Hal pertama yang Claudia lihat setelah memasuki ruangan adalah seorang pria yang diberkahi dengan ketampanan bak dewa yunani sedang duduk tegak sambil memegang sebuah berkas.
Cara pria itu memegang berkas di tangan, dengan jari-jari panjang yang terlihat indah membuat Claudia sempat menahan napas, bagaimana pun pesona yang dipancarkan Malven meski ia hanya duduk diam sungguh sangat tidak bisa diabaikan."Selamat malam, Pak, saya Claudia, yang dikirim ke sini untuk menjadi pengasuh tuan muda." Claudia menyapa dengan sopan, tubuhnya sedikit membungkuk saat sudah berada di hadapan Malven.Mata sehitam arang itu menatap Claudia perlahan. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan.Claudia segera mengambil tempat di sofa seberang Malven, duduk tegak sembari bersiap menjawab pertanyaan yang mungkin akan diajukan Malven--pengganti sesi interview yang belum sempat dilakukan."Ini adalah kontrakmu. Sekretarisku sudah mengurusnya dengan agensimu, tapi kupikir kamu memerlukan salinannya. Baca dan pahami itu, kalau ada yang tidak kamu pahami, tanyakan sekarang."Claudia meraih berkas yang disodorkan, mengabaikan tatapan tajam yang mengikuti gerakannya. Claudia sudah mengetahui isi kontraknya, tapi melihat lagi kontrak dengan namanya tertulis sebagai pekerja membuatnya agak bersemangat, apalagi setelah melihat nominal gaji bulanannya yang tertera.Wanita itu membaca semua yang tertulis, dan tidak ada yang merugikan menurutnya, semuanya sesuai dengan kesepakatan yang sudah Claudia ketahui. Padahal selain gaji yang lebih besar dari tempat lain, bekerja di kediaman Pranaja juga mendapat libur satu kali dalam seminggu, biaya makan ditanggung serta kamar yang nyaman.'Tapi, kenapa semuanya dipecat hanya dalam seminggu?' Claudia mengerutkan kening tanpa sadar, mengingat lagi jika paling lama babysitter bertahan di kediaman ini hanyalah satu bulan."Saya sudah membaca semuanya dan tidak ada yang kurang." Claudia meletakkan kembali kontraknya ke atas meja, kali ini memberanikan diri untuk mendongak dan menatap sang tuan. Tapi, tatapan dingin dan tidak bersahabat yang Claudia terima membuatnya bertanya-tanya apakah pria di hadapannya memiliki masalah penglihatan.Kenapa dia selalu menatap Claudia seolah wanita itu adalah penjahat yang pernah mengkhianati negara?!"Kalau begitu aku akan mengatakan peraturan lainnya selain yang tertulis di kontrak. Kuharap kamu mendengarkan dan memahami apa yang kukatakan sekarang, karena tidak akan ada maaf kalau kamu melanggarnya."Claudia tidak tahu peraturan seperti apa yang ingin disampaikan Malven, tapi melihat betapa serius raut wajah pria itu, sepertinya itu peraturan yang cukup sulit ditaati.'Apa dia menyuruhku untuk bangun jam tiga pagi setiap hari?'"Iya, Pak, saya mendengarkan."Malven berdecak pelan, jelas berusaha keras untuk menutupi ketidaksukaannya pada Claudia."Pertama, jangan pernah memasuki kamarku atau ruang kerjaku, juga perpustakaan pribadiku."Claudia mengerjap pelan, bukankah hal yang wajar untuk tidak masuk ke daerah privasi majikan? Apalagi status Claudia di sini sebagai pengasuh Raga, bukannya pembantu rumah tangga, jadi bukankah sudah pasti Claudia tidak akan masuk ke ruangan-ruangan yang baru saja Malven sebutkan?"Baik, Pak, saya mengerti." Claudia mengangguk meski merasa aneh dengan peraturan pertama yang didengarnya, karena tanpa perlu dijadikan aturan, hal seperti itu pasti tidak akan terjadi."Lalu, kamu di sini sebagai pengasuh Raga. Jadi, meski kamu akan ikut makan bersamaku dan Raga, atau bermain bersamanya di kantorku, ingatlah kalau statusmu hanya seorang pengasuh."Kata-kata yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya membuat Claudia mau tidak mau merasa jengkel. Kenapa hal-hal yang sudah pasti itu dijadikan aturan?!"Kalau begitu saya boleh menolak kalau seandainya nyonya Dera atau pelayan lain meminta bantuan saya untuk melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan 'mengasuh' tuan muda, kan?" Claudia kembali menatap lurus pada Malven. "Saya harap Anda mengatakan hal itu juga ke pekerja yang lain, Pak, agar saya hanya fokus dengan pekerjaan sebagai pengasuh saja."Menghindari bully dan masalah tidak penting. Terkadang Claudia mendengar laporan dari para pengasuh mau pun asisten rumah tangga yang dikirimkannya tentang senioritas dan pekerjaan yang tidak sesuai. Tidak sedikit yang harus melakukan bersih-bersih atau memasak padahal job desk-nya adalah babysitter, hanya karena tidak berani menolak perintah pekerja lain yang sudah lebih dulu di sana.Malven yang sempat tertegun mendengar permintaan Claudia akhirnya berdeham pelan. "Kamu tidak perlu khawatir masalah itu, Dera bukan orang yang akan membiarkan rumah ini menjadi tempat tidak nyaman untuk bekerja."Claudia mengangguk, syukurlah kalau lingkungan kerja di rumah ini baik. Meski Claudia sudah melihatnya hari ini tentang para pekerja yang ramah dan baik, tapi siapa yang tahu sifat asli seseorang? Claudia bahkan tidak bisa menebak pria yang sudah menjadi kekasihnya selama tuhuh tahun, apalagi orang yang baru ditemui."Apa ada yang lainnya, Pak?" Claudia bertanya setelah beberapa saat Malven terdiam, raut wajahnya terlihat sedang memikirkan sesuatu."Satu lagi, tentang panggilan Raga padamu."Panggilan?"Raga masih sangat kecil ketika kehilangan ibunya, jadi dia sangat haus akan kasih sayang seorang ibu. Meski begitu, tidak peduli seakrab apa pun kalian, jangan pernah menyuruh atau membiarkan Raga memanggilmu ibu atau mama. Kalau aku sampai menerima laporan ada hal seperti itu, kamu akan langsung dipecat."Ehm ... sebenarnya apa yang sedang terjadi? Jujur saja sejak tadi Claudia kebingungan. Ada tiga peraturan yang tidak boleh ia langgar, tapi bukankah tiga hal itu adalah hal yang memang semestinya tidak dilakukan?Pertama, tidak ada alasan bagi seorang pengasuh untuk masuk ke kamar atau ruangan pribadi tuannya. Kedua, memangnya ada orang yang lupa statusnya sebagai pengasuh hanya karena sering menemani tuan muda yang dirawatnya makan bersama orang tuanya? Lalu peraturan ke tiga tentang panggilan itu juga, bukankah lucu kalau meminta atau membiarkan anak yang diasuh untuk memanggil ibu? Memangnya ada yang melakukan itu?!"Ya, Pak, saya akan ingat semuanya." Meski tidak mengerti sama sekali dengan peraturan yang Malven berikan, Claudia tetap menjawab dengan sopan.Lagi-lagi terjadi keheningan setelahnya, Claudia tidak tahu kenapa pria yang mendapat julukan sebagai Tangan Midas dari Asia itu sering diam sambil melototi seseorang."Apa masih ada lagi, Pak? Maaf sebelumnya, tapi mengingat isi kontrak, seharusnya pukul segini saya sudah beristirahat." Claudia memberanikan diri membuka suara, sejujurnya agak sulit bersikap tenang tanpa menatap terang-terangan wajah tampan di depannya."Tidak, tidak ada lagi. Kamu boleh kembali ke kamarmu."Claudia menghela napas lega, "Baiklah kalau begitu saya permisi, Pak," ucapnya sebelum bergegas meninggalkan Malven tanpa menunggu balasan dari pria itu. Jujur saja Claudia kelelahan dan membutuhkan tidur setelah menemani Raga seharian, jadi ia tidak bisa membuang waktu lagi.Untungnya Dera yang Claudia temui di depan ruangan Malven tidak menanyakan apa pun sehingga Claudia bisa langsung pergi ke kamarnya."Ah, aku ingin tidur tanpa ganti baju!" Claudia mengeluh setelah memasuki kamarnya dan mengunci pintu.Wanita itu baru saja merebahkan tubuhnya dan mulai merasa nyaman ketika ingatannya menyentak. Dia lupa memberi kabar pada Aira!Membuka tas berisi pakaiannya yang belum sempat dirapikan, Claudia meraih ponselnya yang seharian tidak diperiksa. Lalu, sebuah pesan yang berada di paling atas membuat seluruh lelah dan kantuknya seolah menguap.[Cla, kamu di mana? Aku ke rumahmu dan Ayah bilang kamu tidak ada. Tolong jangan pergi tiba-tiba, Cla, aku tidak bisa jika tidak melihatmu.]Pesan itu dikirim oleh nomor asing, tidak hanya satu, Claudia bahkan tidak mau menghitungnya, belum lagi panggilan tidak terjawab. Meski Claudia sudah memblokir nomor Deon, nyatanya pria itu masih berusaha menghubunginya dengan nomor lain.Sebagai seorang direktur sebuah yayasan yang nomornya sudah diketahui banyak kolega membuat Claudia tidak bisa mengganti nomor ponselnya. Ia hanya sempat berharap Deon menyerah dan tidak lagi mengganggu setelah Claudia memblokirnya, tapi nyatanya pria itu masih saja egois dan tidak tahu malu.Sama seperti Deon yang melakukan usaha sia-sia dengan terus menghubungi, Claudia juga akan terus memblokir pria itu dari hidupnya entah berapa kali pun Deon berusaha mendekat."Ayo tidur, aku harus bangun pagi dan memastikan Raga sarapan bersama ayahnya!" Mengembalikan ponselnya ke tas tanpa berniat mengisi dayanya, Claudia segera berbaring dan menarik selimut. Wanita itu berulang kali menarik napas, menenangkan diri dari hatinya yang kembali teringat luka. T
Claudia menghela napas lega saat Malven membuat fokus Raga berpindah ke makanannya, karena kalau tidak, Claudia mungkin akan menangis saat ini juga. Meski anak itu terlihat sedikit merengut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan memakan sarapannya tanpa banyak protes.Awalnya Claudia ingin menyuapi Raga makan, karena seingatnya dulu ia selalu disuapi oleh ibunya saat masih sesusia Raga, tapi mengingat peraturan yang Dera beritahukan kemarin membuatnya urung. Raga harus makan di meja makan sendiri, tugas Claudia hanya ikut makan di sampingnya atau menemaninya saja tanpa harus membantu.Meski sedikit tidak terbiasa dengan cara Raga dididik, Claudia harus mengikuti aturan yang diberikan demi memperpanjang pekerjaannya di sini. Hingga pagi ini Claudia masih belum bisa menebak alasan para pengasuh sebelumnya dipulangkan, padahal tempat ini sangat bagus, lingkungan nyaman dan fasilitas memadai.'Bahkan pekerjaan menjaga Raga pun terbilang mudah, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?' "H
Claudia tidak menyesali keputusannya untuk membawa Raga main. Melihat bagaimana anak itu akhirnya tersenyum riang sambil mengelus para kucing membuat perasaan Claudia juga ikut senang."Mbak Claudia sepertinya benar-benar suka tuan muda, ya? Kelihatan beda dari pengasuh-pengasuh sebelumnya." Claudia menoleh pada kata-kata Ali. "Beda apanya? Memangnya pengasuh sebelumnya bagaimana?" tanyanya sambil sesekali memperhatikan Raga yang berada tidak jauh darinya. Claudia berusaha agar raut wajah dan nada suaranya tenang, seolah pertanyaannya hanyalah basa-basi."Bagaimana, ya? Sebenarnya mereka memperlakukan tuan muda dengan baik, pekerjaannya juga bagus. Mereka hanya melakukan satu kesalahan." "Kesalahan?"Ali mengangguk, tatapannya tampak sendu saat menatap Raga. "Mereka menggoda tuan Malven," ucapnya pelan, helaan napasnya agak berat didengar.Menggoda. Satu kata itu membuat Claudia tanpa sadar mencengkeram gelas minumannya lebih erat. Mengingat betapa rupawan wajah Malven, tubuh tinggi
Dipecat. Satu kata itu membuat Claudia tidak bisa berkata-kata. "Pergilah, aku sudah selesai bicara." "Sebentar, Pak! Saya benar-benar tidak merasa melakukan kesalahan, tapi kenapa dipecat? Bisakah saya diberitahu letak salah saya di mana? Kalau ada hal yang tidak sesuai menurut Pak Malven, saya akan belajar memperbaikinya!" Claudia tidak pernah menduga akan dipecat hanya dua hari sejak memasuki kediaman Pranaja, padahal ia tidak merasa melakukan sesuatu yang melanggar aturan, Claudia juga tidak menggoda Malven sama sekali. Wanita itu melirik pada pakaian yang dikenakannya hari ini dan mengingat yang ia gunakan kemarin, tapi tidak ada yang salah dengan pakaiannya."Kamu benar-benar bertanya apa salahmu setelah membawa Raga bolos hari ini?" Pertanyaan yang dilayangkan dengan tatapan tajam itu membuat Claudia mengerutkan kening. Dari mana pria itu tahu kalau Raga membolos hari ini? Apakah pihak sekolah menelpon?"Aku ke sekolah Raga hari ini, ingin menjemputnya sebagai ganti tidak b
Pagi ke dua di kediaman Pranaja, kali ini Claudia tidak kesiangan dan menjalankan pekerjaannya untuk membangunkan Raga tepat waktu. Saat wanita itu memasuki kamar Raga, bocah itu masih bergelung dalam selimut. Padahal pukul enam kemarin Raga sudah menggedor kamar Cludia."Dia pasti kelelahan setelah menangis dan bermain kemarin, kan?" Claudia mendekati ranjang, perlahan menyibak anak rambut dari kening Raga. "Sayang, selamat pagi," ucapnya lembut sembari mendekat dan mencuri kecupan di pipi Raga."Padahal kalau mau cium tinggal bilang aja, nggak perlu curi-curi pas aku tidur gitu." Raga yang sebenarnya sudah bangun tapi malas bergerak dari ranjang, membuka kedua matanya dan menatap Claudia yang terkejut. "Selamat pagi juga, Kak!"Claudia terkekeh, "Wah, serius? Kakak akan sering cium dan cubit pipimu, lho!" "Tadi kayanya cuma cium aja?!" Raga ikut tertawa saat Claudia mencubit pelan pipinya. "Ayo siap-siap! Oh iya, karena ini hari Sabtu, itu berarti Papa-nya Raga libur, kan?" Perta
Tadinya Claudia berniat menghibur, bahkan sudah menyiapkan kata-kata yang tepat untuk menenangkan Eaga. Tapi, mendengar kata-kata yang diucap Raga sambil menangis membuat Claudia tidak bisa menahan air matanya. Wanita itu berakhir menangis juga, yang bisa ia lakukan adalah memeluk Raga tanpa bisa mengatakan apa pun.Bagaimana bisa seorang anak yang belum genap berusia lima tahun, mempertanyakan statusnya? Berapa banyak luka dan kekecewaan yang menumpuk hingga membuat Raga berpikir demikian? Ini bukan lagi seorang yang haus perhatian karena masih anak-anak, tapi karena memang ia tidak diperhatikan dengan benar oleh orang tuanya. "Kenapa Mama ninggalin aku sendirian ... aku mau ikut Mama!" Claudia menggigit bibir, menahan suaranya agar tidak ikut terisak bersama Raga. Ia hanya bisa mendekap anak itu, mengelus kepalanya penuh sayang, berharap bisa mengobati sedikit saja luka di hatinya."Nggak ada yang sayang sama Aga! Mama pergi, Papa nggak peduli, orang-orang juga cuma suka sama Papa
Claudia kembali ke ruang bermain Raga sambil membawa tisu basah dan kering, juga sebaskom air hangat dengan handuk kecil untuk mengompres mata Raga yang sedikit membengkak. "Sayang, mainannya ditaruh dulu, sini!" Claudia meletakkan barang-barang yang dibawanya ke atas meja. Raga yang mulai memainkan miniatur menaranya saat menunggu Claudia, bergegas bangkit dan duduk di sisi wanita itu. Melihat adanya handuk kecil dan baskom berisi air hangat, Raga yang tidak pernah menerima perlakuan seperti itu sebelumnya tidak bisa menahan senyumnya. Entah para pelayan, pengasuh-pengasuh sebelumnya yang Malven bayar, bahkan Dera, tidak ada satu pun yang pernah membawakan air hangat untuk mengompres mata Raga yang membengkak karena menangis."Buat Kakak airnya tidak terlalu panas, tapi mungkin buat kamu suhunya agak tinggi, tapi ditahan ya?" Claudia memasukkan handuk ke dalam baskom sebelum memerasnya dan menekan pelan di sekitar mata Raga yang telah dibersihkan dengan tisu basah.Claudia melakuka
Elodia Farras Ghaniya, nama yang tertera di hadapan Claudia saat ini merupakan ibu kandung Raga yang meninggal delapan bulan lalu. Mungkin kematian yang belum terlalu lama membuat Raga masih tidak bisa melupakan kenangan tentang ibunya, karena Claudia yang ditinggalkan saat berusia delapan tahun pun, hanya sedikit kenangan tentang ibunya yang tersisa.Hanya saja Claudia berharap akan ada seseorang yang terus menceritakan tentang Elodia pada Raga, kenangan-kenangan manis yang pernah anak itu bagikan bersama ibunya jangan sampai dilupakan begitu saja, karena sulit sekali rasanya saat tidak ada satu pun yang bisa meluangkan waktu untuk menceritakan hal-hal itu."Ma, hari ini Aga ke sini bareng Kak Cla! Kenalin, kakak cantik ini namanya Kak Claudia, baik banget orangnya, sayang sama Aga, trus Kak Cla lebih suka aku dibanding Papa! Keren, kan? Kak Cla jadi orang pertama yang lebih suka aku, lho!" Claudia langsung menoleh ke arah Raga yang tengah mengenalkannya pada sang ibu. Cara anak itu