แชร์

Mencoba Berdamai

ผู้เขียน: Ummu Amay
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-12-04 22:20:31

Pagi menyelinap perlahan melalui tirai putih kamar rumah sakit, membawa aroma hangat matahari yang baru terbit. Cahaya lembut itu menyentuh lantai, tembok, dan akhirnya wajah Shania yang masih terlelap —entah karena obat penenang atau karena tubuhnya akhirnya menyerah pada rasa aman yang baru kembali ia rasakan.

Alex tidak pulang semalaman.

Ia tetap di kursi itu, masih memegang tangan Shania, bahkan tanpa sadar tertidur dalam posisi duduk. Bahunya miring, kepala bersandar di tepian ranjang, jemarinya tetap mengait tangan istrinya seolah dunia bisa runtuh jika ia melepaskan.

Brian masuk diam-diam membawa kopi.

Ia tertegun melihat Alex tertidur seperti itu.

Pelan, hampir tidak bersuara, Brian meletakkan kopi di meja kecil. Saat ia hendak keluar, Alex terbangun dengan napas tersengal —refleks seperti seseorang yang masih setengah berada dalam mimpi buruk.

“Kita di mana?” Alex bergumam.

“Rumah sakit, bos,” jawab Brian pelan, menyembunyikan senyum tipis. “Dan sepertinya kamu baru tidur sek
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Kembali di Rumah

    Pagi terakhir di rumah sakit terasa berbeda. Bukan lagi ruang sakit, melainkan ruang peralihan —antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang perlahan disusun ulang. Shania duduk di kursi roda kecil, mengenakan baju hangat yang dipilihkan Hanum semalam. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya jauh lebih segar.Keanan berada dalam gendongan Alex, terlihat sangat bahagia dan rewel sekaligus, seolah tahu hari ini adalah hari besar.Nina, Hanum, Jimmy, dan Lian berdiri di sisi lorong, membentuk jalur kecil yang terasa seperti penyambutan keluarga untuk seseorang yang pulang dari perjalanan panjang.“Pelan-pelan, ya,” kata Alex sambil mendorong kursi roda Shania dengan hati-hati.Shania menengok ke belakang dan tersenyum. “Aku bisa jalan sendiri, tahu.”“Bisa,” Alex mengangguk. “Tapi, aku ingin kamu bersandar padaku dulu. Setidaknya hari ini.”Shania tertawa kecil. “Oke.”Mereka berhenti sejenak di depan pintu keluar rumah sakit. Udara luar menyapa —sejuk, tidak sekeras malam-malam yan

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Hukuman yang Menanti

    Keesokan harinya, matahari pagi jatuh lembut ke lantai marmar kamar VIP. Shania sudah duduk menghadap jendela, rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya jauh lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Ia mengenakan pakaian longgar yang dibawakan ibunya —pertanda bahwa hari ini ia akhirnya pulang.Alex masuk sambil membawa tas kecil.“Semua sudah siap,” katanya dengan senyum hangat. “Dokter juga sudah tanda tangan. Kita bisa keluar sebentar lagi.”Shania mengangguk, menatap siluet langit cerah di luar. “Rasanya lega, tapi aneh. Seperti tiba-tiba semuanya bergerak maju lagi.”Alex mendekat, meraih tangannya. “Karena mulai hari ini, kamu tidak lagi terjebak di antara rasa sakit dan ketakutan. Kamu pulang. Bersama kami.”Sebelum Shania menjawab, pintu diketuk. Nina, Hanum, dan Brian masuk hampir bersamaan seperti rombongan keluarga yang hendak menjemput seseorang yang pulang dari perjalanan jauh.Keanan berada di gendongan Hanum, tertawa dan meninju-ninju udara seolah tahu hari ini adalah mo

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Luka yang Perlahan Dijahit

    Siang hari itu, kamar rumah sakit terasa hangat oleh cahaya matahari yang menembus jendela besar. Shania baru saja selesai makan siang ketika pintu diketuk pelan. Alex yang sedang merapikan meja kecil menoleh, dan masuklah Rachel sambil menggendong Keanan yang mengoceh riang.Shania langsung tersenyum —senyum yang paling tulus dalam tiga hari terakhir.“Sayang…” suaranya bergetar begitu melihat buah hatinya.Rachel buru-buru mendekat, dan Shania merentangkan kedua tangan. Keanan menyambut dengan tawa kecil, langsung menempel di dada ibunya seolah ia memang tahu siapa yang paling dirindukan.Air mata Shania jatuh tanpa bisa ditahan.Alex mematung, tersenyum tipis sambil menyaksikan momen itu —momen yang sempat ia takut tidak akan pernah ada lagi.“Aduh, Nak…” Shania menciumi kepala Keanan berulang kali. “Mama kangen banget sama kamu…”Keanan memegang wajah Shania dengan jemari mungil, lalu mengeluarkan suara manja, membuat Shania kembali menangis.Rachel dan Ethan berdiri di pojok ruan

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Menuju Masa Tenang

    Tiga hari setelah Shania benar-benar sadar, suasana di bangsal VIP itu berubah jauh. Tidak lagi terdengar langkah terburu-buru dokter atau bisik panik keluarga yang memenuhi lorong. Yang tersisa hanyalah rutinitas lembut, suara langkah perawat yang halus, dan aroma antiseptik yang tidak lagi membuat Shania sesak.Ketegangan perlahan diganti rasa syukur.Tapi di balik ketenangan itu … dunia di luar masih bekerja. Termasuk proses hukum yang kini bergerak cepat untuk menindak perbuatan Maura.Siang itu, ketika perawat baru saja selesai mengganti perban di lengan Shania, Alex kembali dari panggilan telepon dengan penyidik. Wajahnya serius, tetapi tidak lagi sesuram beberapa hari lalu.Shania bisa membaca sesuatu dari ekspresi itu. “Ada kabar?”Alex duduk di tepi ranjang —posisi yang hampir menjadi kebiasaan barunya— lalu menggenggam tangan Shania.“Ada laporan lanjutan dari penyidik,” ucap Alex pelan. “Kasusnya sudah resmi naik ke tahap penyusunan berkas kejaksaan. Mereka mempercepat kare

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Konsekuensi

    Sudah tiga hari berlalu sejak Shania sadar sepenuhnya.Rumah sakit mulai terasa seperti ruang singgah yang lebih damai dibanding hari pertama ia dibawa masuk —tidak lagi penuh tangis, teriakan panik, atau wajah-wajah keluarga yang dipenuhi ketakutan. Fase gawat itu telah lewat. Yang tersisa sekarang adalah masa tenang, masa ketika luka sudah berangsur pulih, dan janji mulai ditagih.Pagi itu, Shania duduk bersandar pada tumpukan bantal, selimut menutupi kaki, rambutnya diikat sederhana. Wajahnya sehat, tapi matanya masih membawa bayang-bayang ketakutan yang tidak hilang dalam semalam.Alex baru kembali dari mengurus proses pembatalan gugatan cerai. Begitu masuk ke ruangan, ia melihat Shania memalingkan wajah dari TV yang menampilkan berita pagi.Satu nama muncul di layar.Maura Adeline.Dengan rompi tahanan. Kepala menunduk. Dikawal polisi.Alex langsung mematikan TV.“Kamu tidak harus melihat itu,” ujarnya lembut, duduk di tepian ranjang.Shania menelan ludah. “Aku hanya penasaran ap

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Memulai Dari Awal

    Suasana tenang di kamar rumah sakit perlahan berubah menjadi lebih hidup ketika suster datang memeriksa kondisi Shania, sementara Rachel dan Ethan membereskan sisa sarapan. Alex tetap berada di sisi Shania, tidak pernah benar-benar melepas genggamannya.Namun, begitu pemeriksaan selesai dan ruangan kembali lengang, Alex menatap Shania dengan ekspresi yang selama ini ia pendam, campuran cinta, ketakutan, dan rasa kehilangan yang sempat membuatnya nyaris hancur.“Shania,” suara Alex serak. “Aku boleh nanya sesuatu?”Shania menaikkan alis lembut. “Apa?”Alex menatapnya seperti seseorang yang melihat sesuatu rapuh namun sangat berharga.“Kamu … masih takut sama aku?”Pertanyaan itu membuat ruangan terasa lebih sempit.Shania menelan ludah, mengingat malam penculikan itu—bagaimana Alex memeluknya erat, bagaimana suaranya pecah saat memanggil namanya, bagaimana raut panik di wajah pria itu tidak pernah bisa ia lupakan.Perlahan, ia menggeleng. “Aku tidak takut kamu menyakitiku,” ujarnya lem

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status