Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan Raga. Untungnya saat anak itu menangis dan menjelek-jelekkan ayahnya, tidak ada satu pun yang datang ke kamar, dan Claudia bersyukur tidak ada kamera pengawas di sana, karena selama menemani Raga menangis, Claudia menyetujui dan mengiyakan apa pun hal-hal buruk yang anak itu katakan tentang Malven.
Siapa sangka pria seksi yang menjadi buah bibir setiap wanita itu ternyata memiliki nilai yang sangat mines di mata putranya sendiri."Kakak," Raga memanggil pelan setelah tangisnya agak reda."Ya?" Claudia membersihkan jejak ingus dan air mata di pipi Raga. "Kamu lapar? Mau makan sekarang?"Raga menggeleng perlahan. "Itu ... yang aku bilang tentang Papa, bisa nggak jadi rahasia kita berdua aja? Na-nanti kalau sampai ada berita buruk tentang Papa--""Oke, Sayang!" Claudia langsung menunjukkan jari kelingkingnya, "Pembicaraan kita akan selalu jadi rahasia, entah sekarang atau pun nanti. Raga juga mau janji untuk tidak cerita pada siapa pun tentang Kakak, kan? Tentang pertemuan pertama kita juga, tidak perlu bilang siapa-siapa, bagaimana?"Senyum manis serta anggukan yang Raga berikan membuat Claudia tersenyum senang, rasanya hangat ketika mereka saling menautkan jari kelingking dan berjanji untuk menjaga rahasia.Mengingat reaksi Malven pagi ini, Claudia yakin pria itu tidak mengingat pertemuan mereka beberapa hari lalu. Mungkin kondisi Claudia yang basah kuyup dengan wajah berantakan membuat penampilannya tidak bisa dikenali Malven."Nah, kalau sudah tenang, gimana kalau kita turun dan makan? Kamu tidak boleh melewatkan makan apa pun kondisinya."Claudia mengulurkan tangan dan Raga menyambutnya tanpa ragu.Sampai di ruang makan, tampak beberapa pelayan yang sedang membereskan meja terkejut melihat kedatangan Raga. Untungnya mereka segera bergerak untuk menyiapkan makanan baru.Saat sedang menunggu makanan siap, Dera datang dengan langkah tergesa, terlihat seperti dia berlari dari tempat yang cukup jauh karena napasnya tampak putus-putus. Claudia tidak mengerti kenapa Dera yang sudah tua melakukan tindakan seperti itu--berlari-lari maksudnya."Ada yang bisa saya bantu, Nyonya Dera?" Claudia yang sebelumnya duduk di sisi Raga segera berdiri dan menyapa. Sedikitnya dia lupa posisinya sebagai babysitter di rumah ini, bukan seorang kenalan yang datang bertamu."Tidak, bukan apa-apa. Hanya ...." Dera menghentikan kata-katanya, sedikit ragu, tapi tatapannya tidak teralih dari tuan kecilnya yang duduk dengan patuh. Wanita tua itu tersenyum setelah beberapa saat. "Aku akan meminta staff dapur untuk menyiapkan makanan kesukaan Tuan Muda dan untuk kamu juga, Claudia. Apakah ada makanan atau minuman yang tidak bisa kamu konsumsi?"Claudia mengerjap, melihat senyum lembut dan binar senang di mata Dera membuatnya sedikit tidak nyaman. "Tidak ada, aku bisa makan dan minum apa pun, tapi tidak perlu repot karena aku sudah--!""Duduklah di samping Tuan Muda, biar aku yang ke dapur!"Claudia tidak sempat mengatakan apa-apa lagi karena Dera sudah bergerak cepat meninggalkan ruang makan. Wanita itu kembali duduk di kursi samping Raga, baru menyadari bahwa majikan kecilnya sedang tersenyum lebar padanya."Ada apa, Tuan Muda?"Senyum di wajah Raga perlahan memudar. "Kenapa jadi Tuan Muda? Kan, tadi Kakak panggil aku Raga! Apa namaku nggak bagus?"Claudia yang sempat khawatir dengan senyum Raga yang tiba-tiba hilang hanya bisa terkekeh kecil. "Bukan begitu, tapi Kakak harus menjaga sopan santun saat kita di luar 'kan? Kakak bisa dipecat kalau tiba-tiba sok akrab."Raga menelengkan kepalanya, mata jernih yang menatap Claudia jelas menunjukkan rasa penasaran."Kenapa Kakak tiba-tiba ke sini jadi pengasuhku? Apa karena permintaan aku ke Papa waktu itu untuk bawa Kakak ke sini?""Ehm ... mungkin takdir? Kakak sedang membutuhkan pekerjaan dan kebetulan Papa-nya Raga juga membutuhkan pengasuh untuk Raga. Sebenarnya Kakak juga kaget lho saat lihat Tuan Malven tadi, kaget dan senang karena anak yang akan bersama Kakak adalah Raga."Claudia tersenyum sangat lebar, diam-diam memuji dirinya yang pandai sekali mengambil hati anak-anak."Beneran karena aku, kan? Bukan karena Papa? Semua orang cuma suka waktu ada Papa aja."Claudia mengernyit tidak mengerti. "Apa yang--!"Belum sempat Claudia menanyakan maksud perkataan Raga, para pelayan sudah datang membawakan makanan hingga Claudia harus menelan kebingungannya. Dia akan menanyakannya nanti.Awalnya Claudia tidak mau menyentuh makanan yang disajikan untuknya, tapi melihat tampilan menu dan harum yang menguar membuat perutnya tidak bisa diajak kompromi, apalagi Claudia memang belum makan dengan benar selama beberapa hari ini.Mungkin ini akan jadi awal yang baik bagi kehidupan baru Claudia selama beberapa bulan ke depan, jadi ia memutuskan untuk makan bersama Raga sebagai tanda untuk lembaran baru hidupnya.Hari itu Raga membawa Claudia berkeliling rumah, lebih tepatnya house tour itu baru selesai di lantai satu, itu pun Claudia tidak benar-benar ingat koridor-koridor yang dilewatinya. Sudah pasti ia akan tersesat kalau berkeliling sendiri, tapi itu tidak mungkin karena Claudia akan selalu bersama Raga.Malamnya, Raga masih memiliki banyak energi untuk bermain menyusun puzzle, dan berakhir dengan mendengarkan Claudia membacakan buku dongeng."Akhirnya dia tidur." Claudia hampir menangis haru ketika menyelimuti Raga yang terlelap. Rasa lelah karena berkeliling dan berjalan ke sana ke mari seharian baru Claudia rasakan sekarang, saat kepalanya memikirkan tentang tidur."Jadi seperti ini rasanya punya anak kelebihan energi?" Claudia meringis saat membayangkan betapa sulit ibu dan ayahnya dulu, karena Claudia sendiri merupakan anak yang sangat aktif.Claudia yang berpikir untuk segera ke kamar dan tidur dengan lelap, harus menghapus bayangan menyenangkan itu saat Dera sudah berdiri di depan pintu kamar Raga, menunggu Claudia keluar."Tuan baru saja pulang dan dia ingin bicara denganmu," ucap Dera tanpa basa-basi saat melihat raut tanya Claudia.Claudia menahan diri untuk berdecak dan mencari jam dinding, kepalanya mengangguk dan dengan patuh mengikuti Dera dari belakang.Mereka tidak turun ke lantai satu, juga tidak memasuki salah satu ruangan di lantai dua. Claudia menelan ludah gugup saat Dera membuka pintu di ujung lorong dan mereka menaiki tangga menuju lantai tiga."Lantai tiga berisi ruang baca dan ruang bermain untuk Tuan Muda, tapi perpustakaan dan ruang kerja milik Tuan juga di sini, jadi berhati-hatilah ke depannya agar tidak salah memasuki ruangan."Claudia mengangguk dalam diam, selama ada tanda di depan pintu yang membedakan antara ruang bermain Raga dan ruang kerja Malven, maka ia pasti tidak akan salah masuk ruangan."Apa pun yang Tuan katakan nanti, kamu hanya perlu diam dan mengiyakannya." Dera memberi peringatan singkat saat mereka sampai di depan sebuah pintu sebelum mengetuknya."Masuk!"Claudia menarik napas panjang, ini pertama kali ia akan bertemu dengan atasan. Selama ini Claudia hanya pernah menjadi atasan seseorang, jadi ini merupakan pengalaman baru baginya.'Semoga dia bukan majikan brengsek seperti di novel-novel!'Hal pertama yang Claudia lihat setelah memasuki ruangan adalah seorang pria yang diberkahi dengan ketampanan bak dewa yunani sedang duduk tegak sambil memegang sebuah berkas.Cara pria itu memegang berkas di tangan, dengan jari-jari panjang yang terlihat indah membuat Claudia sempat menahan napas, bagaimana pun pesona yang dipancarkan Malven meski ia hanya duduk diam sungguh sangat tidak bisa diabaikan."Selamat malam, Pak, saya Claudia, yang dikirim ke sini untuk menjadi pengasuh tuan muda." Claudia menyapa dengan sopan, tubuhnya sedikit membungkuk saat sudah berada di hadapan Malven.Mata sehitam arang itu menatap Claudia perlahan. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan.Claudia segera mengambil tempat di sofa seberang Malven, duduk tegak sembari bersiap menjawab pertanyaan yang mungkin akan diajukan Malven--pengganti sesi interview yang belum sempat dilakukan. "Ini adalah kontrakmu. Sekretarisku sudah mengurusnya dengan agensimu, tapi kupikir kamu memerlukan salinannya. Baca dan p
Pesan itu dikirim oleh nomor asing, tidak hanya satu, Claudia bahkan tidak mau menghitungnya, belum lagi panggilan tidak terjawab. Meski Claudia sudah memblokir nomor Deon, nyatanya pria itu masih berusaha menghubunginya dengan nomor lain.Sebagai seorang direktur sebuah yayasan yang nomornya sudah diketahui banyak kolega membuat Claudia tidak bisa mengganti nomor ponselnya. Ia hanya sempat berharap Deon menyerah dan tidak lagi mengganggu setelah Claudia memblokirnya, tapi nyatanya pria itu masih saja egois dan tidak tahu malu.Sama seperti Deon yang melakukan usaha sia-sia dengan terus menghubungi, Claudia juga akan terus memblokir pria itu dari hidupnya entah berapa kali pun Deon berusaha mendekat."Ayo tidur, aku harus bangun pagi dan memastikan Raga sarapan bersama ayahnya!" Mengembalikan ponselnya ke tas tanpa berniat mengisi dayanya, Claudia segera berbaring dan menarik selimut. Wanita itu berulang kali menarik napas, menenangkan diri dari hatinya yang kembali teringat luka. T
Claudia menghela napas lega saat Malven membuat fokus Raga berpindah ke makanannya, karena kalau tidak, Claudia mungkin akan menangis saat ini juga. Meski anak itu terlihat sedikit merengut, tapi ia tidak mengatakan apa pun dan memakan sarapannya tanpa banyak protes.Awalnya Claudia ingin menyuapi Raga makan, karena seingatnya dulu ia selalu disuapi oleh ibunya saat masih sesusia Raga, tapi mengingat peraturan yang Dera beritahukan kemarin membuatnya urung. Raga harus makan di meja makan sendiri, tugas Claudia hanya ikut makan di sampingnya atau menemaninya saja tanpa harus membantu.Meski sedikit tidak terbiasa dengan cara Raga dididik, Claudia harus mengikuti aturan yang diberikan demi memperpanjang pekerjaannya di sini. Hingga pagi ini Claudia masih belum bisa menebak alasan para pengasuh sebelumnya dipulangkan, padahal tempat ini sangat bagus, lingkungan nyaman dan fasilitas memadai.'Bahkan pekerjaan menjaga Raga pun terbilang mudah, tapi kenapa tidak ada yang bertahan lama?' "H
Claudia tidak menyesali keputusannya untuk membawa Raga main. Melihat bagaimana anak itu akhirnya tersenyum riang sambil mengelus para kucing membuat perasaan Claudia juga ikut senang."Mbak Claudia sepertinya benar-benar suka tuan muda, ya? Kelihatan beda dari pengasuh-pengasuh sebelumnya." Claudia menoleh pada kata-kata Ali. "Beda apanya? Memangnya pengasuh sebelumnya bagaimana?" tanyanya sambil sesekali memperhatikan Raga yang berada tidak jauh darinya. Claudia berusaha agar raut wajah dan nada suaranya tenang, seolah pertanyaannya hanyalah basa-basi."Bagaimana, ya? Sebenarnya mereka memperlakukan tuan muda dengan baik, pekerjaannya juga bagus. Mereka hanya melakukan satu kesalahan." "Kesalahan?"Ali mengangguk, tatapannya tampak sendu saat menatap Raga. "Mereka menggoda tuan Malven," ucapnya pelan, helaan napasnya agak berat didengar.Menggoda. Satu kata itu membuat Claudia tanpa sadar mencengkeram gelas minumannya lebih erat. Mengingat betapa rupawan wajah Malven, tubuh tinggi
Dipecat. Satu kata itu membuat Claudia tidak bisa berkata-kata. "Pergilah, aku sudah selesai bicara." "Sebentar, Pak! Saya benar-benar tidak merasa melakukan kesalahan, tapi kenapa dipecat? Bisakah saya diberitahu letak salah saya di mana? Kalau ada hal yang tidak sesuai menurut Pak Malven, saya akan belajar memperbaikinya!" Claudia tidak pernah menduga akan dipecat hanya dua hari sejak memasuki kediaman Pranaja, padahal ia tidak merasa melakukan sesuatu yang melanggar aturan, Claudia juga tidak menggoda Malven sama sekali. Wanita itu melirik pada pakaian yang dikenakannya hari ini dan mengingat yang ia gunakan kemarin, tapi tidak ada yang salah dengan pakaiannya."Kamu benar-benar bertanya apa salahmu setelah membawa Raga bolos hari ini?" Pertanyaan yang dilayangkan dengan tatapan tajam itu membuat Claudia mengerutkan kening. Dari mana pria itu tahu kalau Raga membolos hari ini? Apakah pihak sekolah menelpon?"Aku ke sekolah Raga hari ini, ingin menjemputnya sebagai ganti tidak b
Pagi ke dua di kediaman Pranaja, kali ini Claudia tidak kesiangan dan menjalankan pekerjaannya untuk membangunkan Raga tepat waktu. Saat wanita itu memasuki kamar Raga, bocah itu masih bergelung dalam selimut. Padahal pukul enam kemarin Raga sudah menggedor kamar Cludia."Dia pasti kelelahan setelah menangis dan bermain kemarin, kan?" Claudia mendekati ranjang, perlahan menyibak anak rambut dari kening Raga. "Sayang, selamat pagi," ucapnya lembut sembari mendekat dan mencuri kecupan di pipi Raga."Padahal kalau mau cium tinggal bilang aja, nggak perlu curi-curi pas aku tidur gitu." Raga yang sebenarnya sudah bangun tapi malas bergerak dari ranjang, membuka kedua matanya dan menatap Claudia yang terkejut. "Selamat pagi juga, Kak!"Claudia terkekeh, "Wah, serius? Kakak akan sering cium dan cubit pipimu, lho!" "Tadi kayanya cuma cium aja?!" Raga ikut tertawa saat Claudia mencubit pelan pipinya. "Ayo siap-siap! Oh iya, karena ini hari Sabtu, itu berarti Papa-nya Raga libur, kan?" Perta
Tadinya Claudia berniat menghibur, bahkan sudah menyiapkan kata-kata yang tepat untuk menenangkan Eaga. Tapi, mendengar kata-kata yang diucap Raga sambil menangis membuat Claudia tidak bisa menahan air matanya. Wanita itu berakhir menangis juga, yang bisa ia lakukan adalah memeluk Raga tanpa bisa mengatakan apa pun.Bagaimana bisa seorang anak yang belum genap berusia lima tahun, mempertanyakan statusnya? Berapa banyak luka dan kekecewaan yang menumpuk hingga membuat Raga berpikir demikian? Ini bukan lagi seorang yang haus perhatian karena masih anak-anak, tapi karena memang ia tidak diperhatikan dengan benar oleh orang tuanya. "Kenapa Mama ninggalin aku sendirian ... aku mau ikut Mama!" Claudia menggigit bibir, menahan suaranya agar tidak ikut terisak bersama Raga. Ia hanya bisa mendekap anak itu, mengelus kepalanya penuh sayang, berharap bisa mengobati sedikit saja luka di hatinya."Nggak ada yang sayang sama Aga! Mama pergi, Papa nggak peduli, orang-orang juga cuma suka sama Papa
Claudia kembali ke ruang bermain Raga sambil membawa tisu basah dan kering, juga sebaskom air hangat dengan handuk kecil untuk mengompres mata Raga yang sedikit membengkak. "Sayang, mainannya ditaruh dulu, sini!" Claudia meletakkan barang-barang yang dibawanya ke atas meja. Raga yang mulai memainkan miniatur menaranya saat menunggu Claudia, bergegas bangkit dan duduk di sisi wanita itu. Melihat adanya handuk kecil dan baskom berisi air hangat, Raga yang tidak pernah menerima perlakuan seperti itu sebelumnya tidak bisa menahan senyumnya. Entah para pelayan, pengasuh-pengasuh sebelumnya yang Malven bayar, bahkan Dera, tidak ada satu pun yang pernah membawakan air hangat untuk mengompres mata Raga yang membengkak karena menangis."Buat Kakak airnya tidak terlalu panas, tapi mungkin buat kamu suhunya agak tinggi, tapi ditahan ya?" Claudia memasukkan handuk ke dalam baskom sebelum memerasnya dan menekan pelan di sekitar mata Raga yang telah dibersihkan dengan tisu basah.Claudia melakuka