Setelah melihat kekasih yang dicintainya selama tujuh tahun sedang mencumbu sepupunya sendiri, Claudia Raline Elvina yang hancur berkeping harus menelan malu ketika seluruh rencana pernikahannya gagal. Dia memilih membatalkan pernikahan yang tinggal beberapa hari daripada harus tinggal seatap dengan pria yang memporakporandakan kepercayaannya. Claudia yang merupakan pemilik yayasan penyalur pengasuh anak dan pembantu rumah tangga memutuskan untuk menenangkan diri dengan cara bekerja sebagai pengasuh di keluarga Pranaja, satu-satunya tempat yang selalu berganti Babysitter seperti berganti baju. Tapi, kehadiran duda gagah nan tampan bernama Atariz Malven Pranaja membuat kehidupan Claudia seperti menaiki roller coaster, penuh dengan kejutan, tantangan dan gairah. *** "Layani saya di kamar setelah kamu menidurkan Raga!" "Kita memang cocok di ranjang, Pak, lalu apa? Tidak ada hubungan yang akan bertahan karena nafsu!" cover by ShenaArt
View More"C–Claudia?!"
Keterkejutan di wajah tampan yang berkeringat itu membuat Claudia gemetar. Ia masih bisa melihat sisa-sisa gairah di mata lelaki itu. Lelaki yang harusnya mengucap janji suci pernikahan untuknya beberapa hari lagi.
Beberapa saat lalu, Claudia datang dengan penuh semangat untuk merayakan tujuh tahun kebersamaan mereka. Namun, yang ia temukan di apartemen lelaki itu bukan kebahagiaan, melainkan pengkhianatan yang mengoyak hatinya.
Tak pernah sekalipun ia membayangkan kekasihnya akan berselingkuh! Apalagi dengan sepupunya sendiri, Selena!
"Cla, aku—!"
Deon terbata-bata, buru-buru menarik bokser hitam dari lantai dan mencoba mendekat, tapi–
Plak!
Tamparan Claudia mendarat keras di pipi pria yang selama tujuh tahun terakhir mengisi hatinya. Tangannya bergetar, terasa panas seperti amarah yang membakar seluruh tubuhnya.
"Kita putus." Suaranya tegas, final. Tanpa ragu, ia berbalik, melangkah keluar dari kamar yang membuatnya muak.
"Claudia! Dengarkan aku dulu, Sayang!"
"Jangan panggil aku 'Sayang' dengan mulut kotormu!" bentaknya, menghempaskan tangan Deon yang mencoba menahannya. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah, memancarkan luka dan kekecewaan yang begitu dalam.
Deon tertegun, jantungnya mencelos melihat rasa sakit yang terpancar di wajah Claudia, wanitanya.
"Aku minta maaf, Cla! Aku khilaf!" ucapnya lirih, mencoba meraih tangan Claudia.
Claudia terkekeh pahit, menatap kecewa pria yang selama tujuh tahun menjadi salah satu alasannya bahagia.
Claudia tertawa pahit. "Khilaf?" ia mengulangi kata itu dengan getir. "Khilaf itu kalau kamu hanya bertukar pesan atau sekadar kencan di kafe. Tapi ini—" Napasnya bergetar, matanya berkilat marah. "Kamu melakukannya sampai akhir. Dan itu tidak hanya sekali." Tatapannya menusuk, terlebih setelah melihat beberapa kondom bekas yang berserakan di lantai.
"Aku dijebak–!"
"DEMI TUHAN, DEON!!!" Claudia berteriak, menghentikan segala alasan yang bahkan tak masuk akal untuknya. "Aku tidak gila hingga tidak bisa membedakan keadaanmu tadi, saat kamu mengejar pelepasanmu! Kamu tidak mabuk, kamu tidak berada di bawah pengaruh obat apa pun! Bagian mana yang jebakan?!"
Wanita itu menarik napas panjang, menghapus air mata yang tidak berhenti menetes.
"Aku tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan, Deon. Kamu pasti mengenalku dengan sangat baik selama tujuh tahun ini. Kita selesai ... dan alasan berakhirnya hubungan ini adalah karena kamu!"
Memilih untuk segera berbalik dan keluar dari apartemen yang sering dikunjunginya, Claudia berlari menuju lift, menghela napas panjang untuk menghentikan tangisnya. Wanita itu menggigit bibir, menahan diri agar tidak berteriak dan menangis dengan keras.
Keluar dari gedung apartemen yang mungkin tidak akan pernah dikunjunginya lagi, Claudia yang datang tanpa membawa mobil nyaris mengumpat. Terlalu percaya jika calon suaminya akan mengantarnya pulang, Claudia meninggalkan mobilnya di kantor dan memilih naik taksi.
Wanita itu mendongak ketika merasakan tetes demi tetes dari langit mulai membasahi kepalanya.
"Bahkan langit pun tidak mendukungku?" Tawa pahitnya terdengar, bersamaan dengan hujan yang semakin deras, menutupi air matanya yang kembali mengalir.
Claudia berjalan pelan menyusuri trotoar, terlalu lelah hanya untuk mencari taksi.
Ia kemudian berhenti di pemberhentian bus, memilih duduk di bangku besi panjang dan kembali terisak. Dunianya hancur berserakan. Claudia tidak tahu bagaimana harus menyusunnya kembali.
Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Terlalu banyak kenangan dan mimpi-mimpi serta janji yang ia ukir bersama Deon. Claudia tidak pernah membayangkan jika hubungan yang dilandasi kepercayaan selama bertahun-tahun harus hancur karena sebuah pengkhianatan.
Lucunya ... pria itu masih berani berkata jika itu adalah kesalahan tidak disengaja!
"Dasar brengsek!"
Menyedihkan! Bagaimana bisa Claudia yang selalu bangga pada setiap hal yang ada pada dirinya dan mengangkat wajah dengan penuh kepercayaan diri, berakhir menangis patah hati karena dikhianati?
Apalagi ketika tunangannya justru selingkuh dengan Selena, sepupu yang paling ia percaya?
Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, tapi Claudia bahkan tidak berani untuk menebak sejak kapan sepupu tersayangnya memiliki minat lain pada Deon.
Hujan turun lebih deras, tempiasnya memercik pada Claudia yang memang sudah basah. Tidak ada siapa pun di sekitarnya, seolah sepi yang mencekik ini juga dipersiapkan takdir untuknya.
Tring!
Notifikasi dari ponsel di tas tangannya membuat Claudia tersentak.
Dengan gemetar, wanita itu mengeluarkan ponselnya.
Sebuah pesan terpampang di layar ponselnya. Sebuah pemberitahuan dari wedding organizer yang ia sewa, sekaligus pengingat tentang hari pernikahan yang sudah makin dekat.
"Tidak akan ada pernikahan ... bukan aku yang akan menikah." Mata Claudia kembali basah, tanpa bisa mencegah lagi air matanya yang tumpah sekali lagi.
Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
"ADUH!!!"
Claudia terkesiap ketika sesuatu jatuh di depannya–
Seseorang lebih tepatnya.
"Hei, kamu baik-baik saja?" Claudia segera membantu sosok kecil yang baru saja terjerembab dan mendudukkannya di bangku halte.
Sama seperti dirinya, anak itu juga tampak berantakan dengan pakaian basah dan air mata menggenang.
"Di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian di sini?" Claudia berlutut di hadapan anak itu dan bertanya dengan lembut, seolah kesedihannya beberapa waktu lalu hilang begitu saja. "Ya Tuhan ... kamu berdarah!"
Claudia menatap ngeri lutut anak kecil yang duduk di hadapannya. Melihat bagaimana anak itu tidak menangis dengan keras meski matanya sudah berkaca-kaca membuat perasaan Claudia tidak senang.
"Pasti sakit, ya? Katakan saja kalau sakit ... jangan ditahan. Tidak baik menahan diri." Claudia berucap lembut.
Langsung saja, anak itu terisak. "Sakit ... lutut Aga perih, tapi Aga nggak boleh nangis. Mama bilang akan jemput kalau Aga menjadi laki-laki yang bisa diandalkan."
Kata-kata bocah berusia sekitar 4 tahun itu membuat Claudia tertegun, air mata yang sempat berhenti, kembali berurai tak terbendung. Claudia menumpukan kepalanya di paha anak lelaki itu, menangis.
"Bunda juga ... Bundaku juga bilang begitu. Katanya kalau aku tidak cengeng, dia akan datang dan membawaku. Tapi ..., Bunda tidak pernah kembali ...."
Claudia kehilangan ibunya sejak masih kecil. Meski usianya sudah cukup untuk mengerti apa itu ‘meninggal’, ia tetap menangis setiap hari dan berharap ibunya kembali.
Orang lain yang paling mendekati sosok yang Claudia rindukan adalah tantenya, adik dari sang ayah.
Namun, sosok itu juga ibu dari Selena, sepupunya yang tadi melakukan adegan tak pantas dengan tunangan Claudia.
Mana mungkin Claudia menyampaikan informasi tersebut pada tantenya? Ekspresi apa yang harus ia tampilkan? Bagaimana ia harus mengatakannya?
Claudia menangis semakin deras saat anak lelaki di hadapannya juga turut terisak, keduanya menangis bersama di tengah hujan, berbagi rasa sakit dengan orang asing yang baru pertama kali ditemui.
“Tidak ada yang tertinggal, kan?”Claudia menoleh ke arah pintu saat Malven datang. “Sepertinya tidak ada, aku sudah memeriksa berkali-kali agar barang-barang penting Asya tidak tertinggal.”Malven yang tampak formal dengan kemeja putih yang dibalut jas hitam, mendekat ke arah istrinya. “Kalau begitu ayo pergi. Tuan Putri kecil itu sejak tadi sudah bertanya ratusan kali pada Raga kapan kita akan berangkat,” ucap Malven sembari menarik tubuh Claudia, mencium pipi wanita yang kini mengenakan gaun hitam panjang tanpa lengan.Rambut Claudia ditata rapi, hasil pekerjaan pelayan sejak subuh, jadi saat Malven mulai mengendus lehernya, Claudia segera menjauh. “Tolong jangan merusak riasan dan rambuttku,” peringat Claudia seraya berjalan menjauhi Malven.Malven mendengus, agak tidak suka membayangkan istrinya yang seksi dan cantik itu dilihat orang lain, tapi kalau Malven melarang Claudia untuk berpenampilan menawan seperti itu di hari penting ini, maka pria itu pasti sudah mendapat cubitan ‘sa
“Momma!”Claudia mendongak saat Raga membuka pintu ruang kerjanya, tersenyum lembut pada putranya yang baru saja pulang dari sekolahnya.“Halo, jagoan! Gimana sekolahnya hari ini?” Claudia bangkit dari kursi kerjanya, pindah ke sofa dan merentangkan tangan untuk memeluk Raga.“Seru banget!” ujar Raga sembari mendekat dengan cepat, memeluk leher Claudia dan menghela napas lega—seolah benar-benar sedang beristirahat di rumah. Sekarang bagi Raga, rumah adalah tempat dimana Claudia berada.“Wah, Momma jadi penasaran nih! Sini duduk, cerita sama Momma hari ini Raga melakukan apa saja di sekolah.”Raga menurut, duduk di sisi Claudia dan mulai berceloteh, menceritakan setiap detail aktivitasnya di sekolah hari ini. Sepanjang Raga bercerita, Claudia tidak pernah mengalihkan tatapannya, juga senyumnya yang selalu terukir saat melihat Raga.Sejak usia kandungannya memasuki tujuh bulan, Claudia mulai mengurangi aktivitasnya. Selain karena kakinya membengkak, Claudia juga sering mengalami keram d
Ting! Suara khas itu terdengar saat pintu kafe didorong dari luar. Beberapa remaja masuk ke dalam kafe yang sedang ramai, suara mereka terdengar ceria dan penuh tawa. Tidak hanya para remaja itu, kafe memang dipenuhi dengan berbagai obrolan santai dari para pengunjungnya yang beragam.Salah satu pengunjung di sana adalah Claudia yang sedang termenung di sudut, menatap pada jendela yang memperlihatkan padatnya lalu lintas. Cuaca di luar sangat cerah dan panas, tidak sesuai dengan raut wajah Claudia yang murung. Hari ini adalah sidang akhir untuk Deon, dan entah bagaimana Malven menemukan berbagai kecurangan dan kejahatan yang pernah Deon lakukan selama di perusahaannya, juga perlakuan semena-mena terhadap bawahan dan mendapatkan kesaksian dari banyak orang hingga Claudia maupun Raga tidak perlu menunjukkan wajah di pengadilan. Malven mengatakan jika Deon akan dihukum maksimal delapan tahun penjara dengan tuntutan utama kekerasan dan upaya penculikan terhadap Ragava Lintang Pranaja.
“Malven?” Claudia memanggil pelan saat tidak menemukan suaminya di sisi tempat tidur. Wanita itu melihat jam dan mengernyit. Ke mana Malven pergi dini hari begini? Melihat suasana yang hening, sepertinya Malven juga tidak ada di kamar mandi.Rasa kantuk yang terlanjur hilang membuat Claudia memutuskan untuk turun dari ranjang, menarik luaran baju tidurnya sebelum berjalan menuju pintu. Claudia sempat memeriksa kamar Raga, tapi tidak ada Malven di sana, hanya ada Raga yang tidur lelap.“Apa dia di bawah?” Claudia bergumam sembari menyusuri koridor dan menuruni tangga, cukup yakin suaminya ada di lantai satu ketika melihat seluruh lampu yang menyala.“Malven?” Claudia memanggil saat mendengar sebuah suara.Wanita itu semakin mengernyit saat menyadari arah suara yang cukup berisik itu berasal dari dapur. Ada dua dapur di kediaman Pranaja. Satu berada di luar rumah utama yang biasa digunakan oleh para pelayan untuk memasak, satu lagi berada tidak jauh dari ruang makan, dibuat khusus untuk
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments