Shania berjalan masuk ke kamarnya dalam kondisi rumah yang sudah gelap. Pelayan sudah mematikan lampu meski jam baru menunjukkan angka sembilan malam. Alhasil, ia harus berjalan dari ruang depan sampai naik tangga menuju kamarnya di lantai dua. Setibanya di kamar, Shania tidak langsung menyalakan lampu kamar. Ia hanya menekan lampu tidur yang ada di atas nakas. "Dari mana kamu?" Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki saat Shania hendak melepas pakaiannya. "A-Alex!" seru Shania, yang mengenal suara suaminya itu. Ia begitu terkejut karena lelaki itu ada di kamarnya. Sontak ia kembali mengenakan pakaiannya kembali. "Sedang apa kamu di sini?" tanya Shania kemudian menyalakan lampu kamar. Sosok lelaki yang begitu ia cintai itu tengah duduk di pojok ruangan, menatap tajam padanya di atas sofa tunggal berwarna silver yang kerap Shania duduki bila sedang santai membaca buku. Alex, dalam balutan piyama berwarna biru dongker, menatap Shania. Kaki yang disilangkan, saling menopang satu d
Shania tertawa. Ia kemudian berbalik dan meninggalkan Alex. Tapi, suaminya malah menahan dan mencengkeram tangannya begitu kuat. "Kamu ini kenapa sih?" tanya Shania menatap kesal sang suami. "Jangan bersikap kurang ajar. Bila aku sedang bicara, jangan pernah berani untuk menghindar apalagi pergi."Shania melepas cengkeraman Alex dengan mengibaskan tangannya kuat. "Kamu ini sepertinya benar-benar sudah mabuk. Setelah kamu berkata ingin kembali pada Maura dan membolehkan aku pergi pulang ke rumah orang tuaku, hari ini untuk kedua kalinya kamu menodaiku. Kamu melukai hatiku juga mengkhianati hubunganmu dengan Maura. Dan sekarang, tiba-tiba sekali kamu membutuhkan validasi bahwa kita adalah pasangan suami istri. Sebetulnya ada apa dengan dirimu ini?" tanya Shania menggeram kesal. Alex terdiam. Kata-kata yang terlontar dari mulut Shania membuatnya berpikir bahwa hari ini memang telah terjadi sesuatu pada dirinya. "Memang apa yang salah, kita masih suami istri 'kan? Tidak ada agama man
Semua karyawan memandang takjub saat kaki mereka berdiri di depan teras sebuah kafe yang terlihat eye catching. Sebuah kafe yang cukup luas dengan parkiran yang memadai, membuat anak buah Ethan, termasuk dirinya memandang tak percaya. Ethan yang bukan pribadi suka hang out, memang tidak tahu mengenai tempat yang ia kunjungi sekarang. Bahkan, dari sekian banyak karyawan Ethan, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ada tempat tersebut. "Ini keren banget, sumpah!" seru Fiersa yang mendapat anggukan Mita di sebelahnya. Teman-temannya yang lain pun mengangguk setuju saat Fiersa memuji tempat tersebut. "Kok kita bisa enggak tahu ada tempat ini, ya? Gimana bisa!" seru mereka tak percaya. Tatapan kagum dan tak percaya semakin tampak di wajah anak-anak muda tersebut ketika sudah memasuki ruangan kafe. "Kamu tahu dari mana ada tempat kaya gini?" tanya Fiersa pada Shania. "Ehm, sebenarnya kafe ini belum lama launching, sekitar tiga bulan yang lalu-lah. Aku tahu tempat ini, karena p
Suasana kafe semakin malam semakin seru ketika Rachel sebagai pemilik, ikut serta dalam perayaan keberhasilan tim Ethan yang telah selesai dalam mengerjakan proyek di PT. A. Sebagai sahabat, Shania senang karena bisa berbagi kebahagiaan dengan perempuan yang malam itu berpenampilan formal sebab baru pulang dari kantor. Begitu juga dengan para karyawan Ethan, yang tidak sungkan bersikap santai hingga bercanda meski sang pemilik kafe ada beserta mereka. Mereka justru senang dan bergembira bersama karena sikap Rachel yang sangat ramah dan ceria. Semua bisa berbaur dengan asik membuat pesta tersebut berjalan seru, tapi tidak menghilangkan keakraban. "Apa kamu sudah menyiapkan semuanya?" tanya Rachel pada Shania di tengah keseruan karyawan Ethan yang sudah mulai bernyanyi di ruang karaoke. "Ehm, beberapa udah aku cicil," jawab Shania santai. "Sudah nentuin kemana tujuan kamu?"Shania mengangguk. "Sudah.""Kemana?" Rachel terus bertanya karena penasaran. Namun, Shania malah tersenyum s
"Kamu ini kenapa sih? Belakangan ini sikapmu aneh sekali!" Shania berseru kesal. Namun, Alex tampaknya mengabaikan ucapan Shania karena selanjutnya ia masih memaksa istrinya itu untuk segera pulang. "Aku akan pulang kalau sudah selesai." Shania menjawab santai. "Kalau begitu jangan salahkan aku kalau akan ada hal yang mengejutkan terjadi."Shania mengernyit. "Memang apa yang terjadi?""Bukan kejutan kalau aku memberi tahumu. Jadi, aku tanya sekali lagi, kamu mau pulang sekarang atau nanti?" Alex kembali bertanya. Shania pun tetap pada jawabannya. "Aku akan pulang kalau sudah selesai."Bukan Shania yang memutuskan panggilan, tapi Alex yang langsung mematikan ponselnya setelah Shania memberi keputusan. "Dia ini kenapa sih?" tanya Shania heran. Sejak tadi Alex bersikap aneh. 'Tidak! Tapi, sejak sepekan yang lalu,' batin Shania yang kemudian memilih tak peduli. Ia pun kembali ke ruangan karaoke. Bergabung dengan teman-temannya yang masih asik bernyanyi. "Ada apa?" tanya Rachel berb
Semua orang memandang sosok lelaki yang selama ini terlihat penuh karisma dalam balutan pakaian formal —jas dan dasi, mendadak santai dengan pakaian kasual. Tidak hanya Shania yang terkejut, tapi Rachel dan Ethan, terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya tatkala melihat sosok Alex berdiri tak jauh dari mereka. "Pak Alex," ucap Ethan pelan. Meski ia sudah tahu hubungan Shania dengan Alex, tapi ia tetap tak menyangka akan kehadiran pengusaha itu di depan mereka.Entah apa yang terjadi, padahal sebelumnya Alex menutup-nutupi hubungannya dengan Shania. Tapi sekarang, justru hal tersebut berbanding terbalik. Ethan menilai sepertinya Alex tengah ingin menunjukkan sesuatu kepadanya. Alex berjalan menghampiri saat orang-orang di depannya tidak mengatakan apapun. Ia lalu berhenti tepat di depan Shania. "Aku lihat mobilmu di rumah. Jadi, aku memutuskan untuk menjemputmu di sini." Alex berkata pada Shania yang menatapnya dalam diam. Tatapan istrinya masih terlihat tak percaya dengan
Bulan yang terlihat utuh dengan warna terang menyinari semesta, menjadi saksi ketika Rachel dan Ethan akhirnya melanjutkan obrolan. Kafe yang sejatinya tutup, kini terbuka untuk si pemilik dengan membiarkan para karyawannya pulang. "Biasanya insting lelaki itu lemah dibanding perempuan, tapi entah apa yang ada pada dirimu, kenapa kamu seolah tahu sekali tentang masalah yang sedang dihadapi oleh Shania." Rachel memulai obrolan setelah karyawannya menyediakan minuman dan snack untuknya juga Ethan. "Sejak kapan kamu menyadari ada sesuatu yang terjadi pada Shania?" tanya Rachel kemudian. Ethan menghela napas panjang. Lelaki itu seolah ingin mengambil ancang-ancang untuk melepaskan uneg-uneg yang selama ini mendekam di dalam pikirannya. "Sejak pertama ia bekerja di perusahaanku."Rachel diam. Ia melihat kedua mata Ethan yang menatap lurus ke luar. "Shania sudah terlihat murung sejak awal bekerja. Meski ia selalu menutupi dengan sikap ceria di depan anak-anak yang lain, tapi aku tahu k
Rachel melanjutkan ceritanya, "Alex tidak menyadari perubahan sikap Shania. Ia terlalu sibuk dengan hubungannya dengan Maura. Tapi, aku bisa melihat perubahan itu. Shania menjadi lebih tertutup dan tidak lagi ceria seperti dulu."Ethan mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami apa yang terjadi antara Shania, Alex, dan Maura."Apa yang terjadi kemudian?" tanya Ethan, penasaran dengan kelanjutan cerita.Rachel mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Shania mencoba untuk melupakan Alex dan fokus pada studinya. Tapi, ia tidak bisa menghindari Alex dan Maura, karena mereka berdua selalu bersama-sama. Shania merasa sakit hati dan kecewa, tapi ia tidak bisa menunjukkan perasaannya itu kepada Alex."Ethan mengangguk, memahami perasaan Shania. "Aku mengerti sekali posisinya. Lalu, apa yang akhirnya Shania lakukan?" Ethan bertanya lagi.Rachel tersenyum sedih, "Pada akhirnya Shania malah menerima lamaran Alex setelah kekasihnya itu tiba-tiba pergi meninggalkannya setahun yang lalu
Keluarga Harrison tengah melangsukan makan malam. Beberapa teman Shania, termasuk sahabatnya diundang oleh sang tuan rumah. Makan malam berlangsung penuh kehangatan dan keceriaan sebab salah satu anggotanya yang tak pernah berhenti untuk bercerita. Siapa lagi kalau bukan Rachel —sahabat Shania. Gadis itu datang bersama Ethan dan beberapa teman lainnya yang merupakan anak buah Ethan di kantor. Fiersa, teman Shania yang sudah tahu kalau temannya itu hamil, cukup kaget dan dibuat terkesima dengan fakta mencengangkan mengenai jati diri perempuan itu. Ia bahkan hampir tak bisa menelan makanan yang dihidangkan oleh para pelayan di rumah Shania saking shock-nya. "Apakah Bapak sudah tahu tentang fakta ini?" Fiersa sampai bertanya pada Ethan, sang atasan, saat pertama kali sampai di rumah Shania. "Ya, tidak mungkin aku tidak tahu," jawab Ethan tersenyum. "Sejak kejadian di rumah sakit, aku akhirnya mencari tahu.""Jadi, awalnya juga tidak tahu?"Ethan menggeleng. "Sama seperti yang lainnya
Alex kaget mendengar ucapan Maura. Dilihatnya ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh kekasihnya itu setelah mengatakan sesuatu yang merujuk pada sosok Shania. "Aku pergi dulu. Nanti kamu bisa hubungi aku lagi kalau sudah selesai istirahat." Pada akhirnya Alex memilih untuk meninggalkan apartemen. Berusaha sekali mengabaikan kalimat sindiran yang tadi Maura lontarkan. "Apa yang sudah perempuan itu lakukan padamu?" Maura hampir berteriak saat Alex sudah akan membuka pintu mobil. Beberapa orang yang hilir mudik di sekitar mereka, menengok karena penasaran. Termasuk petugas security yang tadi diminta Alex untuk membantu mengangkat koper dan barang milik Maura ke unit apartemen, diam di tempat sambil memperhatikan keributan yang selama ini tak pernah terjadi pada pasangan tersebut. "Aku sedang tidak mau berdebat, Maura. Jadi, lebih baik kamu istirahat sekarang. Jangan lupa makan dulu. Aku sudah pesankan makanan melalui pesanan online. Sekitar sepuluh menit lagi sampai."Alex benar-benar
Suasana bandara tampak ramai dengan banyaknya orang di area kedatangan atau pun keberangkatan. Alex adalah salah satu dari banyaknya orang tersebut, menunggu kedatangan Maura dari luar negeri. Sebulan penuh wanita itu berada di benua biru untuk menyelesaikan sebuah proyek desain. Sebuah desain yang ia menangkan dalam sebuah lelang di adakan oleh salah satu perusahaan terkenal yang ada di sana. Alex sudah menunggu sekitar tiga puluh menit, namun tanda-tanda kemunculan wanita itu masih belum juga terlihat hingga sosok Brian muncul membawa makanan yang ia pesan. "Kenapa kamu tidak makan di restoran saja? Kenapa harus dibungkus seperti ini?""Tidak apa-apa. Aku lagi mau makan santai saja," ucap Alex seraya duduk di area tunggu. "Kamu tidak mau?" Alex mengangkat satu bungkusan satunya. Brian menggeleng. "Untukmu saja."Alex mengangkat bahunya cuek. Ia lanjut menikmati makanan yang sedang dikunyahnya. Suasana hatinya terasa lain. Sesuatu yang membahagiakan ia rasakan sebab perhatian Sha
Pertemuan pagi itu telah menghasilkan satu keputusan di mana akhirnya Alex meminta tim pengacaranya untuk segera mendaftarkan berkas perceraiannya ke pengadilan agama. "Kamu serius mau melakukan ini?" tanya Brian, yang tak percaya atas permintaan Alex tersebut. "Apakah sekarang kamu melihat aku sedang becanda?" Alex bertanya balik sembari menghubungi Shania perihal surat nikah yang ia pegang. "Y-ya, aku tahu kamu terlihat serius. Tapi, apa yang sudah membuatmu mau menyetujui permintaan Shania?"Alex tidak menjawab. Ia hanya tersenyum menatap asistennya itu. Di lain tempat, Shania merasa ada perasaan tak nyaman di hatinya. Setelah membaca pesan yang Alex kirimkan sejujurnya ia merasa lega. Akhirnya Alex mau mendaftarkan gugatan cerai atas pernikahan mereka. Tapi, hatinya mendadak nyeri. Nyeri karena akhirnya mereka benar-benar akan berpisah. "Kamu sudah mendapat kabar dari Alex?" Sebuah pesan dari Rachel masuk ke ponsel Shania setelah ia membalas pesan dari Alex. "Bagaimana feeli
Malam itu Alex melewati malam tanpa sedikit pun memejamkan mata. Kata-kata Shania terakhir, membuatnya tak bisa tertidur. Di atas sofa, ia menatap langit-langit kamar. Di atas ranjang sana, sang istri sudah tertidur pulas. Bayinya juga tidak rewel setelah satu jam yang lalu sang istri memberinya ASI. "Aku mungkin masih mencintaimu, tapi aku tak memiliki keinginan untuk kembali hidup bersamamu seperti dulu."Kalimat itu mungkin sebuah pengharapan bagi Alex. Tapi, ia tahu bagaimana sifat Shania. Perempuan itu akan tetap mempertahankan harga dirinya dan kemauannya. Hingga waktu melewati dini hari, Alex pun iseng membuka ponsel. Dan saat itu dirinya kepikiran untuk mengubungi Rachel, sahabat Shania. "Maaf malam-malam mengirimu pesan. Kalau tidak keberatan, aku mau mengajakmu ketemuan besok sebelum masuk kantor."Bingo! Pesan yang Alex kirimkan mendapatkan balasan. "Oke. Aku tunggu di kafe milikku. Tempat yang waktu itu kamu menjemput Shania."Alex ingat. Waktu itu ia sedang gila-gilan
"Maura?" tanya Shania saat Alex sudah selesai dengan panggilannya. Alex sempat kaget dengan tebakan Shania yang tepat sasaran. Tapi, sesaat kemudian ia bisa mengontrol dirinya dengan tidak menunjukkan sikap guguk atau panik. "Ya," jawab Alex singkat. Tak ada keterangan atau kabar apapun yang ia berikan kepada Shania. Shania sendiri tidak menanyakan lebih jauh, apa yang keduanya obrolkan. Beruntung bagi Alex karena saat ini Shania sudah berada di dalam kamarnya. Bukan di ruang keluarga seperti saat terakhir dirinya meninggalkan mertua dan istrinya itu. Bahkan, kedua mertuanya pun tak ada yang bertanya mengenai panggilan yang tiba-tiba tadi. "Tidurlah di sana seperti semalam," ucap Shania ketika Alex sudah akan menghampirinya di ranjang. Alex menghentikan langkah. Tapi, sedetik kemudian ia tetap berjalan mendekati sang istri. "Aku senang kalau harus menggendongmu ke sini," kata Alex yang direspon cuek oleh Shania. Tapi, lelaki itu sepertinya sudah bisa menebak sebab keisengannya t
Alex kembali ke kediaman keluarga Harrison saat masuk jam makan malam. Lian dan Nina sedang berbincang di ruang keluarga ketika Alex datang. Ayah dan ibu mertuanya terlihat santai saat Alex menyapa mereka. Tidak cuek seperti kekhawatirannya selama ini, sikap dua orang paruh baya itu justru membuat hati Alex terasa lebih tenang. Meski tidak menunjukkan perhatian berlebih, tapi Alex tahu bila keduanya tidak terlalu membencinya. "Aku izin menemui Shania dulu, Yah, Bu," pamit Alex setelah cukup menyapa kedua mertuanya itu. "Ya."Alex pun pergi menuju kamar tamu yang kini menjadi kamar Shania. Tak peduli ketika namanya sempat disebut oleh sang mertua saat ia beranjak pergi. 'Itu bukan hal aneh ketika seharusnya mereka membenciku, tapi masih mau menerima kehadiranku di kediaman mereka,' batin Alex bersyukur karena memiliki mertua yang sangat baik. Teringat pukulan Lian di perutnya tempo hari, Alex nilai itu bukan sesuatu yang menyakitkan. Justru, seharusnya Lian melakukan hal lebih dar
Shania sudah selesai mandi ketika melihat Alex masih tertidur di sofa. Mentari sudah terlihat naik, membuatnya yakin jika hari sudah semakin siang. 'Apakah ia tidak pergi ke kantor?' batin Shania yang kemudian memeriksa bayinya di dalam boks. Bayi mungil itu tampak tenang setelah subuh tadi menangis karena haus dan juga mengompol. 'Nyenyak sekali kamu, Nak,' gumam Shania tersenyum sembari mencubit gemas pipi bayinya itu. Tak ada pergerakan, membuat Shania memilih untuk meninggalkan dan berencana memandikan bayinya itu setengah jam mendatang. Ia lalu menghampiri Alex untuk membangunkannya. Dengkuran masih terdengar halus. Meski awalnya tak mau peduli, pada akhirnya Shania membangunkan juga lelaki di depannya itu. "Alex! Bangun, Lex!" seru Shania memanggil nama suaminya. Tak ada respon, membuat Shania kembali memanggil. "Lex! Udah siang."Masih tak ada respon, akhirnya Shania menggoyang pundak Alex sambil memanggil namanya sedikit kencang. "Alex! Bangun!"Usahanya berhasil. Alex
Alex diam, begitu juga Shania. Beberapa detik kemudian, Alex memalingkan wajah dan menatap martabak yang sepertinya menggugah seleranya. "Kamu mau kita bercerai, meski hatiku yang paling dalam enggan melakukannya," ucap Alex. "Sudahlah, Lex. Jangan bersikap seperti anak kecil. Kita sadari, kita sudah sama-sama dewasa. Sudah ada anak di kehidupan kita. Jadi, tolong bersikap bijak." Shania masih bisa santai menjawab. Meski berbicara dengan Alex dan membahas tentang masalah rumah tangga mereka membuat tekanan darahnya naik perlahan. "Sikapku yang mana memangnya yang menurutmu tidak bijak?" Alex tampak tersinggung. "Ya, itu ... berniat bernegosiasi. Apalagi kalau bukan mau mengulur waktu?"Alex tak percaya jika Shania akan menuduhnya mengulur waktu. Padahal yang sebenarnya, ia bahkan tak mau menceraikan wanita itu. "Kamu mau kita bercerai, aku akan coba turuti itu." Alex berkata sembari menatap wajah Shania yang terlihat cuek. "Aku memang punya pengacara pribadi, tapi menghadapi satu