mawar dan anyelir yang samar, namun tak ada senyuman ceria sahabatnya seperti biasanya.Matanya segera menangkap kekacauan kecil di dalam toko. Beberapa tangkai bunga segar tergeletak di lantai, terlepas dari wadahnya. Air dari vas yang terguling membasahi papan lantai kayu, membentuk genang
Ananta melangkah masuk ke dalam penthouse dengan wajah murung dan langkah gontai. Malam telah larut dan gemerlap lampu kota di bawah sana hanya menjadi latar belakang bisu bagi kegalauan hatinya.Di ruang tamu yang luas dengan perabot mewah dan dinding kaca, Mathias – sang ayah – tengah berdiri di dekat jendela memandangi kerlip Jakarta. Begitu mendengar pintu terbuka, lelaki tua itu menoleh. Kerutan di dahinya bertambah dalam saat ia melihat ekspresi muram sang putra semata wayang.“Kamu sampai juga akhirnya,” ujar Mathias, suaranya tenang namun sarat akan sindiran halus. “Wajahmu itu, Ananta … seperti baru saja kehilangan separuh kerajaan.”Ananta tidak segera menanggapi. Ia hanya melepaskan jasnya perlahan dan meletakkannya di sandaran sofa. Napasnya dihela panjang, seolah mencoba mengusir beban yang menghimpit dada. Namun sorot matanya tetap kosong, tenggelam dalam pikiran yang bergemuruh.Mathias mengamati gerak-gerik putranya dengan tatapan tajam bercampur prihatin. Biasanya
“Terus kamu maunya apa? Kenapa kamu harus jadi orang jahat dalam hidup aku? Kenapa?” Zanitha meraung pelan.“Kamu sendiri yang mengusirku dari rumahmu, Ananta. Kamu yang menyuruhku pergi!”Ananta tersentak. Ucapan Zanitha menohok tepat di jantungnya. Ia ingat hari itu dengan jelas, hari terkelam dalam hidup mereka berdua. “Zanitha…” ujar Ananta, suaranya goyah, tapi Zanitha langsung menyela.“Sejak hari itu,” lanjut Zanitha dengan mata berkilat duka. “Di mataku pernikahan kita sudah berakhir. Kamu menceraikanku secara tidak langsung saat kamu mengusirku waktu itu.” Kalimat tersebut diucapkannya dengan getir dan linangan air mata kian deras mengalir di pipinya. Cepat-cepat Zanitha menyekanya, seakan enggan tampak lemah.Ananta merasakan dadanya remuk mendengar kata-kata istrinya. “Berakhir? Enggak, kita belum bercerai, Zanitha,” elaknya pelan, mencoba mendekat. “Secara hukum, kamu masih istriku.”Zanitha tertawa pendek, namun itu bukan tawa bahagia—melainkan tawa pahit penuh kekec