Zanitha Azkayra Wiranata terpaksa menikahi Ananta Victor von Rotchchild gara-gara terlibat sebuah kecelakaan membingungkan dan menewaskan calon mempelai pengantin wanita kontrak dari Ananta. Ananta hanya menginginkan anak untuk bisa menjadi pewaris perusahaan kakeknya dan Zanitha terpaksa harus menggantikan calon mempelai pengantin yang meninggal dunia itu demi agar Ananta tidak menuntut dan menjebloskannya ke Penjara.
view moreAnanta Victor von Rotchchild, CEO blasteran Swiss-Indonesia yang kini menjadi pimpinan tertinggi Helvion Group di Indonesia itu sedang mematut diri di depan cermin sambil menautkan kancing di lengan kemeja, kerutan halus tampak di antara kedua alisnya yang tebal padahal pria itu begitu tampan mengenakan tuxedo di hari pernikahannya ini.
Mungkin karena Ananta membenci hari ini lantaran terpaksa menikahi seorang gadis hanya untuk mendapatkan keturunan. Adik sepupunya yang bernama Rafael telah menikah dan memiliki anak laki-laki membuat kakek mereka sang Chairman of the Board di perusahan Helvion Group Swiss merasa senang dan digadang-gadang Rafael akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin tertinggi perusahaan melangkahi Ananta. Itu kenapa Ananta mengutus Ryan-sekretarisnya mencarikan seorang gadis untuk dijadikan istri kontrak dan mau melahirkan keturunannya. Namun setelah anak itu lahir, Ananta akan menceraikannya dengan memberikan imbalan yang besar. Ananta tidak pernah membayangkan akan menikah dengan gadis yang tidak dia cintai, tapi selama ini pun dia tidak pernah mengenal cinta, Ananta tidak memiliki waktu untuk asmara meski begitu di usianya yang ke tiga puluh tahun—Ananta tetap rutin menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan menggunakan jasa wanita panggilan kelas atas. Ting … Tong … Bel pintu kondominiumnya berbunyi. Ananta melirik arloji seharga satu koma dua Milyar di pergelangan tangan lalu menyadari kalau sekarang sudah waktunya. Dia keluar dari kamar menuju pintu utama dan mendapati Ryan berdiri di baliknya. Wajah pria itu tampak pucat, tubuhnya juga sedikit bergetar. “Ada apa?” tanya Ananta dingin dengan wajah mengeras dan tatapan tajam serta alis bertaut menandakan kalau dia tahu ada sesuatu yang tidak beres. “Erina … calon istri Tuan, mengalami kecelakaan dan meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit.” Ryan memberikan informasi dengan suara parau dan raut wajah cemas. “Apa? Kenapa bisa?” Nada suara Ananta naik satu oktaf dengan tatapan nyalang. Ryan tidak bisa menjelaskan apapun karena dia juga baru saja dihubungi oleh pihak kepolisian yang mendapati namanya di panggilan terakhir ponsel Erina. Ananta tampak berpikir. “Cari tahu dalang dibalik semua ini karena tidak mungkin secara kebetulan calon pengantinku tewas di hari pernikahan.” Ananta mencurigai sesuatu. “Ada saksi yang mungkin akan ditetapkan sebagai tersangka dan dia sekarang sedang dibawa ke kantor Polisi, apa Tuan mau langsung mengintrogasinya?” kata Ryan lagi. “Oke, kita ke sana sekarang!” Ananta ingin tahu apakah kecelakaan itu murni kecelakaan biasa atau ulah pamannya yang tidak ingin dia memiliki istri dan keturunan sehingga bisa membuat Rafael tidak jadi menggantikan posisi kakek. “Ryan!” Ananta menghentikan langkahnya. “Jangan lupa urus pemakaman Erina dengan layak,” titah Ananta, suaranya pelan dan dalam. Dalam hati Ananta merasa bersalah kalau terbukti dugaannya benar, sang paman yang bernama Leonardo adalah otak dari penghilangan nyawa gadis yatim piatu malang itu. *** Sampai di kantor polisi, Ananta langsung disuguhkan oleh rekaman CCTV dari toko yang berada tepat di depan tempat kejadian perkara. Ananta, Ryan dan salah satu petugas kepolisian mengamati detik demi detik video diputar. “Stop!” Ananta berseru membuat sang petugas menghentikan rekaman. “Dia loncat dari sebuah mobil atau memang didorong?” Ananta bertanya kepada petugas. “Jika dilihat dari tangannya yang terulur ke depan seakan mencari pegangan, sepertinya calon istri Tuan sengaja didorong.” Sang petugas memberikan pendapat profesionalnya. Detik selanjutnya bersamaan dengan terhempasnya Erina dari pintu mobil Gran Max putih, sebuah sedan mewah yang sedang melintas dari arah berlawanan langsung menghantam tubuh Erina hingga terpental beberapa meter yang menyebabkan gadis itu tewas di tempat. “Dari rekaman CCTV ini kami tidak bisa menentukan plat nomor mobil Grand Max tersebut tapi akan kami lacak terus,” kata petugas Polisi memberi harapan kepada Ananta. Di saat mereka bertiga masih mengamati rekaman CCTV, suara raungan seorang gadis terdengar memekakan telinga dari ruangan sebelah. “Aku enggak bersalah, Pak … Bu …perempuan itu yang tiba-tiba loncat ke depan mobil aku, tolong jangan penjarakan aku, Pak… Bu.” Kalimat permohonan tersebut terdengar di antara isak tangis. Ananta menoleh menatap sang petugas, seolah bertanya apa yang terjadi dengan gadis itu. “Itu pengemudi mobil yang menghantam calon istrinya Tuan.” Sang petugas memberitahu. “Jadi pengemudinya seorang perempuan?” Ryan yang bertanya. “Ya, gadis berusia dua puluh lima tahun … anak dari Damar Wiranata, pasti Tuan mengenalnya karena perusahaan Wiranata bergerak di bidang Shipping juga.” Ananta dan Ryan saling menatap, tentu saja mereka mengenal Damar Wiranata karena pria itu sering menyabotase operasional Helvion Group yang menyebabkan kerugian. Damar Arif Wiranata adalah pria licik yang akan melakukan segala cara untuk membuat Helvion Group merugi lalu meninggalkan Indonesia sehingga perusahaannya bisa menjadi raja shipping di Negara ini. “Aku ingin bicara dengan gadis itu,” kata Ananta tegas penuh wibawa. “Mari saya antar, dia ada di ruangan sebelah.” Petugas Polisi menuntun Ananta dan Ryan ke ruangan sebelah. Saat petugas Polisi membuka pintu, seorang gadis tampak sedang dibujuk oleh dua orang petugas Polisi pria dan wanita untuk dimintai keterangan karena sedari tadi gadis itu duduk di lantai pojok ruangan memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Petugas Polisi yang bersama Ananta mengajak kedua rekannya keluar dan membiarkan Ananta serta Ryan di sana untuk bicara dengan sang gadis. Setelah pintu ditutup, Ananta melangkah pelan mendekati sang gadis yang menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Ananta berjongkok di depan gadis itu, nafasnya menderu penuh emosi. Menghirup aroma mascullin dari parfum eksclusive yang dia tahu harganya sangat fantastis, Zanitha langsung mendongak mencari tahu siapa gerangan yang mendatanginya karena dia belum berani menghubungi siapapun. Dan pria tampan bertubuh atletis dengan rahangnya yang tegas bak Malaikat memenuhi pandangan matanya namun tatapan tajam penuh kebencian itu membuat Zanitha berpikir kalau pria di depannya ini adalah Malaikat maut. “Siapa namamu?” Ananta bertanya dingin. “Kamu siapa?” Zanitha balas bertanya ketus melupakan sejenak trauma yang tengah melandanya. “Aku adalah calon suami dari perempuan yang kamu tabrak hingga tewas tadi pagi,” jawab Ananta semakin tajam tatapannya menghujam Zanitha. Mata Zanitha membulat begitu juga dengan mulutnya. “Aku mohon percaya lah … aku enggak sengaja nabrak calon istri kamu, sumpah! Dia lompat gitu aja entah dari mana … please … percaya sama aku … aku enggak sengaja menabraknya, aku bukan pembunuh… aku sedang dalam perjalanan ke kantor tadi.” Zanitha meremat lengan kemeja Ananta sambil berderai air mata. “Seharusnya aku menikah hari ini, tapi kamu malah merenggut nyawa calon istriku ….” Ananta menggeram, sorot matanya memaku Zanitha hingga dia sesak nafas. “Kamu harus menggantikan dia menjadi pengantinku!” seru Ananta penuh penekanan membuat tangis Zanitha terhenti seketika dan rasanya dia kesulitan bernafas.Pagi itu, di bawah langit Zurich yang kelabu, Rafael berdiri di depan sebuah pintu kayu sederhana di distrik pinggiran kota.Tangannya terangkat, nyaris mengetuk tapi ragu.Untuk ke sekian kalinya, dia bertarung dengan rasa takutnya sendiri.Takut ditolak.Takut dianggap menjijikkan.Takut kehilangan satu-satunya harapan baru dalam hidupnya.Dengan gemetar, akhirnya Rafael mengetuk pintu.Beberapa detik berlalu, lalu pintu itu terbuka perlahan.Nayla berdiri di sana, mengenakan sweater hangat warna abu-abu dan jeans sederhana.Wajahnya datar, tanpa ekspresi.Tatapannya menusuk, menembus dada Rafael.“Aku sudah bilang, jangan datang lagi, Rafael,” ucap Nayla tanpa basa-basi.Suara Nayla terdengar berat, tegas, penuh luka.Rafael menelan ludah, tetap berdiri di sana.“Aku cuma mau bicara. Lima menit saja. Kumohon,” katanya, suaranya parau.Nayla menghela napas keras, lalu menggeser tubuhnya sedikit memberi jalan.“Lima menit. Tidak lebih,” katanya dingin.Rafael melangk
Pagi itu, Zurich dibalut kabut tipis.Udara terasa berat, menyesakkan dada.Di sebuah kamar di mansion kecil yang disediakan keluarga Von Rotchschild untuknya, Winna berdiri di depan cermin besar, mengenakan blazer hitam yang dulu pernah membalut tubuhnya dengan kebanggaan—kini tampak kebesaran, menggantung di bahunya yang mulai mengurus.Tangannya gemetar saat mencoba merapikan rambutnya.Sekali, dua kali, lalu menyerah.Apa gunanya tampil sempurna, kalau ia tahu… dunia yang ia pertahankan selama ini akan runtuh hari ini?Dengan langkah berat, Winna mengambil tas tangan hitam kecil dari atas meja, lalu meraih ponselnya.Pesan pendek dari pengacaranya sudah menunggu.Pengacara : Sidang final jam 09.00. Mohon hadir tepat waktu.Winna menarik napas panjang, mencoba menahan gemuruh ketakutan dalam dadanya.Namun saat kakinya melangkah keluar kamar, tubuhnya terasa goyah—seolah sebagian jiwanya tertinggal di tempat itu.Di dalam mobil yang membawanya ke gedung pengadilan, Winna
Malam harinya, di dalam kamar utama Mansion yang paling luas, udara terasa lebih hangat dari biasanya.Lampu tidur menyala temaram, mewarnai ruangan dengan semburat oranye lembut.Zanitha dan Ananta berbaring di atas ranjang, saling berpelukan.Mereka baru saja menidurkan Ares tanpa drama bahkan Ananta tidak selesai membaca dongeng karena Ares terlalu kelelahan bermain dengan mainan barunya. Zanitha mengenakan kaftan tidur tipis, sementara Ananta hanya memakai celana training dan kaus polos.Di antara mereka, keheningan nyaman mengisi udara.Zanitha menyandarkan kepalanya di dada Ananta, mendengarkan detak jantung laki-laki itu yang stabil dan menenangkan.Tangan besar Ananta mengusap-usap rambut Zanitha dengan gerakan lambat.“Aku belum berhenti bersyukur,” bisik Ananta tiba-tiba, suaranya rendah, nyaris serak.Zanitha menoleh sedikit, mengangkat dagunya untuk menatap wajah suaminya.“Bersyukur karena apa?” tanyanya lembut.Ananta menatap dalam ke mata istrinya, matanya ge
Udara sore di taman belakang mansion Von Rotchschild sejuk, langit biru bersih tanpa awan.Ares, yang kini berusia dua tahun, berlarian sambil membawa pesawat mainan di tangannya. Tawa kecilnya menggema, lincah dan tak pernah kehabisan energi.Namun Zanitha hanya duduk di bangku taman, wajahnya pucat, tubuhnya terasa berat.Matanya mengikuti Ares dengan tatapan kosong karena tubuhnya terlalu lelah untuk bergerak.Biasanya, dia yang paling semangat mengejar Ares, bermain petak umpet, atau sekadar ikut tertawa melihat tingkah putranya.Tapi hari ini…Hari ini rasanya tubuhnya memberontak.“Ares … pelan-pelan ya, Sayang,” tegur Zanitha pelan, hampir seperti berbisik.Ares tertawa, berlari lebih kencang.Zanitha menahan mual di tenggorokannya, memejamkan mata sesaat.Peluh dingin membasahi pelipisnya.Langkah kaki cepat terdengar mendekat.Ananta, mengenakan kemeja santai berwarna biru tua, menghampiri dengan raut khawatir.“Sayang, kamu kenapa?” tanyanya sambil jongkok di de
Dua hari setelah Nayla menemuinya dengan memberi kabar buruk sekaligus bahagia, Rafael kembali duduk termenung di balkon apartemen kecilnya.Matanya sembab. Di meja, dua cangkir kopi sudah dingin. Satu kosong, satu tak disentuh.Lalu terdengar suara pintu diketuk.Dengan malas Rafael melangkah gontai untuk membukanya tanpa ekspektasi apapun tentang siapa yang ada di depan pintu.Dia lantas mendapati Ananta, berdiri dengan mantel panjang, wajah serius tapi tanpa tekanan.“Aku tidak ada tenaga untuk debat.” Rafael berkata lirih, mencoba menutup pintu kembali.Namun Ananta menahan menggunakan satu tangan.“Aku datang ke sini bukan untuk berdebat,” katanya. “Aku ke sini … karena Zanitha.”Rafael mengerjap.Ananta masuk perlahan, duduk di sofa.Suasana hening sebentar.“Dia minta aku bicara denganmu,” lanjut Ananta. “Dia merasa iba melihat Jonas dan Jenny. Katanya … anak-anak tidak pantas jadi korban keegoisan orang tua.”Rafael duduk perlahan di seberangnya, tatapannya kosong.
Proses perceraian Rafael dan Winna tidak berjalan semudah ucapan “Aku muak, aku mau cerai.”Setelah surat gugatan resmi dikirim, pengacara dari kedua pihak saling membalas, saling mengklaim hak atas aset, dan yang paling menyakitkan adalah hak asuh atas Jonas dan Jenny.Hari ini adalah sidang pertama mediasi.Di ruang pertemuan netral yang difasilitasi oleh pengacara Von Rotchschild, Winna dan Rafael duduk berseberangan.Wajah keduanya penuh amarah yang tak sempat reda.Winna mengenakan blazer hitam, dingin dan defensif.Rafael berjas abu-abu, mata sayunya menyimpan luka—dan sedikit sesal.“Anak-anak akan ikut aku. Aku ibunya. Aku yang tahu apa yang mereka butuhkan,” ujar Winna tajam.Rafael menatapnya tak kalah menusuk. “Kamu ibunya, ya. Tapi kamu juga wanita yang membuat rumah tangga ini jadi neraka. Aku tidak akan membiarkan kamu bawa mereka untuk pelarian ambisimu lagi!”Suasana langsung memanas.Pengacara Winna mengetuk meja, mencoba meredakan.Namun sebelum suasana me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments